Oleh:
Wylvera W.
Seminggu
sebelum masuk kelas baru, Mama berjanji akan membelikanku sepatu, karena aku
sudah tak ingin memakai sepatu lamaku. Menurutku, sepatu lamaku itu sudah tak
layak pakai. Tapi, karena uang Mama terlanjur habis terpakai untuk membelikan
tas baru buat adikku, aku terpaksa mengalah.
Esoknya, sehari sebelum masuk
sekolah, Mama memberiku sepasang sepatu. Kupikir itu sepatu baru, ternyata
bukan.
“Tadi,
kakak sepupumu menitipkan ini buatmu. Katanya, sepatu ini sudah tak dipakai
lagi,” ujar Mama menunjukkan sepasang sepatu berwarna hijau muda.
“Ih, warnanya bikin sakit mata! Lagi
pula itu kan warna pilox!” protesku
tak suka pada warna sepatu itu.
“Pakai sajalah, daripada kau tak
nyaman memakai sepatu lamamu,” bujuk Mama dengan nada memelas.
Lagi-lagi aku harus mengalah. Padahal,
Mamaku tahu kalau aku paling tak suka dengan warna hijau ngejreng seperti warna
sepatu itu. Aku ingin menangis, tapi
kutahan dalam hati.
*
“Wow!
Sepatumu antik ya, Wie!” seru temanku kala itu. Aku pura-pura tak mendengar
seruannya yang terkesan mengejek di telingaku.
“Aku
tak suka dengan sepatu ini!” kataku kesal.
“Beli di mana?” tanyanya lagi
semakin membuatku ingin segera melempar sepatu itu ke tong sampah.
“Ini enggak beli!” bentakku spontan.
“Lho, kok marah?” tanyanya lagi.
Aku
tak menanggapi pertanyaannya. Kutinggalkan dia. Aku tak mau melihat wajah
temanku itu. Biarkan dia bingung dengan sikapku. Aku kesal melihat sepatuku
yang berwarna hijau muda ini. Persis warna daun pucuk pisang. Aku tak suka!
Hari itu adalah hari pertamaku duduk
di kelas enam. Setiap tahun ajaran baru, pasti teman-temanku sibuk memamerkan
barang-barang baru hadiah orangtua mereka. Dari mulai tas, baju seragam, sampai
sepatu baru. Sementara aku, jangankan tas dan seragam baru, sepatu pun aku
harus pasrah menerima warisan dari kakak sepupuku.
“Teng! Teng! Teng!”
Bunyi lonceng memberi aba-aba agar
semua murid berkumpul di halaman sekolah. Kalau boleh, aku ingin duduk di kelas
saja. Aku malas melihat kaki teman-temanku yang berbaris nanti. Pasti mereka
bangga dengan sepatu barunya.
Dengan dada derdegup kencang, aku
menunggu komentar teman-teman lainnya tentang warna sepatuku. Belum sempat aku
berpikir panjang, mataku tertuju pada sepasang kaki yang hanya memakai sandal
jepit.
“Sepatumu mana, Pah?” tanyaku
berbisik kepada Ipah yang berbaris di sebelahku.
“Tapaknya sudah jebol, enggak bisa
dipakai lagi,” jawabnya dengan suara bergetar menahan tangis.
“Enggak punya sepatu baru?” tanyaku
lagi.
“Emakku enggak punya duit. Sudah
seminggu Bapakku sakit. Duitnya habis buat beli obat,” jawabnya semakin pelan.
Aku terdiam. Mataku berkaca-kaca.
Ingin rasanya aku keluar dari barisan dan berlari memeluk Mamaku. Kupandangi
sepatuku dengan mata berair. Sesekali kulirik kaki Ipah dan sandal jepitnya. Aku
malu sekali karena tak pandai bersyukur atas rezeki sepatu bekas dari kakak
sepupuku. Aku jauh lebih beruntung dibanding Ipah. Bahkan sepatu lamaku jauh
lebih bagus dari sandal jepit Ipah. Aku ingin buru-buru memberikan sepatu
lamaku untuk Ipah.
*
Sepatu warna hijau daun pucuk pisang
tak lagi membebaniku. Tiba-tiba aku merasa senang dengan warna itu. Apalagi
saat teman-temanku memuji keunikan warna sepatu bekasku itu. Meskipun hanya
diwarnai dengan pewarna pilox, sepatu
warisan kakak sepupuku itu jadi kelihatan seperti sepatu baru. Sementara, Ipah
tak lagi memakai sandal jepit usang miliknya.
***
*Tulisan ini diposting untuk Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan*
BIODATA
PENULIS
Nama : Wylvera
Windayana
Alamat : Jl.
Borobudur No.8 Blok 4 Rt.4/Rw.12
Perumahan Bumi Bekasi Baru
Bekasi, 17115
Telepon : (021)
82426005/08121039145
E-mail : wylvera_windayana@yahoo.com
Blog : http://wylvera.blogspot.com
____________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar