(Memetik hikmah di stasiun kereta)
Bagi
orang-orang yang biasa menggunakan angkutan kereta api untuk bepergian,
cerita ini bukanlah barang baru. Sama seperti saya, jika malas naik bis
saya akan beralih menaiki kereta api (maklum belum punya mobil.). Biasanya
kereta yang saya pilih adalah express AC. Selain lebih cepat sampai,
suasana di dalamnya juga sedikit lebih nyaman dari yang berkelas
ekonomi. Meskipun
tak dipungkiri, kereta berkelas ekonomi sesekali jadi pilihan saya juga
untuk mencapai tempat tertentu (misalnya mau ke TA & M2).
Setelah
satu setengah tahun tak menaikinya, tentu saja ada rasa rindu. Pagi itu
saya akhirnya memutuskan untuk mulai mencoba lagi angkutan yang satu
ini. Seperti
dulu, pertama, saya beli tiket di loket yang mencantumkan jam dan
tujuan keberangkatan kereta. Saya ingin berhenti di stasiun Gambir.
Karena hanya ada dua loket, yang kiri menjual tiket kelas ekonomi,
sementara yang sebelah kanan kelas express ber-AC. Tanpa tanya lagi saya
langsung membeli tiketnya.
Setelah tiket terbeli, saya pun bergabung dengan calon penumpang lain, menunggu kedatangan kereta. Saya lirik jam di tangan. Dua puluh menit lagi. Waktu sebanyak itu saya pakai untuk mengamati sekeliling. Sesekali ada senyum geli yang diam-diam merekah di sudut hati saya. Apalagi pada saat itu, bayangkan, orang yang tadinya sudah menunggu lama di jalur dua, tiba-tiba harus berlari-lari pindah ke jalur tiga karena mendengar pengumuman bahwa kereta ekonomi yang akan datang lebih dulu, ada di jalur tiga. Saling senggol dan saling ingin lebih dulu sampai ke jalur tiga pun terjadi. Yang merasa tersenggol, jadi marah-marah. Padahal masih pagi lo...kok sudah naik darah. :-)
Setelah tiket terbeli, saya pun bergabung dengan calon penumpang lain, menunggu kedatangan kereta. Saya lirik jam di tangan. Dua puluh menit lagi. Waktu sebanyak itu saya pakai untuk mengamati sekeliling. Sesekali ada senyum geli yang diam-diam merekah di sudut hati saya. Apalagi pada saat itu, bayangkan, orang yang tadinya sudah menunggu lama di jalur dua, tiba-tiba harus berlari-lari pindah ke jalur tiga karena mendengar pengumuman bahwa kereta ekonomi yang akan datang lebih dulu, ada di jalur tiga. Saling senggol dan saling ingin lebih dulu sampai ke jalur tiga pun terjadi. Yang merasa tersenggol, jadi marah-marah. Padahal masih pagi lo...kok sudah naik darah. :-)
Pada
saat seperti itu saya berpikir, jika manusia pada dasarnya akan
menunjukkan ambisi dan egonya jika ingin mendapatkan sesuatu dengan
cepat. Kenyataan seperti ini tak hanya terjadi di kalangan bawah, karena
yang saling mendorong, berlomba, saya lihat dari tampilannya adalah
orang-orang yang juga berkelas. Ya, minimal punya penghasilan diatas
rata-rata lah sebulan, tebak saya melihat dari busana yang dipakai...maaf
jika saya salah dalam menebak (namanya juga mereka-reka.).
Akhirnya semua sudah ada di dalam kereta, di jalur tiga. Belum sampai lima menit keluar lagi pengumuman.
Akhirnya semua sudah ada di dalam kereta, di jalur tiga. Belum sampai lima menit keluar lagi pengumuman.
“Kereta
ekonomi menuju kota, melewati tanah abang akan tiba di jalur dua, dan
akan lebih dulu diberangkatan dari kereta ekonomi di jalur tiga.”
Kalau
saja saya bersama teman saat itu, ingin rasanya saya tertawa
terpingkal-pingkal. Karena minusnya kesabaran para penumpang, akhirnya
mereka terlanjur terjebak di kereta dan jalur yang salah, padahal tujuan
utamanya ingin cepat sampai kan? Sebagian orang rupanya tak mau
pasrah pada kebodohannya. Mereka kembali berlarian menuju jalur dua di
tempat pertama mereka menunggu tadi (padahal ini juga
kebodohan...hehehe). Sambil marah-marah, protes pada ketidakbecusan
pihak pengelola jam keberangkatan kereta.
“Gimana sih! Kan jalur tiga yang duluan sampai, kenapa yang jalur dua yang berangkat duluan!” gerutu seseorang geram.
“Gimana
mau bisa maju kalau ngatur jadwal aja gak becus!! Lihat tu di luar
negeri, semua serba tepat waktu!” kata penumpang yang masih bertahan
di kereta (gak juga sih sebenarnya...hehehe).
Sekali
lagi, sebenarnya saya ingin menertawakan situasi ini. Menertawakan,
tidak hanya para penumpangnya tapi juga para pengelolanya. Tertawa pada
penumpang yg tak sabar dan akhirnya malah terlambat dan marah-marah.
Tertawa pada ambisi dan karakter spontan yg mereka tunjukkan dalam
situasi serba ingin lebih dulu sampai ke tujuannya masing-masing.
Tertawa pada pihak kereta api yang tak bisa komit pada jadwal.
Menertawakan suasana gaduh yg terjadi pada saat itu. Tapi tawa saya
hanya disimpan di hati, dan berganti dengan rasa syukur, bahwa saya
beruntung diberi kesempatan untuk menyaksikan realita seperti
ini. Paling tidak pelajaran kesabaran bisa saya petik darinya.
Note:
Mendengar kabar bahwa MP akan ditutup blognya, terpaksa beberapa catatan kecil jadul saya di sana, saya pindahkan ke sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar