|
Saya dan anak-anak beberapa tahun lalu saat di Menado. |
Sejak menjadi
seorang Ibu, saya mulai menyadari bahwa pengasuhan anak merupakan peran
terpenting. Tanpa kasih sayang dan sentuhan Ibu, seorang anak akan merasakan
kepincangan dalam proses pertumbuhannya (terutama mentalnya). Jadi, apa pun
kondisinya, seorang Ibu janganlah sekali-kali berkata “lelah” atau “menyerah”
dalam proses pengasuhan buah hatinya. Sebab, di tangan ibulah fundamen dasar mental
seorang anak bertumbuh. Jika mental Ibu lemah maka bukan tidak mungkin anak
akan mudah menyerah menghadapi tantangan hidupnya di masa yang akan datang. Ini
yang selalu saya yakini.
Saya teringat momen lucu dan
sekaligus membuat saya berpikir jauh ke depan. Saat itu, saya dan anak-anak
sedang makan bersama. Kami berbincang tentang pekerjaan bapak mereka. Lalu,
sampailah pada obrolan tentang cita-cita.
“Adek cita-citanya apa sih?” tanya
saya kala itu.
“Mau jadi presiden atau pemain sepak
bola terkenal ya? Masih dipikirin,” jawabnya membuat saya tersenyum.
“Kalau Kakak?” tanya saya pula ke
yang sulung.
“Jadi dokter presidan atau dokter
pemain sepak bola yang terkenal itu saja,” jawabnya membuat saya tak lagi bisa
menahan tawa.
Itulah anak-anak saya. Terkadang obrolan
kami membuat saya banyak belajar. Terutama belajar untuk mempersiapkan hari
depan mereka. Sebagai calon pemimpin di
masa depan, tentunya saya harus mempersiapkan bekal untuk kedua anak-anak saya
(Yasmin Amira Hanan/15 tahun dan Darryl Khalid Aulia/12 tahun).
Selain
fisik, pertumbuhan mentalnya perlu saya arahkan agar tetap kuat dan tangguh
menghadapi segala aral dan rintangan di kehidupan mereka kelak. Lalu, apa yang
harus saya lakukan untuk menjalankan peran sebagai pendamping pertumbuhan mental anak-anak saya? Tentunya,
selain memberikan asupan makanan yang bergizi bagi jasmani mereka, saya juga
tak boleh abai dengan asupan yang dibutuhkan oleh rohani mereka. Semua itu
bertujuan untuk menopang serta menunjang impian dan cita-cita mereka di masa
depan.
|
Mira dan Khalid saat ini, begitu cepat waktu bergulir. |
Dari
dua anak yang berjenis kelamin berbeda, lagi-lagi saya jadi banyak belajar. Yang
terpenting bagi saya, mereka mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri
terlebih dahulu. Jika fundamen itu sudah terbentuk secara kokoh, maka bukan
tidak mungkin kelak mereka mampu menjadi pemimpin bagi sekelilingnya. Untuk itu
saya harus membekali mereka dengan beberapa hal mendasar, seperti yang telah
saya lakukan sejak mereka masih berada dalam kandungan hingga sekarang keduanya
tumbuh remaja. Saya berharap bahwa proses untuk memperkuat fisik dan mental
mereka ini akan terus berjalan hingga mereka memetik hasilnya kelak.
Pendidikan
Agama.
|
Khalid di Summer Madrasah. |
Sebagai
umat muslim, saya sangat meyakini bahwa pendidikan agama merupakan pondasi
utama yang harus saya siapkan untuk kedua
buah hati saya. Karena menjadi pemimpin yang baik tentunya harus
memiliki pondasi agama yang kuat. Saya tanamkan pendidikan agama kepada
anak-anak saya sejak mereka masih berada di dalam kandungan, seperti
memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al Qur’an, menyimak kajian-kajian agama yang saya harapkan dapat memberi efek positif
pada pertumbuhannya di rahim saya. Setelah mereka lahir dan bertumbuh, saya (dibantu
suami) juga mengenalkan mereka kepada Sang Penciptanya. Rasa takut akan dosa selalu kami tanamkan agar mereka paham pada apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
Memberikan
makanan dengan gizi seimbang.
|
Ragam menu untuk keluarga racikan saya yang bergantian hadir di meja makan. |
Sejatinya, sebagai seorang Ibu, saya
selalu berharap agar makanan yang saya berikan kepada kedua buah hati saya akan
memberikan mereka gizi yang cukup dan seimbang. Setiap pagi (sebelum berangkat
ke sekolah) saya tak pernah lalai menyediakan sarapan di meja makan. Lauk pauk
lengkap tersaji. Ada nasi, sayur, ikan, udang, tempe, tahu, daging sapi, telur
atau ayam (ini bergantian saya sajikan). Dilengkapi dengan segelas susu untuk
penyempurna sarapan pagi anak-anak saya. Bahkan buah-buahan pun tak pernah lupa
saya suguhkan.
|
Bekal makan siang di sekolah. |
Tetapi,
setiap proses tentunya tak selalu mulus seperti keingingan saya. Dalam
praktiknya, saya sempat menemukan kegagalan. Putri sulung saya ternyata kurang
menyukai asupan sayur dan buah. Dan, saya tidak bisa sedikit keras
mengarahkannya untuk mengkonsumsi itu secara rutin. Kondisi ini akhirnya
berdampak pada kesehatannya. Dari kegagalan itu saya mau tak mau harus mengubah
pola pendekatan. Saya harus pelan-pelan memberikan pengertian bahwa dengan
mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, kebutuhan serat di tubuhnya akan
tercukupi dan penyakit yang sudah terlanjur mampir di tubuhnya diharapkan
berangsur-angsur sembuh. Dan, saya bersyukur karena sejak itu pola makannya
berubah drastis. Mira semakin menyadari kesalahannya. Dia tak ingin
cita-citanya yang tinggi kandas hanya gara-gara tak suka makan sayur dan buah.
Pendidikan
formal.
Ketika anak-anak
saya sudah memasuki usia sekolah, saya dan suami memilihkan sekolah berbasis
Islam untuk mereka. Enam tahun pertama di masa kanak-kanaknya, kami
mengharapkan pola pengajaran yang dekat dengan ajaran agama mereka, bisa
tertanam dengan baik. Ketika memasuki jenjang SMP dan SMA, kami lebih membuka
pilihan kepada keduanya. Dan, kedua anak saya memilih bersekolah di sekolah
negeri dengan mutu sekolah serta pendidikan yang baik pula. Alhamdulillah, Mira
sekarang sudah duduk di kelas 10 SMA Negeri 1 Bekasi. Sementara Khalid masih
duduk di kelas 8 SMP Negeri 1 Bekasi.
|
Kiri: Mira (ketika SD) diwawacarai kru tivi di acara Indonesian Science Festival. Kanan: Khalid (ketika SD) berpidato dalam Bahasa Inggris di depan tamu dari Qatar. |
Sampai saat ini saya sangat
bersyukur karena keduanya telah banyak mencetak prestasi, baik di bidang
akademis maupun non akademis. Semoga bibit yang saya tanam selalu berbuah manis.
Pendidikan
non formal (seni dan olahraga).
Di samping pendidikan
formal, pendidikan non formal juga memegang peranan penting terhadap
perkembangan otak anak. Justru itu, sejak kecil saya sudah mengenalkan kepada
anak-anak tentang pentingnya seni. Saya juga suka mengikutkan mereka di
kegiatan menggambar, menulis, menari, olahraga, bermusik, serta bernyanyi. Hingga saat ini, keduanya
masih terus menekuni dunia musik yang mereka gemari. Mira mengambil kursus
biola serta sesekali berlatih vokal dan mencoba menguasai permainan keyboard. Sementara Khalid tekun mendalami seni bermain gitar di tempat
kursusnya. Untuk kegiatan olahraga, Khalid bergabung di ekstrakurikuler pencak
silat sekolahnya. Mira memilih ikut di tim voli sekolahnya. Untuk kegiatan olahraga, kami juga
menyempatkan diri untuk berenang, maksimal sekali dalam seminggu.
|
Kegiatan Mira dan Khalid di luar jam sekolah |
Dari
semua kegitan yang berbau pendidikan non formal itu, ada satu hal yang membuat
saya senang dan bangga pada mereka. Betapa tidak, profesi saya sebagai penulis
buku-buku bacaan anak dan remaja, diikuti dan ditiru oleh kedua anak saya.
Keduanya saat ini juga terjun sebagai penulis cilik yang telah menghasilkan
beberapa karya dalam bentuk novel, komik dan antologi cerita pendek. Saya
terharu, karena keduanya mampu menyatukan kegiatan seni, olahraga, menulis dan
akademis dengan senang tanpa terpaksa dalam proses pembelajaran mereka.
Rasa
peduli terhadap sesama.
Saya dan suami suka mengajak kedua
anak-anak kami mengunjungi panti asuhan. Ini kami lakukan hampir sebulan
sekali. Di sana, saya sengaja meminta mereka berbaur dengan anak-anak panti.
Saya berharap, dari sana kelak mereka bisa merasakan bahwa di luar kehidupan
nyaman yang telah kami berikan, ternyata
masih banyak anak yang kekurangan sehingga mereka tak pelit untuk berbagi.
|
Saat berkunjung ke Darmais, Jakarta (RS untuk penderita kanker). |
Tidak
sampai di situ, saya juga pernah membawa mereka mengunjungi anak-anak penderita
kanker di sebuah rumah sakit. Mereka saya ajak ikut berdialog dengan anak-anak
itu. Rasa empati mereka lambat laun tumbuh dan menjadi tak lupa untuk tetap
bersyukur bahwa mereka diberikan kehidupan yang lebih nyaman dari anak-anak
seumurnya. Kepedulian ini yang ingin saya tanamkan sebagai bekal untuk kepekaan
mereka terhadap sesama.
Budaya
malu.
Sejak kecil,
saya juga tak lupa menanamkan tentang budaya malu kepada anak-anak saya. Zaman
sekarang banyak orang yang sudah melupakan rasa malu. Karena itu, saya tak
ingin anak-anak saya kehilangan rasa malunya agar mereka selalu ingat dan mengerti
mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk dilakukan.
Kepercayaan
diri dan sikap mandiri.
Rasa percaya
diri dan sikap mandiri sangat diperlukan bagi pertumbuhan seorang anak. Bila
anak mandiri, dia akan percaya diri kapan dan dimanapun dia berada. Namun, saya
selalu menyadari bahwa kemandirian dan kepercayaan diri pada anak-anak saya
tidaklah bisa tumbuh dengan instan. Perlu pendampingan dan proses dari waktu ke
waktu. Maka, sejak Mira dan Khalid masih balita, saya tak bosan-bosan menanamkannya.
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri
pada Mira dan Khalid, ada beberapa hal yang selalu saya praktikkan hingga saat
ini. Pertama, saya berusaha untuk selalu meluangkan waktu memberikan perhatian
pada hal-hal yang mereka ceritakan kepada saya. Saya menempatkan diri sebagai
teman mereka, berbagi cerita dan keluh kesah. Kedua, saya tak pernah pelit
untuk memuji, memeluk serta perlakuan yang menunjukkan kasih sayang kepada mereka.
Namun, di sisi lain, saya juga tak pernah ragu untuk melakukan koreksi jika
mereka melakukan kesalahan. Saya yakinkan bahwa saya mengoreksi perbuatan
mereka yang salah, bukan diri mereka. Ketiga, saya selalu memberi kebebasan
kepada mereka dalam pengambilan keputusan walau berisiko sekalipun. Tujuannya
agar mereka terlatih untuk bijak dalam mengambil pilihannya. Keempat, saya tak
lupa mencontohkan jika saya salah maka saya akan jujur mengakui di depan
mereka. Hingga sekarang kedua anak saya juga terbiasa mengakui kesalahannya dan
buru-buru memperbaikinya.
Untuk
kemandirian, salah satu contoh yang
pernah saya lakukan adalah memisahkan kamar tidur mereka sejak kecil. Apalagi
karena keduanya berbeda jenis kelamin. Sejak dini saya sudah memperkenalkan
kepada kedua anak saya bahwa mereka adalah perempuan dan laki-laki. Saya juga
mengatakan bahwa dengan tidur di kamar yang terpisah akan membuat mereka
belajar mandiri. Awalnya memang sulit (terutama buat Khalid), tapi
lama-kelamaan mereka justru semakin merasa bebas mengeksplorasi kreativitasnya
untuk menciptakan kenyamanan di kamar mereka masing-masing.
Dari
beberapa pengalaman ini, saya sudah merasakan efek positifnya. Mira dan Khalid
tak pernah khawatir jika mereka ikut acara tur atau kamping di alam terbuka
pada kegiatan pramuka sekolahnya. Bahkan Mira pernah diminta sebagai ketua regu
di acara tersebut, serta banyak pengalaman lain yang merupakan imbas dari apa yang saya terapkan untuk mereka di rumah.
Sebenarnya
masih banyak kebiasan positif lainnya yang pernah saya lakukan sebagai ibu
mereka. Meskipun tak selalu mulus dan lancar, namun saya tak pernah patah
semangat mengulang-ulangnya.
Menang
dan kalah dalam lomba.
Kalau untuk lomba, kedua anak saya
tidak memiliki kegemaran dan keinginan yang sama. Khalid cenderung tak terlalu
suka pada perlombaan. Namun, Mira suka memberi contoh kepada adiknya bahwa
dengan mengikuti perlombaan, dia menjadi tahu cara mengukur dan mempersiapkan
diri. Dari contoh itu, akhirnya Khalid sesekali mau mengikuti lomba, baik itu
di bidang akademis maupun non akademis.
Lalu,
saya mendampingi pemahaman mereka tentang kata “kalah” dan “menang”. Perlombaan
sejatinya memang untuk mencari kemenangan, tetapi sebelum meraih kemenangan, saya
meminta anak-anak saya tetap mempersiapkan diri menerima kekalahan. Awalnya
memang sulit, tapi lama-kelamaan Mira dan Khalid paham pada konsep legowo dan menerima kekalahan itu. Satu
hal yang selalu saya tanamkan dalam diri saya sebagai Ibu bahwa saya harus
tetap menghargai perjuangan dan usaha anak-anak saya, sekalipun mereka kalah
dalam perlombaan.
Mencintai
seni dan budaya bangsa.
|
Mira dan Khalid tampil di acara UN Day sekolahnya (waktu masih di Amerika). |
Saya pernah merasa begitu bangga
kepada kedua anak-anak saya. Meskipun kami pernah tinggal di Amerika, namun
kecintaan mereka terhadap seni dan budaya bangsanya tak pernah luntur. Mira selalu ingat pada lagu-lagu nasional yang suka saya lantunkan di rumah. Maka, pada saat berlatih untuk menyanyikannya bersama teman-temannya di sana, Mira tak menemukan kesulitan. Dia gembira melakukannya. Selain itu, Mira sangat bangga mengenakan kebaya nasionalnya. Sementara, Khalid begitu bersemangat dan gembira memakai kemeja batik, hasil seni bangsanya pada perayaan United Nation Day di sekolah mereka
waktu itu. Semoga ini menjadi cikal bakal bagi perkembangan jiwa mereka. Dimanapun nanti mereka berada dan menjadi pemimpin,
mereka akan tetap menjunjung tinggi seni dan budaya bangsanya.
Itulah beberapa
hal mendasar yang sejak dini saya tanamkan kepada kedua buah hati saya. Di
samping itu, saya dan suami (sebagai orangtua mereka) juga terus belajar
menjadi role model yang baik bagi
mereka. Sebab, apa pun yang kami (khususnya saya sebagai ibu mereka) dambakan
jika kami sendiri tak pandai memberikan contoh yang baik, mustahil anak-anak
kami tumbuh menjadi calon pemimpin yang tangguh.[Wylvera W.]
Tulisan ini diikutsertakan di lomba penulisan artikel "Peran Ibu untuk Si Pemimpin Kecil" #LombaBlogNUB