Menjadi
volunteer sebenarnya bukan pengalaman
pertama buat saya. Saya pernah merasakannya di event yang berbeda. Tapi, belakangan saya berfikir bahwa menjadi volunteer di acara bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF), merupakan pengalaman baru yang bagi saya pantas untuk dijajal.
Berawal dari obrolan di grup,
terbesit keinginan untuk hadir ke acara UWRF 2012. Bukan sebagai volunteer atau sebagai pembicara/pemateri,
melainkan sebagai peserta. Melihat acaranya yang begitu menarik, sayang rasanya
untuk dilewatkan. Atas saran teman (Indah Juli-red), saya mencoba mendaftar
secara online sebagai volunteer di website UWRF tersebut. Saya memilih di Children and Youth Program, karena saya memang merasa lebih enjoy jika ditempatkan di bagian itu. But, nothing to lose! Itu kesan yang
saya rasakan saat mengisi formulir pendaftaran. Diterima, syukur... enggak pun
tidak masalah.
Setelah mengisi aplikasi yang
lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris itu, saya tak lagi memikirkannya.
Sekitar seminggu setelah itu, ada informasi di e-mail saya yang mengatakan kalau saya diterima sebagai volunteer bersama 199 orang lainnya dari
negara yang berbeda-beda.
Bingung dan sekaligus senang saya
rasakan bersamaan. Senang, karena bakal merasakan pengalaman seru yang pertama dan
bertemu dengan orang-orang dari beragam negara di ajang bergengsi itu. Bingung,
karena ternyata tiket dan akomodasi ditanggung sendiri. Setelah berdiskusi
dengan suami, akhirnya kebingungan saya pun terpecahkan. Suami mendukung 100%. Saya
pun mulai mencari-cari informasi dari teman-teman yang pernah menjadi volunteer di acara itu. Alhamdulillah, beberapa
informasi penting sudah saya dapatkan, termasuk penginapan dan transportasi
selama di sana.
Singkat cerita, saya pun
mempersiapkan diri untuk berangkat. Bersama seorang teman yang juga penulis (Dyah P. Rinni, yang akhirnya berhasil saya rayu untuk ikut serta menghadiri
acara tersebut), kami berangkat bersama dari bandara Soekarno Hatta di tanggal
1 Oktober 2012. Keberangkatan sengaja saya percepat, karena ada orientasi di
tanggal 2 Oktober yang mewajibkan
volunteer untuk hadir. Dan, Dyah setuju mengikuti jadwal saya.
Tibalah saatnya saya bertugas
sebagai volunteer di Ubud Writers and Readers Festival 2012.
Dimulai dengan orientasi tugas pada
tanggal 2 Oktober 2012. Saya baru sadar, kalau ternyata pilihan saya saat
mendaftar tidak sesuai dengan harapan. Saya tidak bisa ditempatkan di Children and Youth Program, karena volunteer di sana sudah penuh.
Awalnya ada sedikit rasa kecewa
setelah tahu bahwa saya ditempatkan di Main
Program. Tapi setelah mendengar informasi dari Radhinka Basuki (Assistant Volunteer Coordinator), bahwa
dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, materi yang digelar di Main Program selalu menarik dan bernas,
rasa kecewa saya berubah menjadi penasaran.
Selepas orientasi dan mengikuti
pembagian program, saya pun bergabung dengan teman-teman volunteer lainnya yang ada di Main
Program untuk saling mengenal dan memperkenalkan diri. Dari sekitar dua
puluh orang yang tergabung di program ini, kami dipecah lagi menjadi tiga
kelompok berdasarkan tempat di mana kami akan bertugas. Tiga tempat itu adalah,
Neka, Indus, dan Left Bank. Dan, saya kebagian bertugas di Indus.
Left Bank, di sinilah pertemuan pertama (orientasi) para volunteer digelar. |
Base Camp Volunteer |
Setelah Doads, Supervisor di Main Program memberikan pengarahan, kami pun diminta untuk
berdiskusi dengan anggota kelompok masing-masing untuk mengatur tugas dan
apa-apa yang diperbolehkan serta tidak. Termasuk peraturan tentang larangan
merekam, memotret, saat acara berlangsung.
Di
Indus Main Venue Program ada delapan Volunteer. Ada Dorothy Cormack (Supervisor
Indus Main Venue), Zorah Wenham (Assistant Supervisor), Barbara Peters dan
Margot Duel (Reception), Saya, Walid, Clorinda, dan Avicenna (Helper). Kami
berdelapan inilah yang akan menggawangi dan membantu jalannya acara di Indus Main Program dari tanggal 4 – 7 Oktober
2012 dengan pergantian shift setiap
harinya.
Sebagai
volunteer, tentu saja saya tak akan bercerita semua hal tentang Ubud Writers and Readers Festival, sebab
informasi tentang itu pasti sudah bisa dibaca di website-website dan media lainnya. Di kesempatan ini, saya akan
berkisah tentang bagian saya saja selama menjalani tugas sebagai volunteer.
Dengan Dorothy (supervisor saya di Indus) |
Hari
pertama, saya mendapat shift pagi.
Topik yang dibahas di jam saya bertugas adalah, “Opening The Book on Burma”, menghadirkan para pembicara/penulis
luar seperti Guy Delisle, Ma Thanegi, Michelle Aung Thin dengan Moderator,
Richard Lloyd Party. Selain menggelar acara talk show, di ruang depan setelah pintu masuk Indus, juga disajikan beragam buku yang menambah daya tarik peserta yang berkunjung.
Dari topik dan pembicara yang mengisi sesi pertama
di tempat saya bertugas sebagai volunteer,
tiba-tiba muncul rasa penasaran saya pada kondisi tersebut. Sebagai seorang
yang juga berkegiatan di dunia menulis, muncul rasa “cemburu” di hati saya.
Rasa cemburu itu berwujud sebuah pertanyaan, “Mengapa tak ada penulis dari
tanah air yang duduk berdampingan di meja Pemateri?” Namun, pertanyaan yang
dilandasi rasa cemburu itu saya simpan baik-baik, sambil menunggu sesi-sesi
berikutnya.
Akhirnya
di shift pagi hingga pukul 14.30 WITA,
yang menggelar empat topik di masing-masing sesi, saya hanya melihat dua
penulis Indonesia. Tentu saja tidak sebanding dengan dua belas penulis luar
yang menjadi pembicara di Indus Main Program. Miris rasanya.
Di
hari kedua, saya sedikit terhibur dengan kehadiran Guntur Alam, namun tak bisa
melegakan setelah menyimak ulasannya yang seperti tak tuntas saat membahas
topik “All in the Family”. Penulis
luar tetap menguasai arena. Namun, ada momen yang lumayan menghibur hati saya
ketika itu. Saya sempat berkenalan dengan Bapak Drs. Ketut Suardana, M.Phil
(Chairman Mudra Swari Saraswati Foundation). Dari bincang-bincang kami yang
hanya sekejap itu, saya sempatkan menyampaikan pertanyaan, “Mengapa UWRF
didominasi oleh penulis-penulis luar, padahal begitu banyak penulis-penulis
tanah air yang mumpuni termasuk para penulis cerita anak?” Pak Ketut tak
memberikan jawaban yang rinci, namun beliau membuka kesempatan untuk UWRF tahun
mendatang. “Silahkan ajukan proposal atau karya yang bagus, namun kami tak bisa
menjanjikan selain tiket dan akomodasi. Dan di situlah terkadang kendalanya,
jika ingin menghadirkan penulis-penulis tanah air,” tegasnya. Saya belum puas
mengobrol dengan beliau, tetapi beliau sudah harus menghadiri rapat.
Saya
tak patah semangat dan beruntung sekali, ternyata Janet De Neefe (Founder and Director UWRF) sekaligus
istri dari Pak Ketut sering hadir di Indus. Saya beranikan diri untuk
menyapanya. Kembali saya perkenalkan diri dan mengatakan bahwa saya tergabung
di Forum Penulis Bacaan Anak. Janet memberikan kartu namanya. “Kalau kamu mau
kirim e-mail ke saya, pleaaase... kontak saya jika lama tak
dibalas,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan fasih. Tak heran, Janet
sudah tinggal di Ubud sejak tahun 1984. Saya senang sekali mendengar nada “welcome” itu. Semoga tahun depan saya bisa
hadir, tidak lagi sebagai volunteer,
tapi bersama teman-teman penulis bacaan anak lainnya dengan kapasitas sebagai
pembicara. Aamiin.
Di luar jadwal volunteer,
bersama teman sekamar, saya selalu menyempatkan diri menikmati pentas seni yang
juga digelar di beberapa tempat. Dari mulai pemutaran film di Betelnut, menikmati
street party dengan suguhan tari-tarian Bali, sampai pementasan teater di Lotus
Stage – Puri Saraswati.
Pada hari terakhir, 7 Oktober
'12, saat saya kembali mendapat shift
pagi, ada rasa terhibur dan bangga melihat penulis perempuan yang masih muda,
Astina Triutami yang tampil sebagai pembicara. Tina, penulis novel yang berjudul
“Aku Bukan Budak”, memaparkan pengalaman yang melatarbelakanginya menulis novel
tersebut. Astina menceritakan sekilas pengalamannya selama menjadi TKW di
Hongkong. Selain itu dia juga mengkritik pemerintahan rezim Soeharto dan
kesemena-menaan beberapa majikan dalam memperlakukan para TKW.
Ternyata benar, Main Program menggelar tema-tema menarik selama acara berlangsung. Rasa kecewa saya semakin terobati. Apalagi ketika mendengar salah satu tema dengan judul, "After Harry Potter, What? The Emergency of the Young Adult". Di sini mereka membahas tentang "Apa yang mendorong kenaikan dan munculnya young adult genre dan siapa yang membaca? Sesi ini tak hanya dihadiri oleh peserta dewasa, anak-anak remaja pun ikut ambil bagian dalam sesi tanya jawab.
Ternyata benar, Main Program menggelar tema-tema menarik selama acara berlangsung. Rasa kecewa saya semakin terobati. Apalagi ketika mendengar salah satu tema dengan judul, "After Harry Potter, What? The Emergency of the Young Adult". Di sini mereka membahas tentang "Apa yang mendorong kenaikan dan munculnya young adult genre dan siapa yang membaca? Sesi ini tak hanya dihadiri oleh peserta dewasa, anak-anak remaja pun ikut ambil bagian dalam sesi tanya jawab.
Dari buku panduan program,
sebenarnya ada sekitar 140 penulis dari 30 negara yang ikut
ambil bagian dalam UWRF. Indonesia diwakili para penulis seperti Ayi Jufridar
(Aceh), Astina Abigail, Guntur Alam (mewakili Jakarta), Khrisna Pabichara, Muhary
Wahyu Nurwa (dari Makassar), Indah P, Niduparas Erlang (dari Solo), Sunlie
Thomas Alexander, Bandung Mawardi (Yogya), Arif Fitrah Kurniawan (Jawa Tengah),
Romo Amanche (Kupang), Aprilia Wayar (Papua). Sisanya didominasi oleh
penulis-penulis dari luar Indonesia. Tak apa, mungkin tahun-tahun mendatang formasi ini bisa diubah. Semoga.
Di
kesempatan lain, saat saya tak bertugas, saya sempatkan memuaskan batin dengan
berkunjung di Children and Youth Program.
Alhamdulillah, saya sempat melihat kegiatan yang bertajuk, “Banner Making Workshop”. Di sini
anak-anak diajak untuk menggambar dan melukis dengan tema “The Earth of Mankind: Bumi Manusia” yang menjadi tema Ubud Writers and Readers Festival 2012. Dipandu
oleh Made Bayak, anak-anak semangat mengayunkan kuasnya di atas kain panjang
yang drentangkan di depan mereka.
Lalu,
di hari Sabtu, 6 Oktober, saya kembali menyaksikan kegiatan di Youth Program dengan tajuk, “Writing Your Story”. Sungguh, saat
itu... hati saya kembali merasa “cemburu” melihat rekan penulis yang tampil di
depan anak-anak remaja itu. Melihat kondisi ini, timbul obsesi saya, bahwa
tahun depan semoga teman-teman dari Komunitas Penulis Bacaan Anak bisa memandu
semua materi di Children and Youth
Program. Itu harapan saya.
UWRF
2012 diakhiri dengan acara “Closing Night
Party” yang digelar di Museum Antonio Blanco. Dalam sambutannya, Janet tak
lupa mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh volunteer yang telah ikut membantu berlangsungnya acara tersebut.
Diam-diam, meski hanya sebagai volunteer,
ada rasa bangga juga yang terbesit di hati saya. Tak peduli pendapat yang
terkesan memandang kasihan kepada para volunteer (khususnya yang dari tanah air), bagi saya ini adalah
pengalaman pertama yang banyak memberi kesan. Tak hanya pengalaman dalam menambah
wawasan tentang menulis, tapi juga belajar memupuk rasa kekompakan antara volunteer dalam satu team yang notabene berasal dari negara
dengan budaya berbeda. Meskipun tak semua menyenangkan, tapi pengalaman
berharga ini bisa menepisnya.
Perpisahan
pun tak bisa dielakkan. Sebelum benar-benar berpisah, kami sempatkan berfoto
bersama teman se-team. Sambil memeluk
saya, Zora mangatakan, “Nice working with
you, Wylvera. Hope we can meet again next year.” Sambil membalas mendekapnya
saya menjawab, “Yup! But hopefully I can attend as a speaker,” kata saya sambil
melepas tawa di tengah hingar bingar suara musik di pesta penutupan itu. Zora mengangguk-angguk
tanda setuju, karena saya sempat bercerita kalau saya juga penulis. [Wylvera
W.]
kereeeeeeeeeeeennnnn
BalasHapusMakasih, Nessa. *hug :)
BalasHapusGreat experience.:)
BalasHapus@Haya: Makasih ya, 'san. ;)
BalasHapuskeren, mbak. semoga keinginan tahun depan tercapai ya. aamiin :)
BalasHapuswelldone mak :D
BalasHapusPengalaman yang luarbiasa keren dan menyenangkan ya mba. :)
BalasHapus@Mbak Ila Rizky: Aamiin, makasih ya Mbak. :)
BalasHapus@Mbak Hana: Thank you, Mak. ;)
@Mira: Iya, jadi nambah banyak teman dan ilmu juga. :)
Tahun depan, Mbak Wiwiek jadi pembicara, ya... Saya temani ;)
BalasHapusMbak Veronica: Wow! Ditemani sama Mbak Vero? Mau banget. Jadi tambah semangat ini, semoga berhasil ya Mbak. Makasih supportnya.:)
BalasHapusasik bgt pengalamannya mbak :)
BalasHapusIya, asyik dan bikin kangen. Ayo ikutan. :)
Hapuswaah, keren banget mbak. jadi pengen ikutan, :D
BalasHapus[Aulia Manaf].
Ayo, ikut. :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWuiihh, kereeenn sekali :)
BalasHapusMakasih, Mbak Helda, tapi sayang obsesiku tahun ini utk kembali ke sana seperti akhir cerita di atas belum kesampaian. :)
HapusKereeeennn pengalamannya.
BalasHapusMakasih, Mbak Ade. :)
BalasHapusMbak Wlyvera, pembukaan pendaftaran vounteer berapa bln sebelumnya? Tugas volunteer apa sj? dan volunteer mendapatkan apa? Tks
BalasHapusKalau dibukanya, biasanya jauh-jauh harib sebelum hari "H" ya. Aku sendiri mendaftar seminggu sebelum diumumkan siapa-siapa yang lolos seleksi administrasi. Kalau tugasnya, seperti yang kuceritakan di atas. Kita membantu menyukseskan acara tsb. Membantu panitia inti agar acara bisa berjalan dengan baik. Apa yg didapat oleh volunteer, terutamanya pasti pengalaman berharga. Kalau bukan karena jadi volunteer, aku kan harus membayar untuk menyimak ragam materi di acara itu. Tapi, memang tdk ada uang saku. Semua kita tanggung sendiri. Bagiku, ilmunya itu yg penting. :)
Hapus