“Aku mau ambil student exchange untuk tiga mata kuliah.”
“Di mana?”
“Ada beberapa pilihan. Tapi aku penginnya ke Leiden.”
Itu perbincangan awal kami dengan Yasmin Amira Hanan. Putri sulung kami yang masih bersiap memasuki ujian semester enam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kelas Internasional waktu itu. Sebenarnya ada dua pilihan untuknya. Ia bisa mengambil progam double degree ke negara yang bekerja sama dengan fakultasnya. Namun si Kakak (begitu kami memanggilnya di rumah), lebih memilih program student exchange. Kami selalu mendukung apa pun yang dipilihnya.
Here we go ....
Mencari tempat tinggal
Singkat cerita, semua prosedur menuju Universitas Leiden pun dipersiapkan. Mulai merancang motivation letter, menyesuaikan nilai passing grade yang ditentukan di universitas tersebut, mengurus recommendation letter ke pihak FHUI dengan mencantumkan semua prestasi terkait. Dan masih ada beberapa persyaratan lainnya yang harus dipenuhi. Termasuk mengulang hasil tes IELTS yang masa berlakunya sudah berakhir. Semua lancar dan hasilnya setingkat lebih tinggi dari hasil tes beberapa tahun sebelumnya.
Alhamdulillah … setelah semua disubmit dan menunggu dengan harap-harap cemas, si Kakak dinyatakan lulus di Universitas Leiden. Sampai di situ memang lancar dan kami sama-sama bersyukur. Namun Allah selalu menguji dengan cara-Nya. Tibalah saat yang bikin kami deg-degan. Si Kakak belum juga mendapatkan tempat tinggal di sana. Sementara, tempat tinggal adalah syarat untuk memperoleh visa pelajarnya.
Karena jarak waktu dengan dimulainya jadwal perkuliahan begitu pendek, maka mencari tempat kost atau apartemen yang harganya rata-rata pun menjadi sulit. Beberapa yang dimunculkan di website terlihat available tapi saat dihubungi selalu berakhir dengan ketidakpastian. Ada yang murah tapi di luar kota Leiden atau ada di Leiden tapi harus berbagi kamar mandi dan dapur. Si Kakak ingin mencari kamar yang sudah ada dapur di dalamnya agar ia leluasa jika ingin memasak makanannya sendiri. Tidak bercampur dengan alat masak anak kost lainnya.
Saya pun ikut membantu mencari informasi lewat beberapa teman. Alhamdulillah semua mau membantu memberikan informasi. Namun tidak semudah yang dibayangkan karena memang semua kamar yang mereka tahu sudah terisi atau alamatnya tidak bisa dijadikan syarat pengurusan visa.
Allah Maha Baik. Berkat kesabaran yang dibumbui dengan sesekali perdebatan kecil, akhirnya si Kakak mendapatkan tempat kost juga di Leiden. Modelnya seperti apartemen. Ada beberapa kamar yang diisi oleh laki-laki dan perempuan. Kamar mandi yang ada di setiap lantai saja yang berbagi. Dapurnya ada di dalam kamar masing-masing. Walaupun sedikit tidak pas dengan ekspektasi (penginnya semua perempuan -red), tapi ya sudahlah. Yang penting selalu waspada dan berhati-hati menjaga diri.
Oiya, jarak tempat kost itu sekitar 1,5 Kilometer ke kampusnya. Meskipun kami harus rela membayar sebulan pertama (bulan Juli) sementara kami belum tiba di sana pada bulan tersebut. Plus minusnya selalu ada. Dengan harga yang tidak terlalu jauh dari target, akhirnya kami sepakat untuk mengambil apartemen itu.
“Jangan pikirkan ruginya lagi,” ujar suami agar kami tidak terlalu fokus ke hitung-hitungan ruginya melulu.
Maka saya pun membuat daftar untungnya agar hati tidak terlalu berat mengeluarkan sekitar 800 Euro dengan cuma-cuma. Mau gimana lagi, kondisinya memang sudah seperti itu. Harus diikhlaskan sebab tidak ada yang mudah untuk meraih cita-cita.
Proses keberangkatan yang dramatis
Saya dan suami ingin ikut mengantarkan. Selain sibuk mengurus kebutuhan si Kakak, kami pun disibukkan dengan pengurusan paspor, visa dan tiket pesawat juga. Bagian pengurusan yang ini diambil alih oleh suami. Saya membantu membuat rencana perjalanan selama di sana. Alhamdulillah, visa sudah di tangan, tiket pesawat sudah dibeli, penginapan dan hotel sudah dipesan, dan kami in shaa Allah siap berangkat bertiga. Qadarullah … izin yang diajukan suami ternyata tidak seluruhnya disetujui oleh atasannya.
Panic attack!
Saya sempat nelangsa mendengar kabar via telepon dari suami. Si Kakak pun terdiam lesu menyimak suara bapaknya yang terdengar kecewa. Padahal saat itu saya sedang bersemangat membantunya menata ulang isi koper yang akan dibawa. Hilanglah gairah beberapa saat. Isi koper kami biarkan berserakan di atas kasur.
Terjadilah diskusi yang malah mirip perdebatan. Saya masih berusaha mencari solusi agar izin itu bisa diubah. Konyol sih tapi melihat wajah anak gadis saya mendadak murung dengan mata berkaca-kaca, saya menepis pikiran konyol itu. Padahal keputusan atasan adalah keputusan! Bawahan harus manut! Jika membangkang, pasti ada konsekuensi. Itu sempat terlupa oleh saya dan si Kakak. Saya tidak ingin itu memengaruhi karir suami.
Akhirnya tidak ada solusi selain kami yang harus mencari jalan terbaik, demi buah hati yang sudah menyimpan semangat penuh menuju universitas pilihannya. Ia begitu bersemangat karena tahu Bapak dan Ibunya akan ikut mengantar, ternyata tidak sesuai dengan keinginannya. Airmata gadis kami pun tak bisa dibendung. Ia mencoba bernegosiasi dengan bapaknya.
Saya biarkan saja situasi itu demi memuaskan hatinya. Saya biarkan ia sambil sesenggukan menyimak penjelasan bapaknya. Ia juga harus belajar berhadapan dengan situasi ini agar jika suatu hari nanti mengalami hal serupa dengan dunia kerjanya, ia sudah bisa memahami bagaimana seharusnya untuk bijak bersikap.
Saya tahu hatinya masih terselip rasa kecewa karena semua yang direncanakan jadi sedikit berubah dan berantakan. Termasuk saya dan suami harus mengubah tanggal keberangkatan dan kepulangan tiket pesawat. Ada biaya tambahan di situ. Kami harus ikhlas. “Uang bisa dicari,” kata suami saya. Keikhlasan itu memang mahal tebusannya tapi tinggi nilainya untuk menjaga kredibilitas. Ini menjadi pelajaran penting bagi suami dan kami sebagai orang yang mendukung karirnya.
Lima hari pertama bersama Ibu
Semua sudah rapi dan saya siap mengantarkan si Kakak menuju negara yang juga dijuluki sebagai negeri kincir angin itu. Tanpa si Bapak. Kami sudah ikhlas untuk berangkat berduaan saja. In shaa Allah suami saya akan menyusul agar tanggal pengurusan segala sesuatunya di Leiden sana bisa klop. Hari Sabtu, 3 Agustus 2019 selepas magrib kami bergerak dari Bekasi menuju bandara Internasional Soekarno Hatta.
Kekecewaan di wajah si Kakak masih tersisa tapi saya sengaja mengajaknya untuk fokus ngobrol tentang bagaimana nanti di Leiden. Sepanjang perjalanan, si Bapak sesekali memberi wejangan supaya begitu begini agar kami nyaman saat tiba di sana nanti.
Kami pun tiba di bandara Soetta. Meja check in belum dibuka. Si Bapak mengajak kami makan malam sambil menunggu waktu. Baru kali ini saya dan si Kakak bepergian berdua dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Terakhir kami ke luar negeri berdua, hanya sampai di Singapore saja. Untuk yang pertama tentu ada rasa yang berbeda. Apalagi kondisi ini tidak direncankan sebelumnya. Mendadak diubah itu yang bikin hati menyimpan beragam rasa.
Singkat cerita, kami pun harus berpisah sementara dengan si Bapak. “Kami tunggu di Leiden ya, Pak,” ujar si Kakak penuh makna yang bikin hati saya nyaris bergerimis. Ternyata hatinya masih belum melepas rasa kecewa itu sepenuhnya. Biarkanlah … toh ia harus belajar menerima kondisi yang belum tentu semua sesuai dengan keinginannya.
Setelah itu saya dan si Kakak pun bergegas menuju meja imigrasi. Alhamdulillah semua lancar hingga kami masih bisa menunaikan salat Isya bersama di dekat gate tempat menunggu boarding. Tidak terlalu membosankan waktu untuk menunggu saat itu. Saya dan si Kakak sesekali berbincang membayangkan situasi Leiden seperti apa nantinya. Lewat tengah malam, pesawat Qatar yang akan membawa kami pun terbang menuju Doha. Yup! Kami harus transit di Doha International Airport.
Dari Doha menuju Schiphol, Amsterdam
Kami tiba di bandara Doha sekitar pukul 06.30 waktu Doha. Penerbangan berikutnya menuju Amsterdam dijadwalkan pukul 07:50 waktu Doha. Perbedaan waktu Doha dan Amsterdam sekitar satu jam. Kami masih punya waktu untuk bebersih di kamar mandi bandara.
Setengah jam menjelang boarding, kami memutuskan untuk menunggu di gate yang sudah ditentukan. Hingga akhirnya penerbangan berikutnya pun dimulai. Sekitar 6 jam di udara, akhirnya kami mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam sekitar pukul 13:45 waktu Amsterdam.
Bandara ini tidak banyak berubah setelah terakhir saya dan suami sampai di sini tahun 2015. Dari pesawat, kami tidak langsung bertemu dengan pintu imigrasi. Petugas bandara meminta semua pendatang antri untuk masuk secara bertahap. Tiba giliran kami. Prosedur seperti biasa di setiap imigrasi bandara kembali kami ikuti.
Sekuritas bandara merupakan teknik yang dipakai untuk melindungi penumpang, staf, dan pesawat pengguna bandara dari gangguan dan ancaman. Selain harus memeriksa peranti elektronik yang dibawa, penumpang juga harus melepas jaket, tali pinggang, dan sepatu berbahan kulit saat melewati petugas bandara. Namun untuk melewati pintu imigrasi Bandara Schiphol, Amsterdam, harus patuh mengikuti aturan ketat dan rincian pemeriksaan peranti baru bernama milimeter wave images machines.
Saat kita berada di dalam kubikal, mesin di dalam alat tersebut akan mengirimkan gambaran tubuh kita dalam keadaan … maaf … bugil, ke pihak keamanan bandara yang berada sekitar 20 meter dari mesin tersebut. Gelombang elektromagnetik akan digetarkan ke penumpang yang berdiri di kotak pemindai dengan posisi tubuh kaki menginjak tanda telapak kaki dan kedua tangan diangkat ke atas. Proses scan (pindai) berlangsung cepat yaitu sekitar 3 – 5 detik.
Alat ini dapat melihat sudut-sudut tubuh, bahkan garis alat kelamin, tapi jangan khawatir … hasil gambar itu tidak akan pernah bisa disimpan maupun digandakan (dikopi). Intinya, alat ini sangat menjunjung tinggi privasi, sebab petugas yang melihat hasil akhir berupa foto hitam putih, berada di ruang terpisah dan tidak akan pernah melihat penumpang yang sedang di-scan.
Proses imigrasi pun terlewati tanpa kendala. Tinggal mengambil bagasi dan membeli nomor sim card baru di bandara. Sebelum menuju Leiden kami harus menginap semalam dulu di Amsterdam. Badan yang lumayan lelah pun mulai diajak bekerja sedikit ekstra untuk menggeret 2 koper ukuran besar dan 1 koper ukuran kabin. Kami harus menyambung naik kereta dari bandara menuju stasiun Amsterdam. Hotel yang kami pesan tidak terlalu jauh dari stasiun. Tepatnya berada di pusat kota.
Tiba di pintu hotel, wajah saya dan si Kakak langsung lesu. Kami lupa bahwa sebagian besar hotel-hotel kecil di Belanda memang tidak memiliki akses lift atau eskalator untuk mencapai beberapa lantai gedungnya. Tenaga yang memang sudah menurun pun terpaksa dikuat-kuatkan untuk membawa koper menuju lantai resepsionis. Saking capeknya, saya lupa memoto tangga hotel itu.
Setelah selesai check in, kami harus menaikkan koper itu lagi ke lantai berikutnya. Alamaaak … luar biasa! Otot lengan langsung teriak minta tolong. Seandainya seperti di Indonesia, kami rela mengupah orang daripada harus sesak napas dan terengah-engah membawa koper yang beratnya rata-rata 25 kilogram. Hiks!
Kebab ayam sayur |
Kelelahan sempurna kami rasakan. Si Kakak sampai tidak sanggup lagi menemani ketika saya mengajak keluar untuk mencari makan malam. Setelah salat dan bebersih, saya pun meninggalkannya di kamar demi mencari sesuap nasi makanan halal untuk kami santap malam itu. Alhamdulillah, penjual kebab yang dulu pernah kami singgahi ternyata masih setia berdagang. Ukuran kebab yang lumayan besar, cukuplah untuk makan malam kami berdua.
Well … sampai di sini catatan pertama perjalanan mengantarkan si Kakak menuju kampus pilihannya di Leiden. Tunggu lanjutannya di www.wylveraleisure.com ya. [Wylvera W.]