Di
Jakarta, hampir semua orang mengenal Rumah Sakit Kanker ”Dharmais”.
Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” adalah rumah sakit kanker pertama di
Indonesia dan merupakan Pusat Kanker Nasioanl serta menjadi rumah sakit
rujukan di bidang penanggulangan kanker di Indonesia.
Beberapa
waktu yang lalu, saya sengaja mengajak kedua anak saya mengunjungi
rumah sakit ”Dharmais”. Waktu libur mereka, ingin saya isi dengan
sesuatu yang bermanfaat. Jadilah kami bertiga melihat secara langsung
orang-orang yang nasibnya kurang beruntung. Saya mengajak kedua buah
hati melihat tempat perawatan anak-anak penderita kanker dari dekat.
Anak-anak saya begitu terpana dan terenyuh melihat
kondisi anak-anak tersebut. Selain menderita kanker otak, ada yang
terkena kanker kelenjar getah bening, kanker saraf, tumor otak, kanker
mata (Retinoblastoma), limfoma (benjolan di lehar, ketiak dan pangkal
paha, cepat membesar), kanker tulang dan leukimia (kanker darah).
Saya
sempatkan berbincang dengan salah satu relawan dari Yayasan Pita Kuning
Anak Indonesia (Community for Children with Cancer), yaitu yayasan yang
bertujuan untuk membantu keluarga pasien miskin yang anaknya menderita
kanker. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. Salah satunya, yang
paling menyedihkan, ternyata
kebanyakan anak-anak penderita kanker berasal dari keluarga yang kurang
mampu. ”Yayasan ini didirikan untuk mencari para donatur yang berkenan
membantu biaya perobatan pasien di sini,” kata relawan tersebut
menjelaskan. Mengingat biaya pengobatan untuk penyakit kanker tidaklah
murah, Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia yang diketuai oleh dr. Edi
Setiawan Tehuteru, SP. A, MHA, IBCLC tak henti-hentinya menyebarkan
informasi mengenai penanganan anak-anak penderita kanker dari keluarga
kurang mampu. ”Meskipun ada Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)
tapi tidak sepenuhnya membantu,” tambahnya lagi. Biaya untuk sekali
kemoterapi saja sudah menghabiskan jutaan rupiah. Meskipun saat ini
yayasan telah menerima banyak bantuan dari para donatur, namun karena
anak-anak penderita kanker cukup banyak dan terus bertambah, bantuan
yang diterima masih belum mencukupi menutup biaya pengobatan para
pasien. Sebagai lembaga swadana, mereka masih sangat mengharapkan
kerelaan para dermawan dalam membantu biaya pengobatan pasien penderita
kanker dari keluarga kurang mampu.
Dalam menangani pasien anak-anak, pihak rumah sakit menerapkan tiga pendekatan/treatment, yaitu Clinical, Psyco and Social. Treatment secara klinis (clinical) salah satunya dengan memberikan EMLA (Eutectic Mixture of Lidocaine and Prilocaine), yaitu sejenis krim penahan rasa sakit. Sementara treatment
Psikologis bertujuan meyakinkan si pasien untuk menerima kenyataan
bahwa saat ini mereka sedang menderita kanker. Anak-anak ini diyakinkan
bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah ’momok’ yang harus ditakuti.
Mereka tidak perlu putus asa dan diberikan motivasi untuk terus berjuang
meneruskan hidup. Treatment
berikutnya adalah pendekatan sosial yang bertujuan untuk membantu
sosialisasi pasien dengan lingkungan. Maksudnya agar pasien anak-anak
merasa tidak dikucilkan. Mereka tetap sebagai bagian dari lingkungan
di mana mereka berada. Para pasien penderita kanker pada dasarnya
membutuhkan semangat agar tetap merasa sebagai makhluk Tuhan yang
normal.
Anak-anak
pengidap kanker rata-rata mengalami stress dan depresi ketika
diharuskan menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Hal ini tampak
pada keengganan mereka untuk makan, melakukan kegiatan di ruang bermain,
selalu diam dan malas berbicara. Di
sinilah peran para relawan membantu memulihkan kepercayaan diri si
pasien. Untuk memfasilitasi kerja para relawan, pihak rumah sakit
mendesain tempat yang bernama ”Bangsal Persahabatan.” Di bangsal ini,
anak-anak penderita kanker diupayakan merasa nyaman. Ada tempat bermain,
perpustakaan dan ruang komputer. Dengan fasilitas yang ada, pasien
anak-anak diharapkan tetap bisa
menjalani kehidupan layaknya anak-anak lain seperti bersekolah,
bermain, berinteraksi dengan orang tua dan aktifitas lainnya. Untuk
kegiatan bersekolah, relawan dari Yayasan Pita Kuning berupaya agar
anak-anak tersebut tetap mamperoleh kesempatan belajar meskipun dengan
metode yang berbeda dari sekolah formal di luar rumah sakit.
Dari
kunjungan tersebut, kami melihat sesuatu yang lebih menyentuh dari
wajah anak-anak tersebut. Meskipun berusaha menutupi, tapi wajah mereka
yang tidak berdosa terlihat berusaha menahan penderitaan akibat penyakit
yang ganas ini. Kanker memang penyakit yang luar biasa. Dia baru
menunjukkan tanda-tanda kasat mata ketika telah menguasai sebagian besar
fisik korbannya. Karena itu, upaya pengobatan seringkali berhadapan
dengan kenyataan kondisi pasien yang sudah lemah. Namun demikian, para
dokter dan petugas paramedis yang menangani penderita kanker selalu
bersikap optimis dengan tetap mengupayakan tindakan pengobatan yang
diperlukan.
Fakta
lain yang seringkali mengguncang hati para dokter dan paramedis adalah
kenyataan bahwa kebanyakan pasien yang mereka tangani berasal dari
keluarga kurang mampu. Sambil berusaha menahan haru, dr. Edi
menceritakan, ada orang tua dari salah satu pasiennya yang hanya bermata
pencaharian sebagai pedagang nasi uduk. Ibu si anak rela meminta uang
modal kepada dr. Edi untuk diperbolehkan menjual nasi uduk di lingkungan
rumah sakit. Tujuannya, agar dia dapat terus mendampingi anaknya selama
dalam perawatan, sementara si ibu tak harus bulak balik
(Serang-Jakarta-red) yang tentunya membutuhkan biaya tambahan.
Selain faktor ekonomi, para dokter dan paramedis kadangkala juga harus bersikap bijak menghadapi reaksi penolakan dari keluarga si
pasien. Ada kisah sedih yang disampaikan oleh dr. Edi ketika menangani
pasien anak penderita kanker tulang. Alternatif pencegahan yang
direkomendasikan dr. Edi adalah tindakan amputasi kaki si anak. Namun,
rekomendasi tersebut ditolak oleh orang tua si anak. Dokter Edi terus
berusaha meyakinkan bahwa itulah salah satu cara yang paling
memungkinkan untuk mencegah penyebaran sel kanker lebih jauh. Sikap
penolakan yang berulang-ulang menyebabkan penanganan terhadap pasien
menjadi terkendala sementara sel kanker terus menggerogoti kesehatan si
pasien. Ketika pada akhirnya orang tua si pasien setuju, tindakan
pengobatan sudah sangat terlambat dan si pasien akhirnya meninggal
dunia. Tragedi ini sangat memukul orang tua si pasien yang menyesali
dirinya dan mengatakan bahwa, penyebab kematian si anak bukan
semata-mata karena kanker yang diderita tapi juga karena sikapnya yang
tidak kooperatif. Dari kasus ini, dr. Edi menghimbau agar masyarakat
memberikan dukungan dan kepercayaan terhadap tindakan medis yang
dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Pada
awalnya saya berharap kunjungan ke Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” dapat
membuka mata hati kedua buah hati saya bahwa masih banyak anak-anak lain
seusia mereka yang hidupnya kurang beruntung. Saya hanya ibu yang
dititipkan sepasang amanah yang tak ternilai harganya. Apa yang mereka
lihat, Insya Allah menjadi catatan khusus di hati mereka berdua. Saya
harapkan mereka tak lupa mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan
pada kehidupan mereka. Di akhir kunjungan, ternyata saya juga mendapat
pelajaran penting tentang bagaimana memaknai hidup. Bahwa dalam setiap
butir rezeki yang kita peroleh ada kesempatan beribadah dengan memberi
sebagian kepada mereka yang kekurangan.
Khalid dan anak teman saya yg sempat dirawat di Dharmais |
Saya
hanya bisa mengatakan bahwa anak-anak penderita kanker ini
mendambakan/membutuhkan kepedulian kita. Mereka ada di sudut-sudut kamar
rumah sakit. Mereka nyata di hadapan kita. Mereka membutuhkan dukungan
agar tetap bisa menghadapi hidup dengan lebih tegar. Kepedulian kita
merupakan obat mujarab bagi anak-anak dan orangtua mereka. Agar mereka
tidak merasa sendirian menanggung beban yang berat itu.
Jakarta, 22 Juni 2009
From my MP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar