Sita datang ke butikku. Kupikir dia ingin melepas kangen karena kami sudah lama tak bertemu. Ternyata Sita mengikuti perkembangan karirku di dunia fashion. Dia merasa tertinggal jauh. Tanpa basa-basi, Sita melancarkan serangan kata-kata yang tajam.
“Kamu enak, bisnis yang kamu jalani sekarang sudah dibesarkan oleh keluargamu. Kamu tinggal ngejalaninya, kan?” ujar Sita memberi komentar yang terkesan mengejek.
“Enggak gitu juga. Aku bukan nyemplung begitu aja. Aku mengambil sekolah mode untuk bisa terjun ke bisnis ini. Kamu sendiri lihat kan kalau sejak kita tamat dari SMP aku langsung mengambil jurusan Tata Busana di SMKN. Kalau cuma modal dengkul, mana mungkin aku bisa jadi seperti sekarang,” protesku. Aku tak suka Sita mengecilkan kemampuanku.
Sepertinya Sita belum puas. Bibirnya membentuk senyum sinis. Bola mata Sita yang kecokelatan itu seolah tak mau percaya kalau semua yang kuraih sekarang, sebagian besar karena andilku sendiri.
Dadaku terasa sesak mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur sinis dari bibir tipis Sita. Teman sekolahku itu seolah-olah ingin merampas rasa percaya diriku pada sebuah kata keberhasilan. Sita yang memang sudah lama menyimpan segunung angan-angan untuk menjadi perancang mode terkenal, kini hanya bisa gigit jari. Dia tak pernah berhasil menyaingiku di bisnis ini.
Dadaku terasa sesak mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur sinis dari bibir tipis Sita. Teman sekolahku itu seolah-olah ingin merampas rasa percaya diriku pada sebuah kata keberhasilan. Sita yang memang sudah lama menyimpan segunung angan-angan untuk menjadi perancang mode terkenal, kini hanya bisa gigit jari. Dia tak pernah berhasil menyaingiku di bisnis ini.
“Iya, tetap saja itu namanya keberuntungan bukan mutlak karena keberhasilanmu sendiri. Semua orang tau kalau orangtuamu yang memulai bisnis ini,” tambahnya lagi memuaskan diri.
Bibir tipis Sita kembali mencibir. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja seolah menunggu reaksiku. Dadaku semakin panas. Kalau saja aku mengikuti kata hati, ingin rasanya aku mengusirnya. Dia berhasil membuatku kesal. Belum usai aku menjelaskan semuanya, Sita pulang dengan membawa rasa kemenangan di hatinya.
Kulirik pantulan wajahku di cermin. Ya Tuhan! Wajah Dian Pelangi tak lagi terpantul manis di situ. Panas di dadaku ternyata tergambar di warna pipiku yang memerah. Pancaran mataku juga tak bisa menutupi kekesalan pada Sita. Temanku itu pasti tersenyum puas di hati. []
Baguuuuus ceritanya :)
BalasHapusMakasih ya. :)
HapusWow, template-nya keren mbak? warna hijau tosca
BalasHapusambil dari mana ini mbak? :D
Dari teman, Mbak. Makasih ya. :)
BalasHapus