Gara-gara membaca
postingan status teman di facebook,
saya jadi teringat untuk mengulas pengalaman anak-anak saya saat bersekolah di
Amerika. Bukan untuk membanding-bandingkan sistim pendidikan di sana dengan di
tanah air, sebab di Indonesia pun sudah ada beberapa sekolah yang menerapkan
pola serupa. Saya hanya sekadar membuka kenangan manis saja yang sempat
dirasakan Mira dan Khalid selama bersekolah di sana. Dan, tentunya sempat
berimbas kepada saya, ibu mereka.
Mira dan Khalid di depan sekolahnya dulu |
Kami tidak terlalu lama bermukim di
kota kecil bernama Urbana Champaign, Illinois, namun pengalaman yang kami dapat
begitu berkesan sehingga sulit untuk dilupakan walaupun sudah bertahun-tahun
berlalu. Di bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kenyamanan bersekolah
bagi anak-anak saya selama di sana. Meskipun di awal-awal anak-anak saya tidak
langsung enjoy (terutama Mira, anak
sulung saya, karena kesulitan bahasa), namun proses adaptasi tak memakan waktu
lama. Hanya sekitar dua minggu, semuanya bisa berjalan normal dan justru menyenangkan
bagi mereka.
Ada beberapa cerita menarik tentang
sekolah yang kerapkali mereka bawa pulang ke apartemen kami kala itu. Pertama,
tentang sistim pembelajaran yang menurut mereka sangat menyenangkan. Meskipun
disampaikan dalam Bahasa Inggris yang belum sepenuhnya mereka kuasai, tapi
mereka tak merasa tertekan untuk mengikutinya. Guru di sana selalu membimbing
mereka bukan hanya dengan kesabaran, tetapi juga dengan pendekatan yang membuat
mereka nyaman. Tak pernah terucap kata “Itu salah, harusnya begini” atau “Enggak
boleh nulis seperti itu, nanti nilai kamu rendah”, dan sebagainya yang bersifat
penekanan.
Mengerjakan PR tanpa kepanikan |
Pekerjaan rumah (PR) juga selalu
mereka dapat dari guru-gurunya. Namun, itu tidak dirasakan sebagai penekanan. Kesulitan
yang mereka hadapi hanya karena faktor bahasa saja, bukan ketakutan akan benar
atau salah dalam menyelesaikan soal-soal tersebut.
Apa
yang menyebabkan mereka nyaman? Menurut Mira (waktu itu sempat duduk di kelas fourth dan fifth grade), mereka tidak pernah tertekan karena melihat nilai
teman yang tinggi dalam bentuk angka 10, 9, atau 8. Bentuk penilaian selalu akan
diapresiasi dalam kata-kata seperti, excellent,
good job, well done, great job, dan
kata-kata lain yang sifatnya membangun serta menyemangati. Dengan kondisi
seperti itu, mereka tidak merasa dipacu oleh tekanan untuk bersaing satu sama
lain secara membabi buta. Justru unsur kebersamaanlah yang kerapkali muncul,
agar semua anak di dalam kelas bisa mencapai standar yang sama tanpa harus
terbebani dan tertinggal dari teman lainnya.
Di kelas ESL (English as a Second Language) |
Untuk pelajaran ilmu alam
misalnya, anak-anak tidak melulu dijejali dengan teori-teori dan angka-angka.
Mereka sesekali dibawa berwisata (field
trip) untuk berlatih dekat dengan alam serta makhluk hidup lainnya. Dengan
cara demikian, maka logika dan kepekaan mereka perlahan diasah dengan cara yang
menyenangkan. Di acara itulah, guru-guru mereka mengantarkan dengan cara
praktik langsung secara bertahap tentang teori-teori yang berkaitan dengan ilmu
bersangkutan. Dan, ini tentu saja lebih efektif terekam oleh daya ingat
murid-muridnya.
Belajar banyak di tempat field trip |
Belajar tentang tumbuh-tumbuhan |
Mengenal benda mati (batu itu, jadi saksi...*_^) |
Begitu juga di pelajaran seni. Baik
itu seni rupa, tari, musik, dan suara, semua diajarkan dengan pendekatan yang
benar-benar menyentuh. Bahkan ada anak yang tadinya tidak peduli dengan
pelajaran seni ini, akhirnya sangat menyenangi dan merasa selalu senang mengikuti
kelasnya. Karena apa? Setiap anak (baik yang peduli maupun tidak) semua
dianggap sama dan diajak dengan cara menyentuh perhatian mereka secara
perlahan-lahan sehingga mereka tak merasa berbeda dari yang lainnya.
Keseragaman ini membuat anak nyaman untuk mulai mencintai apa yang tadinya
mereke benci.
Khalid ikut field trip |
Belajar seni suara dengan gembira |
Mira dan para pemeran Lion King |
Dua guru di antara beberapa guru favorit Mira dan Khalid |
Setiap 3 - 6 bulan sekali, pihak
sekolah akan memberikan apresiasi kepada murid-muridnya. Reward berbentuk award
berupa piagam menjadi barang lazim di sana. Anak-anak yang tak menguasai
pelajaran matematika, tak pernah merasa minder karena dia akan diberikan award atau penghargaan di bidang mana
yang dia kuasai.
Penghargaan itu membuat Khalid selalu semangat |
Mengingat ini, saya jadi teringat
ketika pertama kali ikut seleksi pendaftaran Mira ke SMA-nya. Isu yang saya
dengar bahwa pihak sekolah akan memberi nilai tambah kepada anak-anak yang
berprestasi. Fine... saya senang
mendengarnya. Tapi, ketika batasan terhadap penghargaan itu muncul, saya kembali
teringat dengan sistim pendidikan di sana. Di SMA Mira kemarin membatasi dengan
menerima prestasi atau sertifikat hanya di bidang akademis dan itu pun khusus
untuk pelajaran Matematika dan IPA. Saya hanya bisa tersenyum miris ketika
beberapa penghargaan/sertifikat di luar pelajaran itu (seni dan bahasa) ditolak
mentah-mentah di meja seleksi pendaftaran.
Sebagian penghargaan yang Mira dapat selama di King School |
Dengan kondisi di atas, tentulah
anak-anak merasa kecewa karena kebisaannya di bidang lain yang dengan susah
payah diraihnya, tidak dianggap sema sekali. Kasarnya, semua modal untuk masuk
ke sekolah bagus itu adalah nilai berbentuk angka-angka. Memang, standar nilai
itu perlu diukur dengan angka, tapi tidak untuk segala bidang. Pencapaian
terbaik yang sudah dilakukan siswa di bidang non akademis ada baiknya juga
mendapat perhatian, karena tidak semua anak menguasai MIPA.
Kondisi inilah yang sesekali menjadi
kenangan dan kami jadikan sebagai bahan diskusi di rumah. Anak-anak saya sampai
saat ini masih suka mengingat-ingat hal-hal positif yang membuat mereka nyaman
ketika bersekolah di Marthin Luther King Elementary School. Hal itu muncul di
saat mereka mulai panik dengan tekanan tugas dan PR dari sekolahnya. Apalagi ketika
target nilai yang harus mereka kejar agar tetap bisa menduduki peringkat atas
di kelasnya, sehingga kelak guru tidak mengabaikan mereka dan memperhitungkan
keberadaannya di kelas. Ini sangat melelahkan, menurut hemat saya.
Kapan ya, sistim pendidikan kita
akan diseragamkan dengan sekolah-sekolah yang mungkin sudah mengarah pada pola
pengajaran di luar negeri itu? Pertanyaan ini yang sering saya dengar dari
mereka yang anaknya pernah tinggal di luar negeri. Bahkan di status facebook pun sesekali mereka menggelar
diskusi tentang ini. Hmm.... wallahua’lam bishawab. []
Pantesan suara Mira bagus ya mbak, ternyata sejak kecil sudah suka menyanyi ya
BalasHapusHahahaha, bisa jadi ya Mbak Lidya. Mira memang keliatan sekali darah seninya sejak belum sekolah malah. :)
HapusPendidikan di LN umumnya tak terlalu membebani murid karena pelajaran juga nggak terlalu banyak.
BalasHapusMereka mendidik agar jurid berani mengemukakan pendapat.
Terima kasih artikelnya yang menarik dan bermanfaat
Salam hangat dari Surabaya
Betul, Pakde Cholik... dari situ mereka belajar berpikir logis juga. Btw, makasih sudah mampir dan beri komentar ya. :)
HapusSalam kekeluargaan dari Bekasi.
Malahan di sekolah anak saya yg membabi buta akan nilai anaknya supaya tinggi adalah orang tuanya. Bergidik saya jika ingat akan hal itu
BalasHapusNah, itu dia Mbak... gegara tuntutan angka-angka tadi, orangtua jadi panik dan gak mau anaknya gagal. Jadilah seolah mereka yang bersaing. Pfiuuuh....
HapusMakanya mba, saya suka merasa prihatin dan kasihan pada anak2 korban dari ortu yg punya ambisi gak jelas.
HapusSedih kalau sertifikat itu tidak bermanfaat. :( Padahal, anak-anak kita berusaha optimal untuk meraihnya. Semoga ke depannya lebih baik ya, Kak.
BalasHapusIya, Haya.
HapusUntunglah waktu masuk SMP kemarin salah satu sertfikat Khalid itu bisa diterima untuk daftar jalur prestasi. Aamiin, semoga sistim pendidikan kita ke depannya semakin dibenahi. :)
iya, untungnya sekolah anakku yang sekarang juga gitu gak nilai pake angka tapi good, very good, ditempelin sticker bintang atau happy face...masih kurang field tripnya aja sih tapi mungkin belum setengah tahun juga kan jadi mungkin memang belum. Sekolah2 diluar memang sering field trip suka ngiri kalo temen2 bloggerku yang di luar nulis aktifitas sekolah anak2nya iiih sekolah di indo emang jarang banget bikin field trip2 gini padahal anak2 itu kan terutama yang masih pada tk ya harusnya belajarnya sambil main yaa...
BalasHapusMasih TK ya Mbak Rina?
HapusSemoga untuk level SD, SMP dan SMA nya juga mulai mengadopsi gaya pembelajaran luar ya. Biar anak-anak gak stress. :)
Disini murid diajarkan 'legowo' dan 'nerimo'..bukan percaya diri dengan kemampuan masing-masing yang tentu saja tidak selalu sama...hiks..hiks...
BalasHapusItu dia, Dian... "legowo" dan "nrimo" itu memang terkadang perlu ditanamkan kepada anak-anak, tapi dalam hal yang memang pantas sehingga mereka terbiasa memilah-milih untuk menentukan sikapnya pada hal-ahal yang pas, bukan pasrah dalam artian tertekan. Itu yang terkadang tidak dipahami oleh pendidik-pendidik kita di sekolah. "Aku gurunya kamu muridku, ya sudah kamu harus nurut," begitu kira-kira. Anak-anak enggak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat hingga tuntas. Biasanya kalau sudah terpojok, power of authoritynya yang muncul. :(
Hapus