dokpri |
Lahir
di Indonesia dan dibesarkan oleh kedua orangtua yang juga asli Indonesia, membuat
saya tak bisa melupakan kodrat sebagai anak Indonesia. Apalagi lidah saya tak begitu fasih berbahasa Inggris, mana
mungkin saya bisa berpura-pura menjadi orang bule. Tapi, ketika saya
pernah merasakan tinggal dan singgah di negara empat musim, sempat terbesit
godaan membanding-bandingkan Indonesia. Untunglah, saya masih bisa merasakan
bahwa banyak hal yang membuat saya merasa jauh lebih nyaman bermukim di
Indonesia. Godaan itu bisa ditepis.
Mendapat
kesempatan tinggal di negara empat musim memberi saya ragam pengalaman. Di Amerikalah
saya banyak belajar tentang perbedaan. Mulai dari beradaptasi dengan cuaca sampai dengan membiasakan diri bersosialisasi dengan mereka yang non-Indonesia. Apa pun yang saya rasakan selama bermukim di sana tetap membuat
saya tak bisa berpaling dari
rasa cinta pada tanah air saya. Selama hampir dua puluh bulan hidup di Amerika
dengan segala kemudahan dan kenyamanannya, tidak lantas membuat saya sinis pada
tanah kelahiran saya.
Kenangan
di tempat kursus.
Berbagi cerita tentang kecintaan
pada Indonesia membuat saya teringat kenangan di tempat kursus. Ketika tinggal
di Urbana - Illinois, saya yang selalu aktif saat di tanah air, tak bisa hanya
diam menghabiskan waktu di apartemen. Waktu kosong yang tidak mengganggu
tanggung jawab saya sebagai istri dan ibu tentulah saya manfaatkan untuk
hal-hal positif. Selain mencoba-coba resep masakan, ikut pengajian ibu-ibu
Indonesia yang juga tinggal di sana, mengembalikan hobi lama tentang menulis,
saya juga mengambil kesempatan kursus Bahasa Inggris gratis.
Teman-teman di tempat kursus (dokpri) |
Di tempat kursus bahasa Inggris
inilah saya bersentuhan dengan ragam budaya. Murid-murid yang mengikuti kursus
berasal dari beragam bangsa dan negara. Ada yang dari Korea, Cina, Turky,
Jepang, Arab, Pakistan, Bangladesh, dan lainnya. Sudah menjadi tradisi si guru, jika memulai kelas baru, beliau meminta murid-muridnya untuk
memperkenalkan diri. Ini yang membuat saya langsung fokus untuk mendengarkan
teman-teman sekelas saat mereka memperkenalkan negara asalnya. Mereka begitu
bangga menyebut kelebihan dan daya tarik dari negaranya.
Sambil
menunggu giliran jantung saya berdegup kencang. Saya sempat bingung
ingin memulai dari mana untuk mengenalkan Indonesia kepada mereka. Mau tak mau akhirnya saya maju juga. Dengan sedikit gugup saya mengawali perkenalan dari kota kelahiran saya,
lalu berpindah ke Jakarta dan akhirnya ke Bekasi. Saat itu, tiga kota inilah yang menurut
saya paling pas untuk saya kenalkan kepada mereka sebab di Medanlah saya lahir,
di Jakarta saya memulai kehidupan baru berumah tangga, dan di Bekasi akhirnya
saya menetap hingga saat ini.
Sambil
berbicara di depan kelas, saya memberanikan diri menatap mata mereka. Diam-diam saya ingin melihat apakah mereka paham dengan bagian kecil dari
Indonesia yang telah saya paparkan. Ada yang mengangguk-angguk dan ada pula yang
menatap bingung. Jujur saja, saat menatap beberapa pasang mata yang bingung
itu, tiba-tiba saya terbayang pada kata korupsi, tragedi ’98, bom dan isu teroris yang sempat membuat Indonesia menjadi perhatian banyak negara di
dunia. Tiba-tiba saja saya ingin segera buru-buru kembali ke tempat duduk untuk
mengakhiri sesi perkenalan, tapi saya harus menyelesaikan perkenalan itu.
Saat
jam istirahat, beberapa teman menghampiri saya. Awalnya mereka ingin
melanjutkan perkenalan lebih dekat. Salah seorang menjabat tangan saya sambil
mengatakan bahwa dia hanya tahu Indonesia itu adalah Bali. Wow! Betapa
terperanjatnya saya. Pantas saja tadi dia menatap bingung saat saya sebut
Medan, Jakarta, dan Bekasi. Selanjutnya, tanpa sadar saya begitu bersemangat
menjelaskan apa yang belum mereka ketahui.
Setelah
itu, saya benar-benar yakin bahwa kemampuan saya untuk menjelaskan bahwa
Indonesia itu terdiri dari banyak provinsi yang tak kalah indah dari Bali
adalah bentuk dorongan rasa bangga saya pada Indonesia. Namun sesaat kemudian,
tanpa saya duga, dia pun bertanya tentang isu teroris, korupsi, dan hal lainnya
yang saya jawab dengan sangat hati-hati.
Tak
bisa dihindari, ternyata sisi negatif tentang Indonesia juga menjadi pertanyaan
mereka. Untungnya, tak lagi ada rasa cemas seperti ketika saya berdiri di depan
kelas sebelumnya. Saya jelaskan beberapa hal terkait dengan itu lewat bahasa
Inggris saya yang pas-pasan. Yang terpenting bagi saya, mereka bisa memahami penjelasan
saya. Obrolan kami akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa suatu saat nanti mereka ingin berkunjung ke Indonesia dan menjelajah tempat-tempat indah yang
sudah saya sebutkan.Wah! Diam-diam saya senang mendengar janji mereka. Itu artinya saya berhasil.
Seperti
apa bentuk tanda cinta saya terhadap Indonesia?
Saya
sadar kalau sebenarnya saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini. Apalagi setelah
mengingat kejadian di tempat kursus itu, saya menyimpulkan bahwa mungkin saya
sendiri belum begitu meyakinkan di mata teman-teman sekelas saat bercerita dan
mengenalkan Indonesia. Saya belum maksimal memperkenalkan negeri tercinta ini
kepada mereka hanya karena rasa ketakutan yang sempat mengganggu, sehingga masih
saja ada yang hanya mengenal Indonesia adalah Bali.
Mereka juga harus tahu Pulau Tangkil itu ada di Lampung 'kan? (dokpri) |
Dan Pulau Klah itu ada di Sabang (dokpri) |
Dari
pengalaman di tempat kursus tadi - terlepas dari segala permasalahan yang pernah
atau sedang terjadi di Indonesia - sebagai wujud dari bentuk rasa cinta, saya
tetap merasa punya tanggung jawab untuk mengenalkan negeri saya. Mulai dari ragam
provinsinya, kekayaan dan keindahan alamnya, keragaman kulinernya serta
terutama adalah tentang keramah-tamahan penduduknya yang mungkin tak dimiliki
oleh negara lain, sehingga tak ada lagi yang mengatakan bahwa, “Selama ini saya
tahu Indonesia adalah Bali.” Atau setidaknya, meskipun tak terlihat porsinya,
saya wajib ikut meminimalisir pandangan negatif terhadap negeri tercinta ini karena
masih banyak sisi positif yang perlu mereka lihat dari Indonesia selain hal-hal
miring yang mereka ketahui.
Atau Danau Toba di Pulau Sumatera (dokpri) |
Akhirnya,
seperti apa pun kondisi negeri ini, saya masih tetap menjadi bagian
darinya. Ke negara manapun yang sempat saya singgahi, Indonesia tetap sebagai negeri yang paling tepat untuk saya berpijak.
Saya tetap peduli dan merasa bangga menjadi rakyat Indonesia. [Wylvera W.]
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
BalasHapusDicatat sebagai peserta
Salam hangat dari Surabaya
Sama-sama, pakde. Terima kasih juga atas kesempatan yang diberikan.
HapusSalam hangat balik dari Bekasi. :)
Kemanapun perginya...negeri tumpah darah akan selalu menjadi tempat berlabuh ya Mak....
BalasHapusBetul, Mak. Rasanya belum ada yang sekomplit Indonesia deh. :)
HapusIndonesia itu luas, tidak hanya Bali. Tugas kita juga ya mbak memperkenalkannya
BalasHapusIya, Mbak Lidya. Kaget juga mendengar bangsa lain taunya Bali = Indonesia. Jadi aku mikirnya bahwa kita belum sempurna mengenalkan keindahan seluruh provinsi kita ke mata dunia.
Hapusbali itu indonesia, tapi indonesia bukan hanya bali.
BalasHapusBenar. Tugas kita membuat provinsi lainnya bisa seterkenal Bali ya. :)
Hapus