Saya dan murid-murid terpilih SDIT Gembira (dokpri) |
Setelah beberapa bulan lamanya tidak
berbagi di luar sekolah tempat saya biasa mengajar, ternyata bikin rindu juga.
Maka, permintaan untuk menjadi pemateri di acara “Pelatihan Menulis” pun
langsung saya terima waktu itu. Alhamdulillah, lewat obrolan via inbox di facebook, akhirnya saya menerima kepastian hari dan tanggal
pelatihan tersebut.
Seminggu sebelum hari “H”, saya kembali menyusun dan
memperbaharui tampilan slide power point
yang sudah ada. Semangat saya benar-benar terpicu, sambil membayangkan saya kembali
berdiri dan berbagi ilmu menulis di depan 60 murid SDIT Gembira Jatibening Pondok
Gede Bekasi. Materi, hadiah kuis, bahkan baju apa yang ingin saya pakai pun
sudah disiapkan. *ngaruh kan ya pilihan baju ini, hehe*
Namun siapa yang bisa menduga kalau tiba-tiba di hari
Jum’atnya saya jatuh sakit. Buang-buang air hingga 8x membuat stamina saya
drop. Lambung saya terasa seperti ditekan-tekan, nyeri sekali. Otot dan
persendian saya mulai terasa kaku dan pegal saat digerakkan. Saya nyaris
mengalami dehidrasi. Sore harinya, saya memutuskan untuk ke rumah sakit
terdekat. Hasil diagnosa dokter penyakit dalam mengatakan kalau usus saya
mengalami infeksi. Saya pun diberi obat penghenti buang-buang air, pereda rasa
nyeri, dan antibiotik. Saat itu, harapan saya adalah ingin segera pulih agar
esoknya tetap bisa tampil sebagai pemateri.
Hanya keinginan untuk pulih dan
ridha Allah Swt. yang membuat saya tetap semangat. Obat dari dokter pun saya
makan, berharap esok pagi (Sabtu) tetap bisa memenuhi permintaan pihak SDIT
Gembira. Tak terbayangkan, betapa kecewanya anak-anak itu jika tiba-tiba saya
memutuskan untuk tidak bisa hadir walaupun alasannya sakit yang tidak bisa dielakkan. Allah Swt. mendengar doa dan harapan saya.
Tibalah di hari “H”, Sabtu, 25 April 2015. Dengan diantar
oleh suami tercinta ... ehem ... saya pun siap menuju lokasi. Setelah dijemput oleh Mbak Levin (contact person dari sekolah itu) di lokasi yang kami sepakati, akhirnya saya tiba sekitar jam delapan lebih beberapa menit.
Sambutan hangat pihak sekolah, membuat saya lupa sejenak dengan tekanan rasa
nyeri yang sesekali masih terasa di bagian perut.
Sambil menunggu persiapan teknis, saya diantar ke
ruangan administrasi. Dari saat menunggu itulah saya mendapat informasi bahwa
acara pelatihan menulis ini baru pertama kali diadakan oleh pihak sekolah. Mbak
Levin mengatakan kalau usulan beliau sebagai salah satu orangtua murid,
mendapat dukungan luar biasa dari para orangtua murid, lalu disetujui oleh
Kepala Sekolah, dan guru-guru di sekolah tersebut. Ini catatan versi beliau.
Mereka sudah menunggu saya sejak jam tujuh pagi (dokpri) |
Setelah
semua siap, saya kembali diajak menuju aula sekolah. Betapa terharunya saya
ketika melihat murid-murid (kelas 3, 4, 5, dan 6) dengan seragam pramuka mereka,
telah menunggu kehadiran saya sejak jam 7 pagi (katanya). Tatapan mata mereka
begitu terlihat antusias dan haus ilmu. Katanya 58 murid ini adalah siswa
terpilih yang berhak mengikuti kelas “Pelatihan Menulis” bersama saya.
"Sebenarnya banyak yang mendaftar, tapi mau tidak mau harus diseleksi," ujar salah satu guru. Dan,
merekalah yang beruntung.
Sambutan Wakasek bidang kesiswaan (dokpri) |
Tibalah giliran saya, setelah acara
dibuka oleh Mbak Levin dan sambutan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Saya
memulai kelas dengan menampilkan judul sederhana, yaitu “Menulis, Yuk!” Sengaja
saya buat begitu agar anak-anak tidak usah berpikir terlalu jauh untuk memulai
menulis.
Foto "aktris" itu bikin anak-anak senyum-senyum lho (dokpri) |
Setelah memperkenalkan diri dan memancing perhatian
mereka dengan beberapa pertanyaan pembuka, seperti “Siapa di sini yang sudah
pernah menulis cerita?” Pertanyaan saya langsung direspon dengan beragam
jawaban. Dua diantaranya;
“Saya pernah, Bu, tapi cuma untuk
dibaca sendiri!”
“Saya juga pernah menulis tapi nulis
puisi, Bu!”
Saya
senang mendengar jawaban mereka. Ternyata memang benar, kalau yang ada di depan
saya adalah murid-murid pilihan.
"Saya, Bu!" (dokpri) |
Setelah saya merasa tersambung dengan mereka, barulah
saya buka materi awal tentang dasar-dasar untuk memulai menulis sebuah cerita.
Tentu saja dimulai dengan unsur pertama dalam memulai tulisan, yaitu menemukan
“Ide”. Saya memberi contoh bahwa ide itu ada di mana-mana dan sangat mudah
ditemukan. Dari hal terdekat dengan mereka hingga ke yang lebih luas dengan
memainkan kreativitas imajinasi.
Salah satu contoh yang saya berikan adalah tentang
termos berisi air minum milik salah satu murid. Dari sebuah termos berwarna
hijau berisi air itu saya mengurainya menjadi pembuka satu cerita. Sesekali
saya menyapu pandangan. Saya tersenyum melihat tatapan mata mereka yang begitu
fokus menyimak. Ada yang nyaris tak berkedip ketika saya mengatakan, “Setiap
hari aku selalu membawa termos ini ke sekolah. Termos ini juga pernah
menyelamatkan salah satu temanku yang merasa kehausan, dst ....”
Baim yang suka merenung (dokpri) |
Dari contoh-contoh sumber “Ide” yang
saya sajikan di slide, ada gambar
anak sedang merenung. Tiba-tiba salah satu murid nyeletuk, “Baim, tuh Bu. Suka
merenung!” Maka saya pun mendapat satu momen yang menyenangkan. Saya langsung
memanggil anak yang bernama Baim untuk maju. Awalnya dia malu-malu, tapi
akhirnya mau juga berdiri di samping saya. Baim pun saya minta menceritakan apa
yang biasa dia pikirkan saat merenung. “Hmm, apa ya ... apa ya ... bingung. Oh
iya, tadi pagi saya merenung, trus mikir ... gimana caranya supaya bisa nulis
cerita,” ujarnya pintar memilih isi renungan yang pas dengan momen pelatihan
saat itu. Ah! Baim, kamu pasti bisa!
Begitulah, dari “Ide” materi
bergerak ke cara membuat “Judul”, menentukan “Tokoh dan Karakter” nya, sampai
menetapkan “Ending” pada sebuah cerita. Mengajak anak-anak berlatih dan memulai
menulis itu memang gampang-gampang susah. Dua jam lebih bersama mereka, saya
harus mampu menemukan selingan-selingan agar mampu mempertahankan perhatian
mereka tetap fokus ke saya. Intinya, agar mereka tidak bosan dan tetap
konsisten menyimak dan merasa terus terlibat di sesi pelatihan itu.
Saya memilih menyelinginya dengan memperbanyak praktik
ketimbang berlama-lama memaparkan materi. Sebagai contoh pada saat menentukan
karakter tokoh dalam cerita, saya memilih menampilkan tujuh gambar wajah anak
(laki-laki dan perempuan) dengan mimik yang berbeda-beda. Lalu, saya meminta
mereka menentukan pilihan pada salah satu gambar dan membuat karakternya.
Minimal mereka harus menentukan tiga karakter unik yang bisa mereka buat sesuai
gambar.
Salah satu murid yg berani maju menampilkan karakter tokohnya (dokpri) |
Sesi ini sangat seru. Mereka mulai
terpancing untuk mengolah imajinasinya. Walaupun beberapa murid masih terkesan
bingung, namun akhirnya mereka mampu menyelesaikan tantangan yang saya berikan.
Saya semakin menyemangati mereka dengan mengatakan bahwa di akhir pelatihan,
saya akan memberikan hadiah buku karya saya kepada tiga murid yang paling
kreatif. Waktu untuk menetapkan tokoh dan karakter berdasarkan gambar yang ada
adalah 15 menit. Dan, mereka berhasil. Karakter dan nama tokoh sudah mereka
tentukan. Saya meminta mereka menyimpannya untuk dipakai di sesi praktik
berikutnya.
Saya bacakan cth menggambarkan setting dalam cerita (dokpri) |
Materi kembali bergulir dengan santai. Sesi tanya jawab juga saya
buka. Wow! Begitu diberi kesempatan bertanya, mereka langsung berebut
mengangkat tangan.
“Bu, bagaimana
kalau ceritanya nggak ada konflik? Nggak boleh ya?”
“Setting boleh ganti-ganti nggak, Bu?”
“Karakter
tokohnya boleh nggak kalau cuma satu aja?”
Itulah beberapa
pertanyaan “bergizi” yang mereka ajukan. Saya menjawab semua pertanyaan itu
dengan rinci dan lagi-lagi selalu dengan contoh, agar mereka lebih mudah
memahaminya ketimbang teori. Hingga akhirnya saya mengakhiri pemaparan materi
pada “Editing”. Bagian ini juga memancing rasa ingin tahu mereka. Selama ini
yang tidak paham cara menuliskan kata “ke mana” dan “diminta” dengan benar, akhirnya paham. Mereka jadi mengerti tentang pentingnya mengedit tulisan yang sudah selesai agar tidak terjadi kesalahan di sana-sini. Mereka merasa menemukan hal yang baru dalam hal menulis. Syukurlah.
Ada yang langsung serius nulis nih (dokpri) |
Tibalah sesi
praktik membuat cerita mini. Saya meminta mereka menulis cerita dengan 10 kata
kunci yang saya berikan dengan menggunakan tokoh dan karakter yang sudah mereka
tetapkan tadi. “Ooo, karakter tokohnya buat bikin cerita ini ternyata,” celetuk
salah satu anak yang duduknya tak jauh saya. Saya tersenyum mendengar
celetukannya. Lalu, saya memberikan waktu 45 menit untuk menyelesaikan cerita
yang mereka tulis.
Inilah empat calon penulis keren yang terpilih (dokpri) |
Praktik menulis cerpen berakhir.
Saya akhirnya membaca cepat karya mereka untuk memilih tiga terbaik. Namun,
karena ada 4 cerita yang menurut saya nilainya berimbang, maka saya menambahkan
1 hadiah lagi. Jadilah 4 cerita yang terbaik yang terpilih dari 58 cerita yang
terkumpul. Betapa senanganya mereka menerima hadiah buku dari saya. Semoga yang
lainnya juga semakin semangat untuk terus berlatih menulis dengan baik.
Alhamdulillah, dapat kenang-kenangan dari Pak Kepsek (dokpri) |
Berakhirlah kelas “Pelatihan Menulis”
itu dengan lancar. Kebersamaan dengan calon-calon penulis andal itu, membuat
saya lupa pada rasa nyeri di perut saya. Akhirnya, terima kasih yang setulusnya
kepada Mbak Levin yang telah mempertemukan saya dengan anak-anak kreatif itu.
Juga terima kasih saya kepada Kepala Sekolah SDIT Gembira, segenap guru, dan
orangtua murid. Semoga kerjasama ini kelak bisa berlanjut dan menjadi pembuka
untuk kelas menulis berikutnya.
Terakhir, untuk anak-anakku,
teruslah berlatih. Semoga dari kalian kelak akan lahir penulis hebat yang mampu
menginspirasi dunia. Tetap semangat! [Wylvera
W.]
Serunya berbagi ya mak.. apalagi sampe gak kedip audience nya :)
BalasHapusIya, Mak.
HapusSusah-susah gampang menarik perhatian mereka untuk waktu lebih dari 2 jam lho. Harus pandai-pandai cari momen. :)
Kok gak ada book signing dan amplop signing story-nya?
BalasHapusMampir juga ya di mari: http://www.bennyrhamdani.com/2015/05/mister-aladin-teman-travel-terbaikmu.html
Hahahaha, book signing ada, tapi gak sempat minta difotoin waktu itu. Sstt, yang amplop signingnya OtR ah. Pamali. ^_^
HapusOk, ntar saya mampir ya.
ternyata ide itu bisa darimana saja ya mba, dari benda yg ada di dekat kita pun bisa :)
BalasHapusIya, Mbak Kania. Kita tinggal berlatih mengolahnya menjadi cerita yg unik. :)
HapusWah seru ya mbak wiwiek. kapan nih aku diajari menulis juga
BalasHapusAyo privat, Lidya. Kita cari waktu yg sama ya. :)
HapusKembali kasih mbak Wik, luar biasa keren... tulisanki penjelasannya patah"... baca disini tentang penulisan anak lebih detail jadi ikut tambah paham.... makasih mbak sudah berbagi ide dan ilmunya... 😍😘
BalasHapusGak apa-apa, Levin. Sudah bersedia mempertemukan dan menemaniku saja sudah luar biasa banget rasanya. Catatanku ini sebagai pelengkap versi Levin. Toss!
HapusSemoga mereka jadi semangat buat karya.. In Shaa Allah karyanya best seller :D
BalasHapusAamiin, makasih supotnya Mbak. :)
HapusMereka generasi penerus yang kelak menggantikan para maestro yang sekarang. :)
BalasHapusIya, Insya Allah. Tks ya. :)
HapusKereeeen mak W... Masya Allah ekspresi adik2 itu luar biasaaa
BalasHapusPingin banget bisa menulis seperti mak hebat ini.
BalasHapus