Apakah bila telanjur salah akan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk kembali
Tiba-tiba saya rindu pada syair lagu ini. Bagian dari bait syair lagu Ebiet G. Ade yang berjudul Kalian Dengarkah Keluhanku
ini seolah mewakili keberadaan anak-anak di lapas itu. Dan, saat ini
lagu itu rasanya sangat pas sekali untuk mengurai perasaan saya. Ya,
saya sedang menatap dan membaca satu per satu hasil tulisan awal dari
anak-anak lapas itu.
Dulu,
ketika saya masih anak-anak, kata penjara adalah momok yang sangat
menakutkan buat saya. Ketika itu saya dan teman-teman sekolah sempat
melintas di depan salah satu lembaga pemasyarakatan yang ada di kota
kelahiran saya, Medan. Saya sengaja mendayung sepeda
sekencang-kencangnya, lantaran alergi pada tempat itu. Saya menganggap
tempat itu adalah “sarang” bagi orang-orang jahat yang telah melakukan
kesalahan besar dan tak terampuni.
Tapi,
itu dulu…dulu sekali. Sekarang saya justru merasakan kerinduan jika
berlama-lama tak ke sana. Ada rasa kedekatan yang saya rasakan jika
menatap wajah dan mata mereka. Rasa ingin menguak sisi gelap dari latar
belakang yang telah memicu mereka melakukan kesalahan fatal sehingga
mereka terjerat di jeruji besi.
Saya
bukan psikolog, tak mungkin saya melakukan itu dengan
pendekatan-pendekatan psikologis. Saya hanya penulis biasa yang baru
memiliki beberapa karya. Namun, naluri saya terpanggil untuk berbagi
kepada mereka, sekecil apa pun itu. Itulah sebabnya, saya ingin
memberikan sedikit saja perhatian kepada anak-anak remaja di lapas itu.
Agar saya tetap mendapatkan alasan untuk kembali bertemu mereka.
Perhatian yang saya lakukan yaitu dengan berbagi ilmu menulis.
Beruntung
sekali, karena niat dan keinginan saya ini disambut hangat oleh ketua Gerakan Peduli Remaja (GPR), Suci Susanti dan pengurus lainnya. Mereka
mengajak dan mengenalkan saya kepada Kepala Lapas Klas IIA Anak Pria,
Tangerang, Heny Yuwono. Akhirnya kesempatan berharga itu pun saya
peroleh berkat izin Bapak Kepala Lapas melalui teman-teman dari Gerakan
Peduli Remaja.
Dan, kemarin adalah momen yang sangat menggetarkan hati saya. Setelah beberapa kali saya berkunjung ke Lapas Anak Pria, Tangerang itu, saat itulah waktu yang membuat saya benar-benar mendapat kesempatan untuk berdiri dan berbicara di depan mereka. Niat saya yang tulus untuk berbagi ilmu menulis akhirnya terwujud pada hari itu, Rabu, 13 Maret 2013.
dokpri |
Sesaat sebelum pelatihan, hati saya bergemuruh. Saya perhatikan wajah mereka satu demi satu. Ada rasa cemas yang mengganggu. Saya takut kalau anak-anak lapas ini tak akan serius mengikuti pelatihan yang saya berikan. Saya juga takut kalau mereka memandang sinis kepada saya. Saya takut kalau mereka tak nyaman mereka akan benci dan marah kepada saya. Namun, ketakutan-ketakutan itu sirna ketika saya melihat mereka begitu bersemangat. Mata mereka menunjukkan luapan rasa haus akan ilmu menulis itu.
Dengan
berbekal buku tulis dan pulpen, mereka begitu yakin memasuki aula yang
sudah dipersiapkan oleh pihak lapas. Apalagi setelah Suci Susanti
membuka pelatihan, saya semakin yakin kalau anak-anak lapas yang
berjumlah sekitar dua puluh orang itu adalah mereka yang sungguh-sungguh
ingin mengikuti pelatihan menulis dari saya.
“Kalian yakin kalau kalian nanti bisa menulis sebuah cerita?” tanya saya di awal pelatihan.
“Yakiiin…!” jawab mereka serentak dengan suara lantang.
“Tetap semangat sampai akhir?” tanya saya lagi tak kalah keras.
“Semangat, Bundaaa…!” balas mereka pula.
Lega
rasanya. Saya pun mengawali pelatihan dengan memberikan motivasi
terlebih dahulu kepada mereka. Saya katakan, bahwa setiap orang
sebenarnya bisa menulis. Bakat itu tak terlalu berpengaruh, karena
jumlahnya hanya sekitar 1%, selebihnya adalah tekad untuk berlatih,
berlatih, dan terus berlatih.
“Betul, Bunda!” tiba-tiba sebuah suara menyela saya.
Saya tersenyum bangga pada anak yang berteriak itu. Sorot matanya tajam memandang serius pada layar infokus. Seolah dia tak ingin terlewat sebaris penjelasan pun dari materi yang saya sampaikan. Waktu yang sangat sempit itu benar-benar mereka manfaatkan untuk meraup ilmu.
Terenyuh
rasanya dada ini. Tak sedikit pun tergambar bahwa mereka pernah
melakukan kesalahan sehingga mereka terjerat hukum. Saya mulai terganggu
dengan bayangan hari-hari mereka selama ini. Mereka yang mendekam di
lapas itu benar-benar butuh sentuhan psikis. Saya terus berusaha
mengatur emosi agar konsentrasi saya tak terpecah untuk berbagi ilmu
buat mereka. Mereka tak boleh melihat keharuan di mata saya. Justru
dorongan semangat lah yang saat ini mereka butuhkan. Yaitu semangat
untuk mengikuti pelatihan yang saya berikan. Semangat bahwa mereka masih
punya harapan untuk meraih masa depan di luar lapas.
dokpri |
Waktu
terus berjalan. Mereka begitu aktif merespon penjelasan-penjelasan yang
saya sampaikan. Dari sikap mereka itu, saya menjadi menarik kesimpulan
bahwa anak-anak itu sebenarnya adalah anak-anak yang cerdas, haus akan
ilmu, dan rindu perhatian serta kasih sayang. Terlebih dari seorang ibu.
Panggilan “Bunda” untuk saya begitu membuat saya terharu.
Beginilah cara mereka menulis (dokpri) |
Satu
jam bersama mereka di kelas pelatihan menulis telah berhasil membuat
saya luluh dan menyimpan tekad besar. Saya akan terus memperjuangkan
agar mereka berhasil membuat sebuah cerita tentang kehidupan,
pengalaman, cita-cita, dan harapan mereka untuk disatukan dalam satu
buku kompilasi. Bersama teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja, Insya
Allah saya akan terus bergandengan tangan untuk mewujudkan impian
mereka.
Sebelum
menutup pelatihan menulis di sesi pertama itu, saya memberi kesempatan
kepada mereka untuk membuat daftar ide cerita yang ada di kepala mereka.
Dari beberapa ide itu saya minta mereka memilih satu saja yang paling
berkesan dan membuat mereka ingin buru-buru menuliskannya menjadi sebuah
cerita.
Begitu
sesi praktik saya buka, mereka bergegas mengambil posisi untuk
menuliskan ide-ide mereka. Lagi-lagi saya merasa terharu melihat
keantusiasan mereka. Ada yang menggunakan pahanya sebagai alas untuk
menulis. Ada mengambil posisi meja di depan agar lebih nyaman, karena
pihak lapas memang tak menyediakan meja, hanya bangku saja.
“Bunda, aku cuma bikin satu ide, cuma itu yang mau kutulis jadi cerita,” ujar Deni sambil meyerahkan kertas bertuliskan idenya.
Sekilas
saya baca apa yang ditulisnya. Saya nyaris tak bisa tersenyum karena
tekanan rasa haru ketika membaca tulisan itu. Belum lagi kertas Fahmi
yang bertuliskan “Hanya Ingin Pulang” kembali diserahkan kepada saya.
Itulah ungkapan penyesalan dari apa yang telah mereka lakukan. Saya bisa
merasakannya. Semoga kelak mereka bisa menumpahkan hal-hal yang mereka
rasakan dalam sebuah karya tulis.
“Tetap semangat ya, dua minggu lagi kita berkumpul lagi di sini!” ujar saya kepada mereka.
“Iya, Bunda. Pasti!” kata mereka lagi-lagi bersemangat.
Pelatihan
menulis untuk sesi pertama di lapas itu akhirnya usai seiring dengan
kumandang azan Ashar. Saya dan teman-teman GPR pun meninggalkan lapas
dengan menyisakan rasa rindu.
Kertas-kertas
yang mereka kumpulkan kemarin saat ini ada di tangan saya. Tinggallah
saya kini yang bergelut dengan sejuta rasa. Lagu lawas Ebiet G. Ade
akhirnya benar-benar saya resapi. Beberapa syairnya sangat mewakili
judul-judul ide yang dituliskan anak-anak lapas itu. Semoga penyesalan
dan harapan mereka tak hanya terurai lewat tulisan di kertas-kertas
ini.[]
Catatan ini sudah pernah menjadi HL di Kompasiana, 15 Maret 2013.
Catatan ini sudah pernah menjadi HL di Kompasiana, 15 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar