Wanita itu masih
termangu di depan cermin etalase toko kosmetik. Matanya masih tertuju pada
bayangan dirinya di cermin. Bentuk tubuhnya yang masih mengembang di
bagian-bagian tertentu, membuatnya patah semangat untuk meneruskan memilih
produk kecantikan yang ingin dibeli.
“Silahkan,
Bu…dipilih saja mana yang cocok untuk Ibu. Kalau mau saya bantu, sepertinya Ibu
cocok memakai produk yang ini. Dengan memoleskannya sedikit lebih tebal di
wajah, akan meyamarkan garis-garis di sudut mata dan bibir,” ujar pelayan toko
kosmetik menyadarkan wanita itu. Sesekali dilihatnya perempuan cantik yang
sedang sibuk mencoba produk kosmetik lainnya. Perempuan bertubuh semampai dan
masih langsing itu begitu segar dan terlihat muda.
“Win, kamu
enggak jadi beli?” tanya perempuan cantik itu. Wanita itu menggelang pelan.
“Lho! Ada apa?
Tadi kamu yang semangat mengajak aku ke sini,” ujar perempuan itu lagi. Wanita bernama
Wina itu tiba-tiba merasa malas memilih-milih kosmetik di depannya.
Wina dan
perempuan cantik itu sebenarnya masih seumuran. Usia mereka baru saja melewati empat puluh tahun beberapa bulan lalu.
Tapi, Wina terlihat jauh lebih tua dari perempuan cantik itu. Selama ini, Wina
tak pernah memerdulikan perbedaan diantara mereka, namun lama-kelamaan hatinya
merasa tersaingi juga. Ini bermula dari respon suaminya tentang Ratih,
perempuan cantik yang sudah menjadi sahabatnya sejak masa kuliah.
“Ratih itu masih
terlihat cantik dan segar ya, padahal anaknya sudah besar-besar,” komentar
suami Wina suatu hari ketika mereka sama-sama menghadiri undangan perkawinan.
“Ya iyalah, uang
suaminya banyak dan berlebih-lebih. Apa sih yang Ratih enggak bisa beli. Bahkan
kecantikan pun sekarang bisa dia beli, tanpa berpikir besar biayanya,” protes Wina
pada suaminya, seorang pegawai swasta yang hanya memberinya tak lebih dari uang
bulanan untuk keperluan rumah tangga.
“Kamu
menyindirku?” sela suami Wina waktu itu. Wina diam, tak mau berbalas
argumentasi. Hatinya cemburu bukan main dengan komentar sang suami terhadap
kecantikan Ratih.
Sejak suami Wina
memberi penilaian terhadap sosok Ratih, diam-diam Wina pun berusaha keras untuk
mencari cara, supaya dirinya bisa secantik dan selangsing Ratih. Wina
mendaftarkan diri di pusat kebugaran. Setiap tiga kali seminggu dia mengikuti
senam. Mulai dari aerobic low impact,
filates hingga yoga, semua dia coba.
Sudah lebih dua bulan Wina menjalankan program olahraga itu, namun belum
terlihat perubahan pada bentuk tubuhnya. Wina mulai putus asa dan tak kuat lagi
membendung rasa ingin tahunya. Akhirnya Wina berterus terang pada Ratih kalau
dia cemburu pada kecantikan temannya.
“Aku cemburu
sama kamu Rat,” katanya suatu ketika.
“Lho, kenapa?”
tanya Ratih bingung melihat sikap Wina.
“Umur kita sama,
tapi kamu jauh terlihat lebih muda dari aku. Resepnya apa sih?” tanya Wina tak
bisa lagi menutupi rasa penasarannya.
“Aaah, biasa
saja,” jawab Ratih masih tak mau serius menanggapi pertanyaan Wina.
“Iyalah, uang
suamimu banyak ya. Pasti kamu dengan gampang kalau ingin mengencangkan kulit
wajah atau mengurangi lemak di badanmu. Tinggal face lift atau sedot lemak, bayar dengan harga tinggi..beres,” ujar
Wina mendengar jawaban Ratih yang menurutnya sengaja menutup-nutupi rahasia
kecantikannya.
“Haaah?! Kamu
salah Win! Mana mau suamiku menghambur-hamburkan uang hanya untuk sesuatu yang
sifatnya sementara dan tidak alami seperti itu,” balas Ratih terkejut mendengar
komentar Wina.
“Lalu, bagaimana
kamu masih tetap sesegar ini? Penampilanmu enggak jauh beda dengan zaman-zaman
kita mahasiswa dulu. Kamu enggak usah bohongi aku dong, Rat,” ujar Wina lagi
tak percaya.
“Enggak, Win.
Cantik itu relatif. Aku cuma sedikit lebih hati-hati dengan makanan. Pengaturan
pola makanku yang selalu tertata sejak masih gadis dulu, terbawa sampai
sekarang. Kamu lupa ya, kalau aku kurang suka makanan-makanan yang terlalu
tinggi lemak dan kurang berserat,” jawab Ratih menerangkan panjang lebar.
“Aku sudah
mencoba caramu itu, malah plus
olahraga, tapi hasilnya enggak maksimal,” sela Wina kesal.
“Perawatan kesehatan
itu tidak bisa instan, Win. Semua harus dilakukan secara bertahap. Kamu tidak
boleh cepat menyerah. Pola makan dan hidup yang sudah sekian lama kurang
tertata, rasanya sulit diubah dengan sebulan dua bulan,” tambah Ratih lagi.
Wina diam, tak berani membantah. Dalam hati, dia membenarkan pendapat Ratih.
“Satu lagi Win,
kesehatan fisik tidak bisa terjaga jika tak didukung oleh kesehatan jiwa,” kata
Ratih masih menambahkan. Wina terperanjat.
“Maksudmu? Aku
termasuk wanita yang jiwanya sakit, begitu?” tanyanya sedikit tersinggung.
“Aduh! Maaf,
bukan begitu maksudku. Segala yang terpancar di permukaan diri kita, baik itu
tubuh, wajah, maupun sikap, adalah cerminan dari jiwa kita. Kamu tak perlu
khawarir kalau badanmu tak selangsing dulu lagi, jika aura yang terpancar dari
jiwamu masih tetap Wina yang dulu. Aku melihatmu tetap sama seperti dulu, Win,”
“Tapi, suamiku
tidak!” sela Wina cepat.
“Jangan
khawatir. Terkadang suami memuji perempuan lain di depan kita, bukan karena dia
tak cinta lagi pada kita, Win” kata Ratih lagi.
“Lalu, apalagi
namanya kalau bukan karena dia sudah bosan melihat tubuhku yang gembrot ini?”
protes Wina mulai kesal kembali.
“Jangan terlalu
cepat menuduh kalau suamimu tak menyintaimu lagi. Bisa saja dia hanya ingin
memberi isyarat, supaya kamu mulai memperhatikan kesehatanmu. Bentuk perhatian
itu kan macam-macam bentuknya,” tambah Ratih berusaha meredam praduga negatif
Wina pada suaminya.
Kata-kata Ratih,
masih terngiang-ngiang di telinga Wina. Wanita berumur empat puluh tahun itu pun mulai
mengubah cara hidupnya. Sudah beberapa bulan ini dia berusaha keras menata
ulang pola makan dan waktu untuk berolahraga.
“Kamu pilih yang
ini. Ini warna natural lho Win. Ayo cobain deh,” ujar Ratih membuyarkan lamunan
Wina. Akhirnya Wina membiarkan pelayan toko merias wajahnya. Riasan itu
dibawanya hingga ke rumah.
“Ini dia, bunga
mawarku yang masih tetap segar meskipun usianya sudah 40,” komentar suami Wina
menyambut kepulangan istrinya. Ratih tersenyum melihat rona merah yang semakin
memperjelas blush on di pipi Wina.
“Terimakasih ya
Rat. Ternyata cantik itu enggak mesti mahal. Semua bermula dari sini,” ujar
Wina sambil meletakkan telunjuknya di dada. [Ny. Wiwiek Indra Gunawan]
--------------
Dimuat di majalah Insani (PIPEBI) edisi 15/TH VII/AGT 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar