Pagi itu (Kamis, 7 Maret 2013), saya dan IndahJulianti Sibarani, teman penulis, kembali berkunjung ke Yayasan Ummu Amanah,
PKBM Al Falah, Bantar Gebang, Bekasi. Tempat itu merupakan sekolah yang
didirikan pada tahun 2007 oleh seorang wanita berhati mulia (Wahyu Katri Ambar
Wulan Sari) yang sempat saya kenal beberapa waktu lalu. Di sanalah Sari membuka
kesempatan untuk anak-anak pemulung yang tinggal di lokasi Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang itu.
Ini adalaha kunjungan saya yang ketiga kalinya.
Kunjungan pertama saya lakukan untuk melakukan pendekatan dan perkenalan dengan
Kepala Sekolah (Bapak Khoeruddin). Dalam pertemuan pertama itulah saya
sampaikan niat untuk berbagi ilmu menulis kepada murid-murid di yayasan tersebut. Alhamdulillah,
kegiatan pelatihan kini sudah berjalan dua bulan untuk dua kali pertemuan.
Di pelatihan pertama yang saya dan Indah berikan,
kami masih melihat kecanggungan anak-anak pemulung itu. Namun, tak ada yang tak
lumer jika disentuh dengan pendekatan cinta, layaknya seorang ibu. Kecanggungan
itu tak berlangsung lama. Kami cepat sekali menyatu. Dan, itu yang membuat
rindu untuk kembali.
Kedatangan kami untuk pelatihan kedua ini begitu
memancing rasa haru. Rasa haru ketika saya merasakan kerinduan di mata mereka. Itu terlihat
dari sikap mereka yang tak sabar ingin segera berkumpul dan kembali belajar
tentang ilmu menulis. Salah satu anak terburu-buru menghampiri kami yang baru
saja turun dari kendaraan.
“Bu, saya sudah buat PR!” serunya dengan semangat
sambil menyalami dan mencium tangan saya dan Indah.
“Wah, bagus! Nanti kita lihat ya,”
balas saya tak kalah semangat.
“Saya punya sudah dikumpulkan juga, Bu,” seru anak
yang lainnya tak mau kalah. Saya dan Indah tersenyum dan meminta mereka untuk
bersabar menunggu masuk ke kelas.
Seperti biasa, sebelum masuk ke ruang pelatihan,
kami lebih dulu diminta menunggu di ruang Kepala Sekolah untuk menanti
persiapan kelas dan mengumpulkan anak-anak itu.
Tak lama, akhirnya kami didampingi kembali menuju
kelas yang dipersiapkan. Anak-anak yang terdiri dari murid kelas IV, V, dan VI
pun mulai memasuki kelas. Saya terus memandangi wajah mereka yang haus akan
ilmu itu. Mereka begitu bersemangat mengangkat meja dan kursi karena ada beberapa temannya yang tidak
kebagian bangku.
Kali ini yang hadir tak sebanyak di pertemuan
pertama yang mencapai 30 anak. Saya diam-diam menghitung. Ada enam anak yang
tak hadir. Namun, ini tak membuat semangat di kelas luntur, justru saya melihat
mereka menggebu-gebu menunggu saya dan Indah membuka pelatihan.
Saya pun membuka kelas pelatihan dengan menanyakan
kabar mereka. Semua serentak menjawab, “Baiiik!” Jawaban itu memancing senyum
dan haru di hati saya. Lalu saya dan Indah menanyakan PR yang kami berikan
bulan lalu. Salah seorang guru menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang berisi
cerita dari tulisan tangan mereka. Bukan...bukan hanya cerita, anak yang belum
mampu menulis dengan baik tapi bisa menggambar tentu saja kertas PR nya berisi
gambar yang seolah-olah bercerita tentang cita-cita. Ya, tugas yang kami berikan
temanya adalah tentang cita-cita.
Seperti di pertemuan pertama, kali ini kami pun
menyampaikan materi secara manual. Sebab di sana tak ada infokus dan laptop yang
biasa kami gunakan dalam memberikan materi penulisan di tempat lain. Sederhana
sekali, namun kami tetap menikmati suasana dengan hati yang bahagia. Semangat
ingin menimba ilmu yang mereka tunjukan di sorot mata itu yang membuat saya dan
Indah merasa haru dan kagum.
Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki,
anak-anak kami ini tetap bergairah untuk belajar bagaimana menjadi penulis yang
baik. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan spontan dan terkesan polos serta lugu
yang kerap menyelingi suasana pelatihan.
“Bu, saya enggak bisa menulis . Boleh pakai gambar
juga kan?”
“Kalau setengah saja ceritanya, trus pakai gambar
boleh enggak, Bu?”
Kalau itu bukan di kelas dan di depan mereka, kami
rasanya tak kuat menyembunyikan mata yang nyaris berkaca-kaca. Banyak yang
membuat hati kami bolak-balik menekan rasa haru. Wajarlah, sebab murid-murid di
PKBM Al Falah tak sama dengan sekolah umum yang ada.
Di sekolah ini, usia dan tingkat kelasnya juga
beragam. Bukan berarti anak yang sudah berusia 7 tahuh harus duduk di kelas 1.
Atau yang sudah berusia 12 tahun biasanya sudah bersiap untuk masuk ke jenjang
Sekolah Menengah Pertama. Dengan basis
kejar paket A, B, dan C ini anak yang berusia 13 tahun bisa saja masih duduk di
kelas IV. Bahkan siswa kelas 6 yang usianya sudah di atas 15 tahun masih belum
lancar membaca dan menulis. Namun,
mereka selalu mendapat perhatian khusus dari guru-guru di sana.
Yang membuat kami bersemangat berbagi ilmu menulis
di PKBM Al Falah ini adalah keantusiasan anak-anak tersebut. Keterbatasan yang
ada pada diri mereka tidak menghalanginya untuk menimba ilumu. Mereka selalu
menunjukkan minat yang tinggi.
“Bu, kalau nulisnya sudah banyak, nanti bisa jadi
buku cerita kan?” tanya salah satu anak saat saya dekati ke mejanya. Pertanyaan
itulah yang memicu semangat kami untuk tetap konsisten mengunjungi mereka
setiap bulannya kelak.
Di pelatihan kali ini, kami kembali memberikan
petunjuk lewat kata-kata yang telah kami susun untuk dirangkai menjadi kalimat
dalam tulisan mereka. Namun, bagi anak yang belum lancar menulis, kami tetap
memberi kesempatan kepada mereka untuk menggambar kata-kata yang tertera di
papan tulis.
Betapa semangatnya mereka berlomba untuk menuntaskan
tulisannya dalam waktu 20 menit yang kami berikan. Anak yang tulisannya lebih
dari satu halaman, kami minta untuk maju ke depan dan membacakan karyanya. Ada
yang malu-malu dan ada yang bersemangat.
Salah satu tulisan yang melebihi satu halaman adalah
karya Eka Aulia.
Tulisan Eka Aulia |
Dari semua tulisan dan gambar yang sudah dikerjakan,
kami memilih tiga terbaik. Ketiga anak terpilih itu adalah anak-anak yang
istimewa di kelas mereka, dan mereka ini pula yang selalu paling bersemangat
mengikuti pelatihan menulis yang kami berikan.
Mengingat keterbatasan dan kekuatan mereka dalam
menerima pelajaran baru, kami tak ingin mereka terlanjur merasa lelah. Dengan
satu jam waktu yang terlewatkan, kami ingin terus menjaga kestabilan semangat
mereka.
Sebelum menutup pelatihan kedua itu, kami kembali
memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Lagi-lagi kami memberikan kata-kata
kunci untuk mereka rangkai menjadi sebuah cerita. Jumlahnya kami tingkatkan
menjadi sepuluh kata kunci.
Tepat pukul 11.10 WIB, kami pun mengakhiri kelas dan meminta mereka untuk berfoto bersama.
Sebelum meninggalkan kelas, mereka kembali bertanya.
“Bulan depan datang lagi kan, Bu?”
Insya Allah! Kami akan kembali untuk kalian
anak-anakku. Berlatihlah terus, tetap bersemangat seperti apa yang sudah kalian
tuangkan dalam tulisan kalian tentang cita-cita itu. Kami tak ingin melerai
kedekatan ini demi cinta yang sudah terbina di antara kita. Kita akan bertemu
bulan depan untuk kembali mengurai rindu.
Tunggu Bu Wiwiek dan Bu Indah bulan depan ya! []
semoga anak-anak makins emangat menulis ya mbak
BalasHapus@Lidya: Aamiin, iya Insya Allah. :)
BalasHapus