Bersama siswa-i SDN 1 Sabang (doc. pribadi) |
Saya
akan mengawali catatan dari perjalanan ke Aceh – Sabang dengan pelatihan menulis.
Sebab, inilah momen yang paling berkesan bagi saya selama empat hari berada di
sana. Momen yang mungkin sulit untuk diulang kembali (tapi, saya berharap agar
masih ada waktu berkunjung balik ke sana lho...hehe).
Rencana
perjalanan kami menuju Serambi Mekah (salah satu sebutan untuk provinsi Aceh)
sebenarnya sudah lama tercetus. Semua bermula dari obrolan iseng ketika dua teman
alumni SMP/SMA) saya menjenguk Mira (anak saya) di rumah sakit. Itu terjadi
pada akhir Januari 2014 lalu. Rencana yang kesannya lebih pada gurauan saja
ternyata benar-benar menjadi kenyataan yang membawa saya sampai ke Sabang.
Dalam
perkembangan rencana kami selanjutnya, saya mengajukan usul kepada teman-teman
seperjalanan. Saya ingin kunjungan kami ke Aceh tak sekadar diisi oleh kegiatan
wisata saja. Setidaknya ada kesan bermanfaat yang bisa menjadi catatan di momen
itu. Usul saya tidak muluk-muluk, hanya minta diberi kesempatan untuk berbagi
pengalaman profesi menulis kepada anak-anak di sana. Mereka langsung menyetujui
usulan tersebut dan mulai mencarikan sekolah untuk saya. Sekolah itu ada di Sabang, merupakan kepulauan di seberang Utara pulau Sumatera, dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesarnya. Nama sekolah itu adalah SD Negeri 1
Sabang. Dan di sanalah jodoh saya untuk berbagi. Bahagia sekali rasanya....
Di dermaga penyeberangan Ulee Lheue (doc. pribadi) |
Singkat
cerita, Jum’at pagi itu kami sampai di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue,
Banda Aceh. Kapal feri yang kami tumpangi telah siap menyeberang menuju kota Sabang.
Selain tak sabar ingin melihat Pulau Weh yang katanya eksotis itu, saya
diam-diam membayangkan pertemuan dengan anak-anak di sekolah tempat saya akan
berbagi ilmu dan pengalaman. Seperti apakah reaksi dan respon mereka melihat
kehadiran saya nanti? Begitu yang berulang-ulang terbesit di kepala saya. Tanpa terasa perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 45 menit itu akhirnya berakhir di dermaga Sabang.
(doc. pribadi) |
Tibalah
hari yang saya tunggu-tunggu, Sabtu, 19 April 2014. Tepat pukul 10.00 waktu setempat, saya dan dua teman lagi tiba
di lokasi. Kehadiran saya sudah ditunggu oleh guru dan anak-anak murid di
sekolah itu. Kami disambut ramah oleh Pak Ari (guru TIK di sekolah itu) dan
salah seorang guru yang saya lupa namanya (maaf banget ya, Bu). Mereka menyampaikan permohonan maaf
karena Ibu Kepala Sekolah tak bisa menyambut saya karena ada tugas penting di
Banda Aceh.
Tiba di SDN 1 Sabang (doc. pribadi) |
Tanpa
membuang-buang waktu, kami pun diantarkan ke salah satu kelas yang letaknya di
lantai dua gedung sekolah itu. Saya kagum pada sekolah ini karena tak seperti
bayangan saya sebelumnya bahwa sekolah yang lokasinya berada di sebuah pulau
ini ternyata cukup mapan dan sudah melek teknologi. Di atas meja sudah tersedia
infocus. Meskipun tanpa layar, saya
cukup senang karena tampilan dari PowerPoint
(PPt) yang sudah saya kemas sedemikian rupa akan tetap terlihat ciamik pada
pantulan di tembok ruangan itu.
Sambil
menunggu semua anak yang katanya berjumlah lebih dari 50 siswa itu masuk ke
ruangan, saya menyiapkan buku-buku hadiah dan sumbangan yang akan diberikan
kepada sekolah. Siswa yang terpilih untuk mengikuti pelatihan menulis bersama
saya terdiri dari murid-murid kelas 3, 4, 5, dan 6. Satu per satu mereka
memasuki ruangan dengan senyum semangat.
Perkenalan (doc. pribadi) |
Setelah
dibuka oleh guru mereka, saya pun langsung mengambil alih kelas. Seperti biasa
setiap membuka kelas saya tak lupa memperkenalkan diri secara fun. Ini saya lakukan untuk memancing
perhatian mereka agar tetap fokus hingga akhir pelatihan. Setelah suasana
melebur dan saya merasa sudah tersambung dengan mereka, pelan-pelan saya
menyajikan tampilan materi tentang dasar-dasar menulis cerita.
Sambil
menjelaskan materi saya tetap menjaga komunikasi dua arah dengan mereka. Dari
sanalah saya menemukan bahwa ada salah satu murid yang pernah meraih juara di
lomba menulis puisi tingkat kota Sabang. Namun, sedikit miris hati ini ketika
saya bertanya tentang buku-buku anak yang pernah mereka baca.
Senang melihat mereka fokus (doc. pribadi) |
“Siapa
yang senang membaca buku cerita anak?” tanya saya memancing kejujuran mereka.
Sesaat ruangan hening. Sekali lagi saya bertanya, barulah ada beberapa yang
mengangkat tangan.
“Selain
perpustakaan sekolah, di mana kalian mendapatkan buku-buku bacaan itu?” tanya
saya lagi mengingat saya tak melihat satu toko buku pun di Sabang.
“Ada
Bu, tapi tak lengkap. Kami juga bisa dapat kalau pesan ke Banda,” ujar salah
satu siswa dengan logat Acehnya yang kental.
Begitulah,
keterbatasan mereka dalam menemukan buku-buku bacaan anak ini membuat saya
sedikit galau. Namun, melihat semangat mereka yang begitu tinggi untuk
mendapatkan ilmu tentang menulis membuat saya kembali bersemangat berbagi
pengalaman. Materi kembali saya lanjutkan. Komunikasi atau materi yang saya sampaikan
tidak bersifat searah. Saya tetap meyelinginya dengan interaksi dua arah agar mereka
tetap merasa terlibat di dalam kelas tersebut. Salah satu contohnya, mereka
saya minta membuat karakter tokoh.
Salah satu games untuk menguji kreativitas (doc. pribadi) |
Yang mendapat hadiah games (doc. pribadi) |
Setelah
tiga perempat materi tentang menulis cerita hampir selesai, saya mengajak
mereka bermain sejenak. Betapa senangnya saya melihat keantusiasan mereka.
Semua berlomba ingin terlibat di games
yang saya sajikan. Meskipun akhirnya tak satu pun dari mereka yang berhasil
memecahkan salah satu teka-teki yang saya berikan di games tersebut, wajah mereka tetap ceria untuk terus
menyimak materi pelatihan hingga ke sesi akhir.
Tibalah
sesi praktik menulis cerita. Dua teman saya yang sejak tadi membantu di dalam
kelas membagikan kertas folio bergaris kepada mereka. Saya meminta mereka
menuliskan cerita sepanjang satu halaman folio dengan tema bebas. Mereka pun
berlomba menuangkan idenya dalam waktu tiga puluh menit.
Semua tekun menulis cerita di sesi praktik (doc. pribadi) |
Sebelum
waktu habis, satu per satu dari mereka berhasil menyelesaikan ceritanya. Saya
tetap meminta mereka bersabar menunggu teman-teman lainnya. Setelah semua tugas
telah terkumpul, saya meminta dua teman saya membaca dan menyeleksi untuk
menemukan tiga cerita terbaik dengan berpedoman pada kriteria yang telah saya
berikan sebelumnya. Sementara teman-teman saya menyeleksi, saya mengajak
anak-anak kembali bermain agar mereka tak bosan menunggu pengumuman cerita
terpilih.
Games yang bikin anak-anak semangat (doc. pribadi) |
Suasana
kelas kembali riuh tapi cukup mennyenangkan. Semua anak sangat bersemangat
bermain bersama saya. Di akhir permainan saya tetap memilih pemenang dan
diberikan hadiah buku cerita karya saya. Serunyaaa!
Tibalah
saatnya mengumumkan 3 cerita terbaik dari 57 cerita yang terkumpul. Penulis dan
cerita yang terpilih adalah Jihan (Kenangan Terindah dalam Hidupku), Aura
(Menyambut Masa Depan), dan Nanda (Belum Cukup Umur). Kepada ketiganya kembali saya
berikan hadiah buku cerita karya saya. Selamat yaaa!
Tiga penulis cerita terbaik (doc. pribadi) |
Sampai pada sesi yang selalu membuat saya kembali galau. Saya harus mengakhiri
kebersamaan kami dengan berat hati karena waktu yang lagi-lagi membatasi.
Akhirnya saya berpesan kepada anak-anak untuk tetap semangat menulis serta
memperkaya bahan bacaan mereka, karena dari cerita yang baru saja mereka tulis
saya yakin bahwa di Sabang ada calon-calon penulis besar yang belum mencuat ke
permukaan.
Penyerahan sumbangan buku-buku bacaan anak (doc. pribadi) |
“Ingat...
jangan lupa untuk ikut seleksi di Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2014 kalau
tahun ini kembali diadakan ya!” pesan saya kepada mereka.
“Iya,
Buuu...!” balas mereka serentak dalam semangat yang menyala.
Sampai
bertemu kembali anak-anakku...dan tetaplah menulis! [Wylvera W.]