Dulu aku mengira
bahwa ibuku tak akan pernah terlibat di dunia social media. Ibuku adalah wanita rumahan yang enggan bersentuhan
dengan teknologi. Ini yang membuatku terkejut ketika semuanya berubah. Ternyata
semua bermula dari sebuah hape hadiah ulang tahun dari suamiku.
“Tia, aku ingin sekali memberikan
hadiah ulang tahun buat Ibu,” ujar suamiku suatu hari.
“Hmm... tidak ada hadiah lain yang
lebih spesial kah?” tanyaku mencoba mengubah pikiran suamiku tentang hadiah ulang
tahun untuk Ibu.
“Lho, bukannya hape itu sungguh
spesial?” balasnya bertahan pada keinginan awal.
“Iya, tapi buat Ibu rasanya lebih
baik kita membelikannya bahan baju, tas atau pernak-pernik rumah. Bukankah itu
lebih bermanfaat?” ujarku lagi masih berusaha menukar bentuk hadiah yang
dipilihkan suamiku.
“Itu terlalu mainstream ah. Apa sih salahnya kalau kita membelikan Ibu hape?
Selama ini aku tak sekalipun melihat Ibu menggunakan gadget itu,” kata suamiku mulai ngotot.
“Oke...oke, kalau itu sudah menjadi
pilihan Abang, ya sudahlah aku menurut saja,” ujarku akhirnya mengalah,
meskipun dalam hati aku masih kurang sreg.
Aku khawatir kalau Ibu kurang suka dengan hadiah itu.
Kekhawatiranku tak benar. Ibu begitu
girang ketika membuka bungkusan kado dari kami. Matanya berbinar dan senyum
merekah di bibirnya yang selalu polos tanpa pewarna itu. Aku senang melihat
ibuku puas menerima kado ulang tahun pilihan suamiku.
“Ah, kalian seperti tahu apa yang
selama ini Ibu inginkan,” ujar Ibu dengan rona merah di pipinya.
“Ini pilihan Bang Haris, Bu,” ujarku
seraya melirik suamiku yang spontan menggerakkan matanya. Dia seolah puas
dengan keputusan memilih hadiah ulang tahun untuk Ibu.
Hingga hari ini, sudah lebih dari
setengah tahun Ibu memiliki hape. Dari
hari ke hari aku mulai melihat perubahan di sikap Ibu. Bicaranya pun mulai
berubah. Ibu mulai sering menyebut-nyebut e-mail,
password, facebook, blog, dan chatting. Kulihat Ibu semakin sibuk
menggunakan hapenya. Tidak hanya saat di dapur, bahkan sedang berada di kebun
bersama tanamannya pun Ibu seolah tak bisa lepas dari hapenya.
“Tia, besok kau ada acara?” tanya
Ibu memupus lamunanku.
“Enggak ada, Bu. Ada apa?” tanyaku
berbalik.
“Antarkan Ibu ke acara seminar ya,”
balas Ibu membuat mulutku menganga.
“Hah? Seminar? Seminar apa? Memang
Ibu diundang?” tanyaku tak percaya.
“Kalau tak diundang, tak mungkin Ibu
minta diantarkan,” jawab Ibu santai.
“Oke, aku akan antar Ibu. Tapi,
seminar apa dan di mana?” tanyaku lagi berubah penasaran.
“Seminar tentang Perempuan dan Teknologi.
Di Jakarta acaranya,” jawab Ibu.
“Oh, oke...besok aku antar Ibu ke
sana,” timpalku belum juga terbebas dari rasa penasaran melihat perubahan pada
Ibu.
Aku tak lagi
meneruskan pertanyaan. Hanya mataku yang semakin terheran-heran melihat Ibu.
Sambil sesekali memperhatikan gerak-geriknya, aku berniat meneruskan pekerjaan
kantor yang tertunda kemarin. Aku sibuk mencari laptop yang biasa kuletakkan di atas meja ruang kerjaku dan suami. Selama
ini yang suka masuk ke dalam ruangan itu hanya Mpok Atun. Itu pun karena dia
ingin membersihkan ruangan saja.
“Kau mencari apa?” tegur Ibu
mengejutkanku.
“Laptop,” jawabku singkat sambil
menarik beberapa laci.
“Oh, maaf... semalam Ibu pakai dan
lupa mengembalikannya,” lanjut Ibu lagi.
Badanku yang tadinya membungkuk sambil
membuka laci, sontak tegak memandang Ibu. Aku tak percaya kalau Ibu bisa
menggunakan laptopku. Belum sempat aku
melanjutkan pertanyaan, Ibu buru-buru ke luar dari ruang kerja dan sekejap
kemudian sudah kembali dengan laptop di tangannya.
“Ini, ibu kembalikan,” ujar Ibu
dengan memamerkan senyum penuh teka-teki di bibirnya yang tak terlalu tipis.
Lagi-lagi
Ibu ke luar dengan terburu-buru dari ruang kerjaku. Rasa penasaran yang sejak
tadi mulai membumbung membuatku tergesa-gesa menyalakan laptop. Aku menunda
meneruskan pekerjaan kantor. Yang pertama ingin kulihat adalah akun facebookku. Dadaku berdetak lebih
kencang dari biasanya. Semua itu hanya karena aku ingin membuktikan sesuatu.
“Wah...benar
saja. Bukan hanya menggunakan hape, ternyata ibuku juga sudah piawai membuka
akun facebook.
Ibu
meng-add aku untuk bergabung di friend list nya. Aku langsung mengonfirmasi
ajakan pertemanan itu. Aku ingin melihat sosok ibuku di facebook. Mataku bolak-balik terbelalak melihat postingan-postingan
Ibu di wall-nya. Ibu tak hanya
menuliskan kata-kata indah di dinding akun facebooknya.
Ibu juga memajang hasil rajutan dan tanamannya. Lalu yang semakin membuatku
terkejut, lebih dari dua puluh hasil kreasi Ibu di dapur terpajang dengan
cantik di koleksi foto-fotonya.
Keterpanaanku
tak berhenti sampai di situ. Ibu mengumumkan bahwa dia jiga memiliki blog tempatnya menuangkan catatan lebih
banyak tentang semua hasil kreasinya selama menjadi ibu rumah tangga. Dari
sanalah Ibu mendapatkan undangan resmi tentang seminar yang besok akan
dihadirinya. Keterkejutanku seolah belumlah usai. Aku masih harus menunggu
besok.
*
“Ibu
sudah siap. Mari kita berangkat,” ajak Ibu membuatku tak bisa berkedip
memandangnya.
“Ibu
cantik sekali,” puji suamiku tulus sambil melirik ke arahku.
Suamiku
memang sangat menyayangi Ibu. Sejak aku menikah dengan Bang Haris, dia sudah
berstatus sebagai yatim piatu. Itu sebabnya, dia mengajak Ibu tinggal bersama
kami setelah ayahku meninggal lima tahun lalu.
“Hei...melamun!”
tegur Ibu sambil mencubit pelan lenganku. Aku diam dan mengikuti mereka menuju
mobil.
Perjalanan
kami menuju kawasan Sudirman hening. Kami terhanyut oleh pikiran masing-masing.
Aku tak tahu apa yang sedang dilamunkan Ibu dan Bang Haris. Sementara aku masih
terus menyimpan rasa penasaran menjelang acara seminar yang akan dihadiri Ibu.
Kami
pun tiba di depan para penyambut tamu. Aku dan Bang Haris tak ingin melepas Ibu
begitu saja. Kami ikut mengantarkannya sampai ke depan meja tamu.
“Selamat
datang Bu Ilham. Silakan mengambil tempat yang sudah disediakan panitia,”
sambut penerima tamu memperlakukan Ibu seolah tamu terhormat.
Ketika
aku dan Bang Haris ingin berpaling meninggalkan Ibu menuju ruang seminar, Ibu
memegang lenganku.
“Undangannya
bukan hanya untuk Ibu. Kalian berdua boleh ikut masuk,” kata Ibu membuatku
refleks memandang Bang Haris. Wajahnya tak sedikitpun menunjukkan sikap
terkejut melihat perubahan pada Ibuku.
Akhirnya
aku mengikuti Ibu menuju ruang seminar. Aku kembali terkejut melihat beberapa
orang yang berpakaian serupa sibuk menyambut kedatangan Ibu.
“Selamat
datang Bu Ilham. Sebentar lagi acara akan kita buka. Ibu bisa duduk di depan.
Semoga pesan kami semalam tak membuat Ibu keberatan sebab sesi Ibu menjadi naik
ke urutan pertama acara,” ujar perempuan berkebaya putih itu memberi
penjelasan yang membuatku semakin tak menemukan kejelasan.
Kami
pun terus mendampingi Ibu menuju deretan bangku terdepan. Aku tak bisa
berkata-kata lagi ketika melihat tulisan di atas roundtable bertuliskan, “Pembicara”. Ternyata ibuku adalah salah
satu pembicara di seminar yang melibatkan para perempuan yang melek teknologi
ini.
“Sudah...rasa
heran dan terkejutnya disimpan saja, Tia. Suamimu ini yang telah banyak
mengajari Ibu tentang gadget dan
melibatkan diri di jejaring sosial. Kalau bukan karena hape hadiah ulang tahun
yang dipilihkannya waktu itu, tak mungkin Ibu sampai sejauh ini,” bisik Ibu
membuatku spontan membesarkan klopak mata ke arah Bang Haris.
“Bang...!”
seruku tertahan.
“Ssst...acaranya
sudah dimulai,” sela Bang Haris menahan tawa yang disambut senyum bangga oleh
ibuku. [Wylvera W.]
NB.
Cara mengirim naskahnya bisa ke
alamat e-mail mereka di
majalahnoor@gmail.com dan majalahnoor@yahoo.co.id atau ke alamat redaksinya;
Jl. Karang Pola VI No. 7A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540.
Yuk, yang mau nyoba. :)