Pagi
itu pasar Rawa Lumbu lebih ramai dari biasanya. Maklum saja, setiap
hari libur, seolah-olah semua anggota keluarga ingin berbelanja bersama,
terutama pasangan suami istri yang sehari-harinya bekerja. Tapi,
kebetulan saya sendiri tak ditemani suami. Hehe....
Selesai
membeli semua keperluan dapur yang sudah tercatat rapi sejak
semalamnya, saya memilih rehat sebentar sambil menikmati lontong sayur
si Ajo. Sambil menyantap semangkuk lontong sayur, saya kembali mengamati
orang-orang yang lalu-lalang. Belakangan ini kegemaran
saya bergeser jadi senang mengamat-amati, mencoba menyimak kehidupan orang kebanyakan.
“Huuuuu…woaaa…gendong…gendong,” tangis seorang anak perempuan kira-kira berumur 3 tahunan sambil mengikuti ibunya.
“Mamaaa…huuu…wooaa...gendooong!”
teriaknya dengan tangisan yang lumayan keras. Sebagian orang menaruh
perhatian, tapi sebagian tak peduli melihat pemandangan itu.
“Enggak! Makanya
disuruh tinggal di rumah, nurut! Badan segede itu minta gendong. Manja
ah!” jawab sang ibu kesal tanpa menoleh ke belakang.
“Gendooong!!!” kata si anak lagi lebih kencang.
“Udah
gendut minta digendong, gimana si kamu?! Ibu gak kuat, badan kamu itu
gendut tau!” jawab si ibu semakin marah.
Aku heran, mengapa ibu anak itu
terus-menerus mengumpat masalah kegendutan si anak? Bukankah bobot si
anak bertambah itu karena si ibu juga? Anak itu tumbuh subur, gendut dan
padat berisi, karena ibunya berhasil memberikan makanan yang pas
buat pertumbuhannya. Tapi, mengapa setelah menjadi gendut, si ibu malah
seolah-olah menyesali dan bolak-balik seperti mengejek kegendutan
anaknya?
Tiba-tiba si anak menghempaskan badannya ke jalan.
“Eeeeh
malah duduk di jalan. Bu, anaknya ngambek tu!” teriak seorang ibu
penjual ikan asin.
“Biarin!
Ditinggal biar tau rasa! Udah gendut, minta digendong lagi emangnya gak
berat apa?!” kata si ibu acuh dan kembali mempersoalkan masalah yang
sama, gendut.
“Dek,
ditinggal mamanya itu...ayo berdiri.” Akhirnya aku tak kuat untuk
sekedar jadi pengamat. Tapi, ada sedikit khawatir juga. Jangan-jangan
ibu si anak tak senang dengan intervensiku. Namun, aku coba membujuk anak yg
bertubuh subur itu.
“Berdiri!!”
Tiba-tiba si Ibu sudah berdiri di belakangku. Anak itu berdiri sambil
melihatku. Kusempatkan mengelus kepalanya, karena dari tadi ibunya tak
sempat melakukannya. Dalam hati aku berdoa, “Semoga amarah Mama mu gak
berlanjut sampai di rumah ya dek.”
Dari
kejadian yang lumayan menyita waktuku untuk segera pulang, telah
memberi satu pelajaran lagi. Bahwa, tak ada seorang anakpun yang merasa
nyaman jika diperlakukan sekasar itu oleh orangtuanya, apalagi ibu nya
sendiri. Ini mungkin saja akan membekas pada perkembangan jiwanya.
Membujuk anak, tidaklah menjadi membuat harga diri kita jatuh di depan
anak. Membujuk sesekali dibutuhkan agar anak merasa dilindungi dan
diperhatikan, bukan seperti kejadian tadi.
Satu hal yang membuatku bisa meng-introspeksi diri yaitu tentang julukan “si gendut” tadi. Kadang aku juga suka bercanda dengan anak perempuanku dengan menyebutnya “si bulat” dan anak laki-lakiku dengan mencandainya dengan sebutan “si culun.”
Meskipun apa yang aku lakukan dalam konteks bercanda, bukan marah, namun tetap saja itu ternyata tak nyaman didengar. Aku harus melupakan untuk menyebut anakku bulat dan tetap memanggilnya “Mira” saja, atau culun dengan memanggilnya “Khalid” saja.
Satu hal yang membuatku bisa meng-introspeksi diri yaitu tentang julukan “si gendut” tadi. Kadang aku juga suka bercanda dengan anak perempuanku dengan menyebutnya “si bulat” dan anak laki-lakiku dengan mencandainya dengan sebutan “si culun.”
Meskipun apa yang aku lakukan dalam konteks bercanda, bukan marah, namun tetap saja itu ternyata tak nyaman didengar. Aku harus melupakan untuk menyebut anakku bulat dan tetap memanggilnya “Mira” saja, atau culun dengan memanggilnya “Khalid” saja.
Bekasi, Maret ‘09
Dicopas dari MPku
Dicopas dari MPku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar