Benarkah
kegiatan menulis itu butuh motivasi? Kalau saya yang ditanya tentu jawabnya bisa
iya bisa tidak. Untuk sebagian orang modal menulis bukanlah motivasi tetapi
lebih pada inspirasi/ide. Namun, selebihnya justru membutuhkan motivasi untuk
memulai menulis, sebab motivasi yang mereka dapat diharapkan mampu menggerakkan
inspirasi/ide yang muncul.
Untuk itu, beberapa waktu lalu saya telah memenuhi permintaan dari Ketua
Bidang Pemberdayaan Perempuan Ikatan Alumni dan Abituren Pelajar Pesantren AT-Thoyyibah
Indonesia (IKAPPAI) Medan, Rumah Yuni Kreatif dan Rumah Fitrah untuk mengisi
acara bertajuk “Menulis bersama Wylvera”, bertempat di gedung jurusan Analis
Kesehatan Poltekkes, Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat no. 6 Medan.
Panitia meminta saya
memberikan motivasi menulis kepada audience
yang akan mendaftar menjadi peserta di pelatihan tersebut. Setelah melewati
diskusi jarak jauh (Medan – Bekasi), akhirnya kesepakatan pun terwujud. Saya
menyetujui tanggal pelaksanaan yang diminta oleh mereka yaitu 16 Agustus 2013.
Kebetulan saya masih berada di Medan untuk menghabiskan libur mudik bersama
keluarga. Sehingga menjadi pemateri di sebuah kegiatan pelatihan menulis tentu
saja akan menjadi momen berkesan di suasana mudik saya kali ini.
Awalnya saya sedikit ragu
untuk memenuhi permintaan itu, karena agak riskan rasanya menyelenggarakan
pelatihan (apalagi pelatihan menulis) yang lumayan serius di suasana lebaran.
Pagi itu sekitar jam sembilan pagi, ruangan yang telah ditata sedemikian rupa terlihat lengang seperti tak
ada tanda-tanda akan digelar sebuah kegiatan pelatihan menulis. Ketika saya
datang, saya hanya melihat beberapa panitia yang menunggu di meja dan buku tamu
(untuk daftar hadir peserta), beberapa buku karya saya yang tersusun ‘anggun’
di atas meja, backdrop yang memuat
foto saya terpampang manis di dinding beserta seperangkat infocus. Diam-diam saya menguatkan semangat untuk tetap memberikan
materi meskipun nantinya hanya segelintir yang hadir.
Tetapi dugaan saya meleset.
Kekhawatiran saya tidak terbukti, sebab begitu waktu bergerak maju ruangan yang
hening tadi pun mulai terlihat semarak oleh kehadiran para peserta pelatihan
yang rata-rata mengenakan hijab. Subhanallah... saya sempat menangkap sinar
keantusiasan di mata mereka begitu memasuki ruangan. Senyum ramah dan hangat
tak putus-putus menghampiri saya sebagai pemateri.
Acara yang seharusnya
dimulai tepat pukul 09.00 pagi itu bergeser ke pukul 10.30. Itulah yang sempat
membuat saya merasa cemas, namun semangat saya langsung menyala ketika melihat
sekitar 35 peserta yang “duduk manis” dan siap menunggu materi menulis dari
saya. Kekosongan waktu antara pukul 09.30 – 10.30 itu dimanfaatkan oleh
moderator untuk saling berkenalan sambil menunggu yang lainnya hadir. Moderator
meminta saya berbagi pengalaman dan latar belakang yang menginspirasi saya
memilih profesi sebagai penulis, guru dan trainer.
Dengan senang hati saya membuka cerita untuk menjawab semua yang ingin mereka
tahu tentang saya di dunia menulis.
Betapa senangnya saya
ketika melihat mata mereka seolah tak mau berpaling sekejap pun demi menyimak
pengalaman yang saya sampaikan. Apalagi ketika mereka tahu kalau saya lahir dan besar di kota Medan. Keakraban terasa begitu cepat menjalin kebersamaan kami. Lalu saya ceritakan kalau masa kecil saya justru
tidak dimanjakan oleh buku-buku bacaan. Padahal saya suka sekali membaca waktu
itu. Mungkin orangtua kami tidak terpikir menyediakan anggaran membelikan
buku-buku cerita untuk saya karena kami bukanlah keluarga yang terlalu berlebih
secara ekonomi. Namun, kebiasaan Papa saya yang suka mendongeng menjadi sebuah
kenangan yang terus mengendap. Lagi-lagi saya mengatakan bahwa
bukan tidak mungkin kalau kebiasaan mendengar dongeng itulah sebenarnya cikal
bakal yang tersimpan di diri saya sehingga saya akhirnya terjun ke dunia
menulis.
Waktu begitu cepat
bergerak. Sesi perkenalan dan membagi pengalaman akhirnya usai. Tibalah saatnya
MC membuka acara pelatihan menulis secara resmi. Setelah Ketua Bidang
Pemberdayaan Perempuan IKAPPAI dan Ketua Rumah Fitrah memberikan sambutannya, saya pun siap berdiri di
depan kelas untuk memulai materi menulis. Mulai dari motivasi menulis, tips
agar tetap semangat untuk menulis, sumber ide, cara mengemas dan mengolah ide
menjadi tulisan, unsur-unsur yang ada dalam tulisan atau cerita, sampai pada
proses self editing, saya paparkan
dengan rinci. Selain memberikan contoh-contoh, di tengah paparan sesekali saya melempar joke-joke ringan untuk memancing tawa mereka. Ruangan pun menjadi
riuh ditingkahi tawa.
Saya tak lupa untuk
bertanya apakah mereka masih tetap bersemangat untuk mengikuti dan menyimak
materi dari saya. Jawabannya sangat memuaskan. Mereka masih tekun menyimak
sambil sesekali mencatat bagian-bagian penting yang ingin mereka simpan sebagai
panduan.
Ketika memasuki tengah
hari (jam-jamnya lapar...hehehe), saya tak mau mengendurkan semangat mereka
untuk tetap konsisten mengikuti kelas. Beberapa mata dan mulut yang mulai
menguap itu tak boleh dibiarkan. Saya meminta mereka berdiri untuk bersama-sama
melakukan penyegaran. Gerakan tangan dan jari itu bernama hujan deras dan gerimis. Sambil mengikuti aba-aba yang saya berikan, ruangan pun kembali segar dipenuhi gelak tawa
kami.
Saat memasuki sesi tanya
jawab, beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan, tentang cara mengatasi jika
saat menulis tiba-tiba di tengah tulisan idenya mampet atau kehilangan gairah
untuk meneruskan tulisan. Saya katakan bahwa proses menulis itu bukan instan
dan harus langsung jadi. Penulis yang produktif sekalipun pasti pernah
mengalami kebuntuan yang sering disebut dengan istilah writer’s block. Itu manusiawi dan tidak perlu langsung menjadi
galau atau patah semangat. Namun, bukan berarti membiarkan kebuntuan itu
berlama-lama. Boleh istirahat sejenak dari tulisan yang stuck itu, cari suasana segar supaya ide yang buntu tadi bisa
dicairkan kembali.
Banyak cara, misalnya
jalan-jalan (dalam artian ke luar rumah) mencari udara segar atau blogwalking alias jalan-jalan ke blog
orang lain, membaca dan nonton. Siapa tahu, dari sana akan muncul kembali ide-ide segar. Dan, begitu terasa nyaman, kembalilah ke tulisan yang terhenti tadi. Lihatlah
apa sebenarnya yang membuat tulisan kita buntu. Sudah tepatkah ide yang kita
pilih untuk dijadikan sebuah tulisan? Sudahkan kita membuat garis-garis besar
dari apa yang ingin kita tulis? Jika tulisan itu ingin menjadi cerita panjang,
lupakah kita membuat plotnya? Jika jawabannya iya, maka itulah salah satu penyebab
yang membuat kita bingung untuk melanjutkannya sebab kita belum memiliki guideline untuk tulisan kita.
Pertanyaan terus
bermuncuulan dan saya tetap menjawab dengan semangat. Jika saja waktu tidak
dibatasi rasanya tak habis-habis pertanyaan yang mereka ajukan. Luar biasa! Puji saya dalam hati. Begitulah, kebersamaan kami yang menghabiskan durasi sekitar 3 jam
itu terasa begitu singkat. Banyak hal yang dipertanyakan kepada saya dan saya
selalu berusaha memberikan jawaban yang mereka inginkan. Ini terbukti dari
hasil tulisan yang mereka rangkai di sesi praktik. Betapa senangnya saya
mendengar beberapa dari mereka membacakan tulisannya. Idenya begitu mengalir
dan berjiwa. Saya sempat ragu dan menyimpan rasa penasaran. Tapi akhirnya saya
lega setelah mendengar pengakuan dari mereka ketika saya menanyakan sesuatu.
“Wah, tulisannya bagus-bagus. Jangan-jangan semua yang ada di
kelas pelatihan ini diam-diam memang penulis ya, jadi materi yang saya
sampaikan hanya penyegaran saja sifatnya?” tanya saya sengaja ingin mendapatkan
feedback yang pasti dari mereka.
“Tidaklah, Bu. Itu karena materi dan cara ibu menyampaikannya
memang jelas dan rinci. Kami jadi langsung mengerti dan mempraktikkannya. Selama
ini kami enggak dapat materi seperti yang ibu berikan. Ternyata jadi lebih
gampang menulis itu ya,” jawab salah satu dari mereka.
Tidak hanya sampai di situ, panitia juga sangat royal membagi-bagikan
hadiah. Tulisan-tulisan yang bagus diberi penghargaan lewat hadiah berupa goodie bag berisi buku dan suvenir
lainnya.
Puas dan lega rasanya. Tiga jam berdiri dan memberi materi
akhirnya berbuah manis. Peserta pelatihan juga antusias membeli buku-buku saya
untuk ditandatangani. Sesi booksigning
pun berjalan lancar dan seru.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada panitia yang
telah mengundang saya untuk menjadi pembicara di pelatihan ini. Terima kasih
juga buat bingkisan cantiknya. Jangan ragu untuk mengundang saya kembali di
acara serupa ya. Hehehe....
Untuk semua peserta, terima kasih kebersamaannya. Teruslah
menulis! Semoga materi menulis dari saya mampu memotivasi kalian, baik itu dalam
menulis cerita maupun karya tulis lainnya. Salam. []
Pantas saja lama tak terlihat di Jakarta. Wow rupanya....Selamat Mak.
BalasHapusHahaha, bersembunyi di kampung halaman ya Mak? Btw, thanks ya. :)
HapusSalam kenal mbak, bagus dan menarik sekali postingannya..
BalasHapusSalam kenal kembali. Terima kasih, Mas. :)
Hapusaku selalu antusias jika ada seminar atau pelatihan kepenulisan, pernah ikut kegiatan FLP sidoarjo yang mengudang kang abik dengan bunda shinta, rasanya enerji untuk menulis langsung penuh. semoga bisa ketemu bunda vera ya,, :)
BalasHapusIya, dengan mengikuti pelatihan atau seminar tentang menulis itu kita serasa di-recharge lagi ya. Aamiin, semoga. :)
HapusKeren mak...Salam kenal...
BalasHapuswww.jarilentikyangmenari.com
Makasih, Mak. Salam kenal kembali. :)
HapusKeren bu pengalamannya, bisa dipraktikkan untuk nanti sharing sama rekan-rekan saya lainnya. Menulis yang menjemukkan menjadi asyik ketika dibalut sama joke dan ice breaking :)
BalasHapusMakasih. Iya silakan dicoba. :)
Hapus