Indonesia memiliki penduduk lebih
dari 230 juta jiwa. Setiap warganya berhak mendapatkan pendidikan. Sementara,
pendidikan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat kita. Dari
data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2011, tercatat tidak kurang dari
setengah juta anak SD serta sekitar 200 ribu anak SMP, tak mampu meneruskan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kondisi ini menempatkan Education
Development Index Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara.
Catatan
di atas membuat naluri saya, yang hampir lebih dua tahun ini ikut berkecimpung
di dunia pendidikan, merasa terusik. Saya hanya mengambil peran kecil dari
kehidupan para guru, yaitu sebagai pengajar ektrakurikuler “Jurnalistik dan
Kepenulisan” di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu, Bekasi. Selama itu pula
saya belum sempat berpikir untuk menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan dunia
pendidikan. Mungkin ini lebih disebabkan kenyamanan yang sudah saya dapatkan di
sekolah tersebut, sehingga saya tak sempat menelaah nasib guru-guru lainnya di
luar sana.
|
Penulis dan murid-muridnya di SDIT Thariq Bin Ziyad PHP |
Semua
berawal dari kehadiran saya di acara Peresmian Gerakan Indonesia Berkibar di
Museum Arsip Nasional, pada tanggal 28 Oktober 2012 yang lalu. Dari acara
tersebut, saya sempat menyimak, membuat
liputan kecil, dan telah mencatatnya di blog saya. Dari situ, diam-diam saya
menyimpan beberapa pertanyaan. “Ke mana saja saya selama ini? Apakah saya sudah
puas dengan apa yang sudah saya lakukan sebagai guru ektrakurikuler? Apakah
saya tak ingin melihat bagaimana perjuangan para guru di sekolah lain yang
tercatat sebagai sekolah yang serba tertinggal, mulai dari kualitas gurunya,
kualitas kurikulumnya, maupun kualitas infrastrukturnya?” Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang menggerakkan saya menuliskan catatan singkat di blog saya.
Saya
awali dengan mengamati sebuah sekolah yang berisikan murid-murid dari keluarga
mampu. Saya menyempatkan diri untuk meninjau prasarana (infrastruktur) sekolah
tersebut. Mulai dari perangkat pendukung belajar yang serba lengkap, seperti
laboratorium bahasa, komputer, lapangan untuk berolahraga, sampai sarana untuk
kegiatan ekstrakurikuler pun hampir seluruhnya tersedia.
|
Laboratorium Komputer |
|
Laboratorium Bahasa |
|
Lapangan olahraga |
Melihat semua
perangkat pendukung itu, tentu saja akan menarik minat para orangtua untuk
menitipkan putra-putri mereka di sekolah tersebut. Mereka sudah memiliki
bayangan, jika anak-anak mereka tak akan ketinggalan dalam pengetahuan tentang
teknologi. Apalagi jika melihat catatan prestasi beberapa siswanya dan dukungan
pengalaman para pengajarnya. Rata-rata para guru tersebut telah dibekali dengan
kemampuan mengajar serta mendidik yang baik. Kenyataan ini akan semakin
membulatkan tekat para orangtua yang notabene dari keluarga mampu, untuk
menitipkan anak-anak mereka di sekolah tersebut.
Lalu, saya mencoba membandingkannya
dengan “Sekolah Sampah” yang berlokasi di kawasan bau busuk menyengat. Saya
menyebutnya “Sekolah Sampah” karena sekolah itu terletak di lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Tentu saja,
jauh sekali rentang kesenjangannya. Sekolah itu bernama Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar (PKBM) Al – Falah di bawah Yayasan Ummu Amanah. Tidak
seperti sekolah-sekolah reguler lainnya, di sekolah ini masih memakai kurikulum
pendidikan kesetaraan paket A, B, dan C.
|
Penulis di lokasi pembuangan sampah yang dekat dengan sekolah |
|
Inilah nama sekolah itu |
|
|
|
|
Jumlah murid yang ada di sekolah tersebut
tidak merata di setiap jenjangnya. Untuk jenjang sekolah dasar (SD) tidak sampai
seratus murid yang tersebar di masing-masing kelas. Bahkan ada yang hanya dua belas murid saja dalam satu kelasnya. Sedangkan untuk SMP dan SMA
hanya delapan murid. Dan, tentu saja itu bukan untuk anak-anak yang berada di
luar lokasi sampah. Sekolah itu diperuntukkan kepada anak-anak para pemulung.
Selain itu, guru-guru di sana pun tak didukung penuh oleh infrastruktur seperti
sekolah pertama yang saya amati.
|
Perangkat komputer sumbangan Donatur |
|
Ruang guru yang sangat sederhana | | |
|
|
|
Murid kelas 2 (ada yang berseragam ada yang tidak) |
Kondisi yang memprihatinkan kerap
dialami para guru dan murid di “Sekolah Sampah” itu. Meskipun bangunan yang
sekarang mereka tempati sudah lumayan memadai, namun bau busuk serta geliat
dari belatung-belatung yang berebut mengurai tumpukan sampah, masih tak bisa
lepas dari keseharian mereka. Di kondisi seperti itu pula mereka berjuang dan
bertahan berbagi senyum. Dengan prasarana yang belum bisa dikatakan memadai,
mereka mencoba membekali para muridnya dengan ilmu yang mereka miliki.
|
Penulis bersama Kepala Sekolah dan beberapa guru |
Saya
yakin, para guru di sekolah itu bukan tak menyimpan obsesi besar. Misalnya, tentang
kesempatan yang bisa mereka dapatkan untuk membekali diri dalam meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan standar pendidikan di tanah air
tercinta ini. Namun, mungkin waktu belum memihak kepada mereka.
Meskipun beberapa guru di sana sudah
ada yang memiliki bekal kemampuan dan pengetahuan yang sama dengan para pengajar
di sekolah mapan, namun jika sarana dan prasarana tak selengkap di sekolah
pertama yang saya amati tadi, kemampuan itu tak akan maksimal. Dan, melahirkan
anak-anak cerdas dari “Sekolah Sampah” itu pasti penuh dengan tantangan serta
perjuangan.
Memang
terasa nikmat dan menjadi kebanggan bagi para guru, jika di tengah kesulitan
dan usaha yang tertatih-tatih, mereka berhasil melahirkan siswa yang cemerlang
dan mampu bersaing dengan murid-murid dari sekolah yang mapan. Tapi, kesejahteraan
para pendidik di sana pun perlu mendapat perhatian. Setidaknya kita perlu
memberikan dukungan, agar tantangan serta perjuangan tersebut tak menjadikan para
pendidik di sana semakin hari semakin tergerus oleh tantangan demi tantangan
yang terkadang sulit mereka hadapi.
|
Ikrar para murid Al- Falah yang diabadikan dalam frame |
Melihat
dua sekolah dengan kesenjangan yang sangat jauh berbeda ini, saya mencoba
memupuk harapan. Seandainya, ada pihak yang mau meluangkan waktunya untuk
menilik sekolah-sekolah seperti ini. Tidak hanya berkunjung, tapi mencoba
mencarikan solusi dan memberi bantuan agar “Sekolah Sampah” tersebut bisa
memenuhi standar mutu pendidikan yang jauh lebih baik lagi. Atau paling tidak,
bisa perlahan-lahan mengikuti sekolah-sekolah mampu lainnya. Baik dari
pembenahan kurikulum, sarana dan prasarana, sampai pembekalan keterampilan mengajar/mendidik
kepada para gurunya.
Sebagai solusi, peran Gerakan
Indonesia Berkibar yang beberapa waktu lalu sempat saya hadiri peresmiannya,
sangat diharapkan dalam pemulihan kondisi ini. Sesuai dengan visi dan misinya
yang sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
melalui perbaikan kualitas guru dan sekolah. Banyak harapan yang disandarkan
pada Gerakan Indonesia Berkibar dan para pendukung yang terkait dalam
pergerakannya. Salah satunya mungkin “Sekolah Sampah” ini. Dan ini tentunya
akan menambah catatan Gerakan Indonesia Berkibar.
Tak
banyak contoh yang bisa saya sajikan. Ini hanya salah satu dari sekian banyak
kondisi sekolah, murid, dan guru yang masih memerlukan pembenahan. Jika masalah
dan tantangan ini bisa kita carikan solusinya secara bersama-sama, maka harapan
ke arah peningkatan mutu pendidikan di tanah air bisa teratasi. Sehingga
sekolah mapan dan sekolah sampah tak lagi terganjal oleh kesenjangan yang
tajam, khususnya di masalah penerapan kurikulum, mutu pendidikan, dan
kesejahteraan guru yang setiap harinya bersentuhan dengan para murid yang hidup
dalam ekonomi pas-pasan tersebut.
Jika
kesenjangan ini perlahan bisa diatasi, bukan tidak mungkin dari sekolah-sekolah
macam “Sekolah Sampah” itu kelak, para pendidiknya mampu melahirkan putra-putri
bangsa yang bisa ikut serta berperan besar dalam menggerakkan pembangunan di
tanah air. Keberhasilan putra putri bangsa itu kelak hendaknya mampu mengubah
catatan Education Development Index Indonesia ke posisi yang lebih tinggi di
antara negara-negara lainnya. Dan, ini tentunya akan menambah semangat para
guru untuk semakin meningkatkan kualitas dan dedikasinya terhadap dunia
pendidikan.
Semoga! [Wylvera W.]
Kesenjangan itu kentara sekali ya. tapi semoga tidak menghambat harapan adik-adik kita yang bersekolah di sekolah 'sampah' untuk membuktikan diri kalau mereka memang bisa jadi orang hebat suatu hari kelas!
BalasHapus@Kang Iwok: Aamiin, semoga harapan itu bisa menjadi kenyataan. Makasih ya, sudah berkunjung di sini. :)
BalasHapuspanjang dan detil jadi... :)
BalasHapus@Erna Fitrini: Jadi? *menunggu komen berikutnya. Thanks, sudah berkunjung ya. ;)
BalasHapusSemoga cita-cita anak-anak itu tercapai ya.
BalasHapus@IndahJuli: Aamiin.... Btwm bukan hanya anak-anak itu, gurunya juga menyimpan jutaan harapan di sana. Semoga impian mereka segera terjawab.:)
BalasHapusIkrar itu, mengharukan sekali... :)
BalasHapusBenar. Ikrarnya keren. Coba dulu waktu SD aku ada kaya' begituan.
BalasHapusJadi inget film Rumah Tanpa Jendela. Semoga kondisi ini tidak mengalahkan semangat anak-anak Sekolah Sampah. Tulisan yang sangat menyentuh dan "mengusik" nurani, Kak Wiek. Inspiratif. :)
BalasHapusPosenya bagus tuh *salah fokus*
BalasHapus----benerin fokus-----
apapun nama gerakannya, kalo demi kemajuan bangsa pasti saya dukung. minimal doa dan komen di blog. yang penting konsisten, terus menerus sampai tujuan tercapai sekalipun.
@Haya Aliya Zaki: Benar, dulu sebelum mereka mendapat tempat d tanah wakaf(dari salah satu donaturnya)yang sekarang dibangun tempta belajar yang lumayan layak, mereka sempat merasakan belajar dengan fasilitas yang mirip-mirip rumah kardus cuma waktu itu dari bambu dan triplek. Aku sempat lihat foto-fotonya. Duh... terharu dan miris melihatnya. Makasih ya, Haya. Kapan-kapan kita bisa ke sana bersama-sama. :)
BalasHapus@Benny Rhamdani: Eh, pose yang mana? *dibahas
BalasHapus----kembali ke komen yg fokus---
Aamiin, memang kekonsistenan itu yang paling penting. Makasih ya, Pak Guru sudah mau mampir di tulisan ini. :)
@Fita Chakra: Iya, Fit... mereka begitu optimis melihat masa depannya. Semoga impian itu terjawab ya. Aamiin. :)
BalasHapus@Dee: Waktu aku SD suka diminta menuliskan karangan tentang cita-cita di buku tulis. :)
sudah bisa saya bayangkan baunya,
BalasHapusdari rumah saya yang depan pasar bantargebang saja sudah tercium, apalagi disana langsung.
Semoga Allah membalas perbuatan mulia mereka untuk memuliakan manusia dengan balasan berlipat ganda.
Amin.
@catatan-cinta-bunda: Aamiin.... iya, Bunda. Sesekali dari rumah kami di Rawa Lumbu saja masih suka bertiup aroma sampah dari sana. Dan, ketika saya berkunjung, tak bisa saya ungkapkan bagaimana rasa kagum saya pada para guru yang begitu bersemangat membagi ilmu dan cintanya kepada anak-anak di sana.
BalasHapus