Saya, Mira, dan para pemenang cerpen terbaik (dokpri) |
Mengapa jadi penulis itu susah?
Begini ceritanya ....
Saya pernah bercita-cita ingin menjadi dokter. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya faktor penyebab, cita-cita itu pun akhirnya tidak terwujud hingga saat ini. Akhirnya saya legowo mengikuti perjalanan ke mana nasib membawa saya. Hingga hari ini, saya ditakdirkan menjadi seorang istri, ibu dari dua anak, penulis, guru ekskul, dan agak deg-degan ngaku sebagai blogger (segan sama blogger yang beken-beken itu ... hikks ^-^).
Nah, dari semua status yang saya lakoni itu, entah mengapa justru yang paling membuat saya senang dan nyaman adalah saat mengajar. Berbagi dan berbicara di depan audience tentang pengalaman menulis yang saya miliki (padahal belum ada apa-apanya juga sih ...hehehe), membuat saya selalu happy melakukannya. Yang bikin takjub, ternyata apa yang saya minati (ngomong di depan orang-red), tanpa sadar mulai diwarisi pula oleh putri sulung saya. *sebelum diakui sama bapaknya ....bwuahahaha*
Beberapa minggu sebelum hari “H”, saya di- SMS oleh nomor telepon yang tidak saya kenal. Pesannya meminta kesediaan saya untuk menjadi pemateri pada acara workshop di SMPIT Thariq Bin Ziyad, Jatimulya Bekasi. Singkat cerita, saya menyetujui permohonan itu. Akhirnya saya pun bertemu dengan pengurus OSIS yang menjadi juru bicara mereka. Walaupun mereka mengaku anggarannya kecil, saya tetap bersedia. Honor bukan tujuan utama saya saat berbagi ilmu dan pengalaman.
Nah, di momen berikutnya, menjelang acara, salah satu pengurus OSIS SMPIT tersebut kembali menghubungi saya. Mereka ingin menambahkan bintang tamu lain di sesi workshop itu. Syaratnya harus seorang penulis, tapi yang remaja. Saya ajukanlah nama anak saya (Yasmin Amira Hanan). Saya ceritakan sekilas tentang profil Mira kepada mereka. Mereka pun senang sekali dan langsung menyambut dengan baik.
Saya tahu kalau mereka itu masih SMP, tapi sudah berhasil mengemas acara besar di sekolahnya yang diberi tajuk “Thariq Carnival”. Sementara “Workshop Menulis” yang diisi oleh saya dan Mira, merupakan salah satu dari serangkaian acara lainnya di event tersebut.
Tibalah di hari Senin, 18 Mei 2015. Karena acaranya akan dimulai pada pukul 08.00, saya dan Mira pun ingin tiba tepat waktu. Sebelum jam delapan, kami sudah tiba di sekolah itu. Rasa kagum saya menepis kecewa yang nyaris muncul, ketika jadwal yang disepakati sedikit bergeser. Acara yang seharusnya dimulai dari jam delapan pagi akhirnya karena kurang detail persiapannya, mundur satu jam. Tidak apa-apa.
Semangat kalau melihat pesertanya ramai begini (dokpri) |
Setelah acara dibuka oleh pengurus OSISnya, kami pun siap berbagi. Seperti biasa, materi yang saya berikan adalah seputar dasar-dasar tentang menulis cerita. Satu per satu dari langkah-langkah tentang menulis pun saya paparkan, berikut contoh-contohnya. Sesekali saya memancing gelak-tawa mereka untuk menghindari ketegangan dan kebosanan. Hingga tiba pada sesi praktik di bagian pertama, yaitu menentukan karakter tokoh dalam cerita.
Selepas sesi praktik, saya kembali melanjutkan materi tentang alur, setting, ending, dan sekilas pengetahuan tentang self editing. Di sela-sela presentasi, sesekali saya melirik Mira. Saya yakin, Mira juga diam-diam memerhatikan cara saya berbicara di depan 75 anak-anak remaja itu. Dia harus siap menggantikan posisi saya di depan untuk memberi motivasi seputar pengalamannya sebagai penulis remaja. Meskipun selama ini Mira sudah sering tampil dan berbicara di depan publik, namun memberi motivasi tentang menulis adalah momen pertama baginya. Saya deg-degan juga.
Suasana pelatihan (dokpri) |
Setelah ini ya, sesinya Kak Yasmin Amira dong ^-^ (dokpri) |
Materi dari saya pun akhirnya selesai. Sesi praktik menulis cerita sebanyak 200 kata juga sudah terlaksana. Saya meminta waktu sekitar 1 jam untuk membaca dan memilih 4 cerita terbaik dari 75 karya yang terkumpul. Mira pun mengambil alih sesi. Sambil membaca naskah, saya sesekali menyimak motivasi yang disampaikan Mira. Dia mengawali cerita tentang mengapa dia akhirnya jatuh cinta dan memilih terjun sebagai penulis muda.
Saya pikir Mira grogi, malah sebaliknya ... mengaliiir (dokpri) |
Saya tersenyum-senyum ketika Mira berkisah tentang pengalamannya saat tinggal di Amerika. Katanya, dari sanalah kesenangannya pada dunia menulis berawal. Mira juga bercerita kalau ibunyalah yang punya andil besar menumbuhkan minatnya dalam menulis. Wow! Bisa dibayangkan betapa tersanjungnya saya saat itu. *ge-er mood on*
Mira kembali melanjutkan kisah pengalamannya. Dari yang awalnya dia hanya suka membuat puisi-puisi standar, akhirnya berkat dorongan Ibu, dia pun berani mengikuti kompetisi menulis cerita pendek antar sekolah di sana. Cerpennya dipilih sebagai salah satu yang mewakili Martin Luther King School, tempatnya bersekolah di Amerika. Walau belum berhasil meraih juara 1, 2, dan 3, cerpen pertamanya (The Poor Sam), berhasil masuk nominasi.
"Boleh gak, saya nyebut elo dan gue?" tanya Mira membuka sesinya (dokpri) |
Dari cerpen itulah semangatnya semakin terpacu. Mira kembali memberanikan diri mengikuti lomba menulis cerpen (masih di Amrik) yang diselenggarakan oleh Indonesian Muslim Society in America Sisters (IMSA Sisters). Karyanya terpilih sebagai cerpen terbaik kedua. Sejak itu, Mira terus memupuk keterampilannya di bidang menulis, sampai kembali ke tanah air. Lagi-lagi, berkat dukungan Ibu, katanya dia akhirnya berhasil mengikuti workshop menulis untuk pertama kalinya. Dia menyebut nama Kak Benny Rhamdani sebagai guru menulis andal yang telah memberinya ilmu tentang dasar-dasar menulis cerita.
Mira begitu semangat berbagi dan memberi motivasi. Satu kalimat yang paling saya ingat dan juga memancing tawa audience, ketika Mira mengatakan, “Jadi penulis itu susah, namun kita bisa membuatnya menjadi mudah ketika membayangkan fee dan royaltinya.” Kalimat awal Mira itulah yang menggelitik saya untuk memilih judul catatan di postingan ini.
Selanjutnya, Mira juga menceritakan tentang kegembiraannya saat menerima laporan royalti dan honor dari karyanya (novel dan cerpen). “Aku bisa beli hape dengan hasil kerjaku sendiri, bisa nraktir teman makan-makan juga. Trus, bukan cuma itu aja. Jadi semakin dikenal juga di sekolahan. Kalau ada yang nanya, “Yasmin yang mana?” Pasti jawabnya, “Itu lho, anak XI MIA 5 yang penulis itu.” Cieee ... gaya kan aku?” ujarnya kocak, mengundang tepuk tangan.
Begitulah, setelah kurang lebih 45 menit memberi motivasi, Mira akhirnya menutup sesinya dengan berpesan, “Jadi, inti dari semua yang aku ceritakan tadi. Kalian itu terserah mau milih jadi apa. Jadi dokter, guru, pilot, diplomat, apa aja ... tapi keterampilan menulis jangan diabaikan. Kalian pasti butuh sama itu. Aku nggak maksa kalian harus jadi penulis seperti Ibuku atau wajib nulis-nulis novel seperti aku. Tapi sekali lagi, keterampilan menulis tetap harus kalian asah dan latih. Nanti kalian akan rasakan manfaatnya,” pungkasnya sebelum menutup kalimatnya dengan salam
Cinderamata dari Pengurus OSIS SMPIT TBZ Jatimulya (dokpri) |
Keren, Mira! Anaknya cerdas dan ceplas-ceplos, ya. :D
BalasHapusMakasih, Tante Haya. Iya, ngomongnya begitu aja. Pede banget. Hahaha ....
HapusGa jaim dan ga dibuat-buat gitu, maksudnya. :)
BalasHapusIya, Hay. Aku yg deg-degan di awal-awalnya. Eh, ternyata malah susah di-stop-nya. Harus dikasi kode kalau jatahnya waktunya sdh hampir lewat. ^_^
HapusKeren mak...inspiratif...sukses slalu buat ibu n putrinya :)
BalasHapusMakasih, Mak Nani. Aamiin. :)
Hapusiya gak mudah sih...
BalasHapusMudah kalau bayangin royaltinya, kata anakku. :)
HapusSubhanallah...keren mak, salam kenal. Semoga saya bisa mengikuti jejakmu ya. Bisa menulis, semangat dan memotivasi anakku juga. Jadi apapun itu, jangan lupakan menulis...keren itu.
BalasHapusSalam kenal kembali, Mak. Buat anaknya juga ya, salam kenal dari kami. :)
HapusMak, pernah ngga sih share ttg caranya mak ngasah kemampuan nulisnya Mira? Kalau belum, aku mau dikasih tau caranya...
BalasHapusBelum pernah sharing tentang itu sih di blog. Next time ya, Mak. :)
Hapusselain fee dan royaltinya, 1 lagi yang bikin jadi mudah adalah deadliiineee, wihihi. bener gak maak? :D
BalasHapusThe power of kefefet itu namanya, Maaak. Hahahaha
HapusSubhannallah, speechless bacanya, Mira adalah sosok remaja inspiratif :)
BalasHapusAamiin, semoga tetap lurus langkah dan imajinasinya ya, Mbak. Mohon bantu doanya ya. :)
HapusDulu ketika aku remaja yang memotivasi diriku menulis adalah dapat uang saku buat beli baju, hehe...
BalasHapusHahaha, aku juga gitu ...selain pengin tenar juga sih. Narsisku itu bawaan ternyata ya. Wkwkwkwk
HapusBila nulis di blog juga bisa dapet royalty ko Mba, asal jadi publisher adenses yang punya blog. he,, he, he,,
BalasHapusIya, bisa bisa :)
HapusMira keren nih jadi pembicara. Belum ngeblog ya mbak Mira?
BalasHapusSudah, Lidya. Ada blognya juga dia. :)
Hapussebenarnya, jadi penulis itu mudah mbak
BalasHapusyang sulit itu mempertahankan dirinya sebagai penulis...
butuh kesabaran untuk bisa konsistensi :)
Hahaha, ini kan judule versi Yasmin Amira. ^_^
HapusKeren, ibu dan anak kompak.
BalasHapusTks, Mas.
HapusKak Mira dan maknya kereen...semoga Nail bisa nulis buku seperti kak mira, juga bisa pede ngomong di depan umum kayak kak mira :*
BalasHapusMakasih, Dew. Aamiin, ikut bantu doa buat Nail. :)
HapusSalam kenal bu guru, wah boleh juga tuh bakatnya Mira, semoga dia menjadi penulis profesional ketika dewasa nanti
BalasHapusSalam kenal kembali. Aamiin, makasih ya. :)
Hapusmira kerenn berani dan percaya diri yaa :)
BalasHapusMakasih, Nabil. :)
Hapuswah, ibu dan anak yg hebat. terus sukses ya :)
BalasHapusAamiin, makasih ya. :)
Hapusmemang bener mak, menjadi penulit gk segampang yang orang kira..tp keren banget mak sama anaknya..kompak banget :)
BalasHapusIya, butuh latihan dan konsisten
Hapus