Oleh Ny. Wiwiek Indra Gunawan
Riyah
bersimpuh menatap pusara di sisi duduknya. Tanah kuburan itu masih dipenuhi
bunga-bunga yang sudah mengering. Seminggu yang lalu Riyah baru saja kehilangan
Beno, anak laki-laki kesayangannya. Riyah tak pernah membayangkan kalau Beno
akhirnya pergi untuk selamanya dengan cara mengenaskan. Riyah terlalu percaya
pada putra sulungnya itu. Dia selalu menjadikan Beno sebagai contoh anak
mandiri bagi kedua anak perempuannya. Riyah kembali teringat perdebatan yang
pernah terjadi dengan kedua putrinya.
“Mengapa
sih kalian tak bisa mencontoh Abang kalian? Masih kelas tiga SMA saja dia sudah
tak banyak menyusahkan Mami,” ujar Riyah waktu itu.
“Bang
Beno bukan contoh yang baik buat kami! Mami enggak pernah tahu kan, apa yang
dilakukan Bang Beno di belakang Mami?” sela Hani sengit tak setuju dengan
pandangan ibunya tentang Beno.
“Apa
maksudmu, Han?” tanya Riyah mulai gusar.
“Coba
deh sekali-sekali Mami tanya ke dia,” jawab Ratih menimpali.
Riyah
lagi-lagi mengabaikan kata-kata Hani dan Ratih. Dia menganggap kedua anaknya itu cemburu pada Abang mereka.
Riyah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantornya, tak mau ambil pusing
dengan Hani dan Ratih yang dianggapnya sedang dilanda kecemburuan.
Bagi
Riyah, Beno adalah segalanya. Beno tak pernah menyusahkannya dengan keluhan-keluhan
tentang pelajaran sekolah. Riyah mengira Beno selalu rajin mengerjakan
tugas-tugas sekolah bersama teman-teman sekelasnya. Terkadang Riyah malah
kasihan melihat Beno karena harus menginap di rumah temannya hanya untuk menyelesaikan
tugas dari guru. Riyah justru merasa bersalah karena tak punya waktu untuk
membantu Beno dalam urusan sekolahnya.
Riyah
menyimpan kebanggaan itu di hatinya. Mata hatinya tertutup oleh
kejanggalan-kejanggalan yang kerap dilakukan Beno. Rasa sayang Riyah pada Beno
menggelapkan semua logikanya. Riyah tak pernah mengikuti perkembangan Beno dari
hari ke hari. Kepercayaan yang diberikan Riyah sangat berlebihan sehingga
justru berbalik menjadi tak peduli. Kontak batin yang biasa terjadi antara anak
dan ibu, seakan terkikis oleh kesibukan. Riyah mengabaikan semua itu demi
karirnya.
Riyah
sudah lima tahun hidup tanpa suami. Sejak kematian Rahmat, tidak membuat Riyah
semakin dekat dengan ketiga anak-anaknya. Riyah malah semakin tenggelam dengan
kesibukannya di kantor. Pergi pagi dan kembali ke rumah saat anak-anaknya sudah
terlelap. Bahkan Riyah jarang sekali mengintip kamar Beno yang kosong.
Ke
mana Beno pergi di malam-malam gelap itu?
Riyah
tak pernah sadar kalau anaknya sudah lama ternggelam dengan genk narkoba. Beno tak pernah
menyusahkan Riyah soal uang, bukan lantaran dia kasihan melihat ibunya, tapi
justru dia punya penghasilan sendiri dari hasil penjualan barang haram itu.
Hingga akhirnya Beno tak bisa melepaskan diri dari jerat kenikmatan benda
terlarang itu. Beno menjadi pembohong besar jika berhadapan dengan ibunya.
Sikap manis Beno itulah yang membuat Riyah tak pernah tahu sepak terjang
anaknya di luar sana.
Suatu
malam, Riyah dan kedua putrinya dikejutkan oleh dentuman keras di pagar
rumahnya. Saat itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Riyah, Hani, dan Ratih tergopoh-gopoh menuruni tangga rumah mereka. Dengan
terburu-buru Riyah membuka pintu. Mereka berlari menuju gerbang rumah yang
nyaris roboh. Tubuh Riyah bergetar hebat begitu melihat Beno terkapar penuh
darah di sisi sepeda motor. Riyah tak sempat lagi berpikir dari mana Beno
mendapatkan sepeda motor itu.
Malam
itu juga Beno dilarikan ke rumah sakit terdekat. Proses penanganan Beno begitu
cepat. Akhirnya Beno dipindahkan ke ruang ICU. Dengan jantung berdegup kencang,
Riyah membisu tak sangggup lagi berkata-kata. Hanya pandangannya saja yang
berkaca-kaca menatap mata Hani dan Ratih. Kalau saja waktu itu dia mau mendengar
kata-kata peringatan dari kedua putrinya, mungkin Beno masih bisa diselamatkan
dari jeratan pengaruh narkoba.
Kini
Riyah hanya bisa menyesali pilihan sikap yang diambilnya. Membiarkan
anak-anaknya yang sudah kehilangan figur seorang ayah, tumbuh bersama waktu
tanpa perhatian ibu di sisi mereka. Riyah tak bisa menyalahkan Beno, justru
dirinyalah yang harus menanggung semua tragedi yang paling menyakitkan ini di
sisa umurnya.
“Maafkan
Mami, Nak. Kalau saja Mami tak membiarkanmu dan selalu memberi perhatian
layaknya seorang Ibu di setiap waktu tumbuhmu, saat ini Mami tentu saja masih
bisa mendekapmu. Kita masih bisa
berbincang tentang masa depan atau apa saja yang kamu butuhkan. Kamu tak sampai
mencicipi barang haram itu. Maafkan Mami....” isak Riyah terus meyesali
dirinya.
“Mi,
sudahlah. Mami masih punya waktu banyak untuk kami,” bisik Hani parau. Riyah
tersentak mendengar suara lembut putrinya. Ternyata Hani sejak tadi diam-diam
mengikuti dan memperhatian ibunya.
Riyah
mendekap Hani. Isakan Riyah masih tersisa. Hani membiarkan ibunya memuaskan
tangis. Takdir Beno sudah menjadi pukulan dahsyat untuk ibunya. Hani tak ingin
menambahi beban itu di sisa waktu hidup wanita yang paling dicintainya.
***
Dimuat di Majalah Insani (majalah ibu-ibu istri pegawai BI), edisi 18/TH VII/Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar