Time flies so fast (dokpri) |
Dulu saat anak-anak saya masih kecil, seolah waktu 24 jam
habis hanya untuk mereka. Memandikan, memberi makan, menemani tidur,
mendampingi belajar, mengantar ke tempat kursus, dan maaasih banyak rutinitas
lainnya yang saya lakukan untuk mereka. Rutinitas
itu pula yang membuat waktu seolah cepat sekali berputar. Saya juga merasakan sempitnya ruang
untuk menikmati Me Time. Bahkan saya hampir
menyerah, ketika tak ada waktu untuk berduaan menikmati kebersaam bersama
suami.
“Kapan
ya kita bisa dinner berduaan tanpa
harus takut ninggalin anak-anak di rumah?” Pertanyaan ini pun sempat saya
ajukan ke suami waktu itu.
Seiring berjalannya waktu, kedua anak saya pun beranjak
remaja. Keluhan saya tentang sulitnya mencuri momen berdua dengan suami,
perlahan bergeser menjadi kecemasan. Saya perlahan-lahan merasakan sesuatu yang
hilang dari rutinitas itu. Pada saat-saat ingin bersama, tiba-tiba saya merasa
sendiri dan kesepian. Saya justru rindu masa-masa repot seperti dulu, kala mereka
masih kecil.
My lovely Kids (dokpri) |
Banyak perubahan yang saya alami. Kalau dulu mereka
selalu menjadikan saya tumpahan segala keingintahuannya, sekarang perlahan
bergeser. Mereka mulai mahir menemukan jawaban serta solusi lewat nalar atau
media lain. Kalau dulu mereka selalu minta ditemani saya atau bapaknya, sekarang mereka sudah punya alternatif. Mereka
bisa mengajak teman-teman sekolahnya.
Satu
hal yang paling sering membuat saya merasa benar-benar rindu adalah pergi
bersama di waktu weekend. Saya harus
menemukan alasan yang pas agar mereka mau ikut. Bahkan tidak jarang mereka
menolak dengan halus sambil bercanda, “Ibu sama Bapak aja berduaan. Kami di
rumah aja. Biar lebih romantis, gitu.” Kalau
sudah begini, saya tidak akan memaksa lagi. Itu tandanya mereka memang
benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu bersama ibu dan bapaknya.
Demi
mengatasi rasa rindu ini, saya mencoba mencari persamaan. Mungkin yang saya
rasakan juga dialami para orangtua lainnya. Saya browsing dan mencari info serta pengalaman para orangtua yang telah
melewati fase ini. Atau bahkan bertukar cerita dengan para sahabat.
Untunglah, ternyata saya tidak sendiri. Apa yang saya rasakan juga dialami oleh
para orangtua lainnya yang memiliki anak seumuran anak-anak saya.
Beberapa
pengalaman pun saya serap. Katanya, memasuki masa remaja, ternyata anak mulai
sulit untuk diajak bepergian bersama orangtuanya. Bahkan saat di rumah pun mereka seakan
memberi sinyal kalau ingin menghabiskan momen sendiri. Mereka memilih kamar
sebagai tempat paling pribadi. Mereka bisa berjam-jam menghabiskan waktu di
situ.
Lalu,
pertanyaan saya, “Wajarkah kondisi seperti ini?”
Ternyata
dari beragam artikel yang sempat saya baca, kondisi ini dinilai wajar. Sebab di
masa remaja, anak mulai mengalami fase keinginan memiliki ruang pribadi. Ruang
pribadi itu bisa berupa tempat dan waktu dimana mereka tidak ingin diganggu.
Inilah yang membuat mereka mulai enggan untuk sering-sering bepergian atau
berkumpul terus-menerus dengan orangtuanya.
Saya
pernah bertanya kepada Mira, anak sulung saya, “Kenapa sih, sekarang susah
banget ngajak Kakak sama Adek pergi bareng? Padahal, Ibu sama Bapak kangen. Pengin kita lunch atau dinner berempat kayak dulu lagi.”
Simak
apa jawabnya.
“Kami
kan sudah besar. Dulu Ibu sama Bapak pasti pengin sering-sering pergi berduaan,
tapi malah susah curi waktunya gara-gara kami. Nah, sekarang waktunya sudah
ada. Kenapa nggak dinikmati?”
Kalau
sudah mendengar jawaban seperti ini, kira-kira apa yang harus saya lakukan
sebagai orangtua? Apakah harus memaksa mereka untuk tetap menuruti ajakan saya?
Saya memilih tidak, walaupun pengin banget memaksa. Hikks ....
Dinner di luar yang semakin sulit dinikmati berempat (dokpri) |
Alih-alih
memaksa, yang ada saya harus menerima pergeseran fase ini dengan damai. Saya
harus lebih bijak untuk memahami tentang momen berkualitas bersama mereka. Saya harus sadar dan bisa menerima kalau sekarang mereka sudah remaja. Dan, ternyata memang tidak perlu mematok-matok
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk bisa menciptakan momen berkualitas itu.
Yang penting saya dan suami harus berkomitmen melakukannya setiap hari. Bahkan
lima belas menit pun sudah cukup, jika benar-benar dilakukan secara maksimal.
Bagaimana
caranya agar saya bisa mengobati kerinduan akan kebersamaan yang full-time itu? Tentu dengan cara
berkomunikasi, karena diam tidak akan mendekatkan saya dengan mereka. Kapan
kesempatan berkomunikasi itu bisa saya lakukan dengan baik dan berkualitas?
Ternyata banyak waktu yang bisa mengobati kerinduan saya. Salah satunya saat
mengantar mereka ke tempat kursus/les. Waktu sekitar 15 – 20 menit di perjalanan
dalam mobil, selalu saya gunakan untuk ngobrol dengan mereka. Tentang apa saja.
Waktu 15
menit lainnya adalah di saat-saat mereka tidak melakukan apa-apa di kamarnya.
Saya sesekali merebahkan badan di tempat tidur mereka. Sambil tidur-tiduran,
saya suka memancing cerita-cerita baru yang terjadi di sekolah. Bahkan sampai
nyerempet ke hal-hal yang pribadi dan sensitif. Seperti masalah suka-sukaan dengan lawan
jenis, atau apakah ada seseorang yang sempat membuat mereka bete. Ini terkadang menjadi obrolan yang
bisa memancing tawa dan canda.
Ternyata
benar kata anak-anak saya. “Kalau ada waktu yang bisa membuat Ibu dan Bapak
menikmati momen berdua, kenapa harus memaksakan kami ikut. Bukannya kebersamaan
dengan kami jauh lebih sering Ibu dapatkan di rumah, ketimbang dengan Bapak
yang setiap hari pulang kerjanya malam?”
Duh!
Kalimat pembuka saya yang membeberkan kerinduan pada momen kebersamaan di masa mereka kecil,
seakan menguap. Mengingat kata-kata anak-anak saya yang menghangatkan hati itu,
membuat saya seharusnya lebih bersyukur. Ketika anak-anak saya sudah remaja,
justru saya banyak belajar dari mereka. Belajar memanfaatkan momen berkualitas. [Wylvera W.]
Waktu pasti terasa begitu cepat ya mak bila anak sudah remaja :)
BalasHapusIya, Mak. Rasanya baru kemarin buatin susu, mandiin, nemani tidur. Hiks.
HapusKayaknya saya akan mengalami fase itu. Kayaknya bakalan sedih banget :')
BalasHapusTenang, Mas Hadi. Siapkan hati ya. :)
HapusBaru bahas tadi ama suami, gara gara baca status mba wiek wekekek
BalasHapus"Kayaknya kita nikmati ama anak anak cuma sampe usia mereka 15 thn, selebihnya kita bakal berdua mulu ke mana mana nih" tiba tiba hening. Trus jadi berencana nambah anak wkwkwk
Betu, Shinta.
HapusPuas-puasin deh, sebelum datang saatnya merindukan momen-momen itu. :)
Tulisannya Mbak.. mengharu biru buatku. Sekaligus jadi reminder buat saya yang jarang sekali ada di rumah. Mungkin ibu saya pernah merasakan perasaan ini ya. :')
BalasHapusSama sepertiku. Dulu juga sok sibuk banget di sekolah, kampus, dan kerjaan. Hikks, sekarang gantian.
HapusAku puas-luasin berarti sekarang ya mbak. Aku gak konsen lihat foto Khalid yang ganteng mbak :)
BalasHapusIya, puas-puasin deh, Mbak selagi anak-anak masih kecil.
HapusBtw, jiaaahahaha, kenapa jadi pindah fokus ih. :p
Tema yang sangta bagus sekali Mak, menjadi pembelajaran buat para ioranguta yang anaknya menginjak usia ABG
BalasHapus