Bapak Bambang Kristiono (dari KPPPA) membuka sesi berikutnya (dokpri) |
Di bagian pertama dari judul “Perempuan
dan Teknologi Informasi”, saya sudah membagi isi materi dari dua orang narasumber.
Yang pertama Adiatmo Rahardi (Founder of
the Largest Indonesia Robot Maker Community) dan Amalia E. Maulana, Ph.D., Brand Consultant dan Ethnographer
(ETNOMARK Consulting).
Inilah lanjutan catatan materi dari dua narasumber
berikutnya.
Kebutuhan
Konten Informasi bagi Perempuan
Narasumber berikutnya adalah Julie
Rostina, SKM, MKM (Dosen UIN Syarif Hidayatullah) dari Forum Peduli Anak
Indonesia (FPAI). Beliau membahas tema tentang “Kebutuhan Konten Informasi bagi
Perempuan”.
Ibu Julie Rostinasaat memaparkan materinya (dokpri) |
“Tahun
2012, kami pernah diminta oleh KPPPA untuk melakukan studi di 3 provinsi. DKI Jakarta,
Jawa Tengah dan Jawa Barat,” ujarnya mengawali pemaparan materi berdasarkann
pengalaman tersebut.
Julie Rostina mengatakan bahwa dari
kajian yang mereka lakukan, ternyata di tiga wilayah kajian mereka, sebagian
kaum perempuannya belum memahami apa itu “Teknologi Informasi”. Ini yang
membuat mereka tertinggal, baik di pengetahuan tentang menangani masalah rumah
tangga, kesehatan reproduksi, cara pengasuhan anak, serta informasi cara
menyalurkan, mengembangkan bakat dan kemampuan mereka. Menurut catatan beliau,
berdasarkan data UNESCO di tahun 2007, di negara-negara Asia Pasifik (termasuk
Indonesia), selama 25 tahun terakhir, perempuan tertinggal tentang IPTEK
dibandingkan laki-laki.
“Karena
kurangnya informasi tentang pengetahuan, pendidikan di rumah secara tidak
sengaja sudah mendikotomi anak perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, anak
perempuan yang bermain mobil akan dianggap mirip anak laki-laki, sebaliknya,
anak lak-laki yang bermain boneka akan dianggap seperti anak peremupan. Padahal
kedua benda itu tidak memiliki kelamin. Jadi, secara tidak langsung kita sering
melakukan dikotomi ini dan berefek pada pendekatan IPTEK. Yang berbau IPTEK
berarti dekat dengan anak laki-laki,” ujar Julie memberikan contoh kesalahan
pemahaman dalam pendampingan tumbuh kembang anak.
Dari pemaparan yang disampaikan,
saya mencoba merangkum beberapa poin penting. Salah satunya tentang dikotomi
peran antara perempuan dan laki-laki. Dikotomi ini menjadi penyebab kesenjangan
dalam mengakses informasi untuk memahami dan menyerap manfaat dan keuntungan
dari teknologi. Di bagian terpenting inilah perempuan yang sudah melek
teknologi mengambil peran agar bisa membuka peluang untuk menjadi jembatan
penerus informasi tersebut bagi kaum perempuan yang masih tertinggal. Bagaimana
informasi bisa dijadikan sebagai alat bantu yang efektif, agar perempuan bisa
mengakses dan mendapat peluang demi meningkatkan kualitas dirinya? Melalui kajian
ini, diharapkan tidak akan terputus pada satu diskusi saja.
“Saat ini, teknologi tidak hanya
menyentuh kalangan atas, namun juga kalangan bawah. Adapun yang
melatarbelakanginya adalah beberapa kebutuhan yang meliputi kebutuhan fisik,
kemanan, harga diri, dan aktualisasi diri,” tambah Julie Rostina lagi
memberikan latar belakang tentang kebutuhan konten informasi bagi kaum
perempuan.
Menurut Julie (dan saya yakin kita
sebagai perempuan juga menyetujuinya), bahwa perempuan memiliki multi peran
(sebagai istri, ibu, manajer keuangan, guru, chef, psikolog, dokter, dsb). Inilah yang mendorong kaum perempuan
harus melek IPTEK. Dan, berdasarkan multi peran kaum perempuan ini pula KPPPA
melakukan kajian secara terus-menerus dengan tujuan untuk membantu meningkatkan
statusnya.
Kendala
seputar kondisi geografis, status sosial, dan taraf ekonomi, memang sangat
berpengaruh pada tingkat kemampuan kaum perempuan untuk mengakses Teknologi
Informasi. Inilah yang menjadi tugas kita sebagai perempuan (yang notabene
lebih memiliki peluang lebih untuk memperoleh pengetahuan tersebut). Setidaknya,
kita bisa membantu menyebarkan pengetahuan yang terkait dengan Teknologi
Informasi kepada para perempuan yang membutuhkannya. Penyebaran itu tidak
terbatas pada konten infromasi saja, namun lebih lanjut bisa melalui tindakan
nyata seperti pendampingan hingga mereka bisa dilepas untuk melakukannya kelak
secara mandiri.
Perempuan
Harus Tanggap Teknologi
Kebersamaan kami di forum diskusi
ini akhirnya diakhiri oleh pemaparan materi yang singkat, padat, namun menjadi
semacam rangkuman dari keseluruhan tujuan pertemuan di dua hari itu. Martha
Simanjuntak (Founder dan mantan Ketua
Umum Indonesian Woman Information
Technology Awareness – IWITA). IWITA yang didirikan pada tanggal 9 April
2009, berkedudukan di Jakarta, memiliki daerah operasional di seluruh
Indonesia, adalah organisasi perempuan Indonesia yang tanggap terhadap
Teknologi Informasi.
Bu Martha dan slide awal materinya (dokpri) |
Perempuan cantik dan energik ini, mengajak perserta untuk berdiskusi dengan gaya pemaparannya yang renyah, lincah, dan kocak. Saya merasakan suasana semakin mencair begitu saja saat menyimak materi dari beliau. Beberapa hal yang sempat terekam oleh saya saat Martha menjelaskan tentang pentingnya Career Capital (semacam nilai kompetensi yang meliputi pengetahuan dan kepribadian seseorang dalam menghasilkan nilai ekonomi), khususnya bagi kaum perempuan.
(dokpri) |
-
96% wanita Indonesia berpendapat bahwa career capital merupakan faktor penting
untuk meraih kesuksesan.
“Jangan rendah diri jika Ibu hanya seorang
ibu rumah tangga sebagai penggiat sosial dan blogger. Blogger itu karir,
penggiat sosial itu karir,” tegas Martha meyakinkan. Martha juga memberi
dukungan semangat dengan mengatakan bahwa perempuan penggiat sosial dan blogger
dengan ragam keterampilan yang dimiliki, harus optimis untuk menghadapi masa
depan dengan memanfaatkan teknologi (internet) demi meraih produktivitasnya.
-
62% wanita Indonesia menganggap bahwa etos
keja dan efisiensi yang tinggi sebagai kontributor paling menentukan dalam
kesuksesan pekerjaan dan kerja team.
“Temuan ini tidak terbatas pada kerja
kantoran saja, tapi di ragam aktivitas perempuan,” ujarnya memberi penjelasan
tambahan.
-
86% wanita Indonesia percaya bahwa
memperluas jaringan pribadi dan keprofesionalan, dapat meningkatkan career capital.
“Sebagai contoh untuk temuan ini, blogger
perempuan pencinta kuliner. Tentunya dia akan mencari network seperti tempat-tempat makan (restoran) yang sesuai dengan
kebutuhan networkingnya,” jelas
Martha memberi contoh.
Intinya, menurut Martha, segala aktivitas
yang ingin kita lakukan, semua sudah tersedia informasinya di internet.
Selanjutnya, Martha mengatakan bahwa
fakta penting yang ditemukan; terdapat 42% wanita Indonesia lebih memilih
bekerja di luar rumah, 50% beranggapan bahwa pengalaman lebih penting dari pada
pendidikan. Sementara wanita karir di Indonesia, lebih berani dan percaya diri
mengajukan promosi dibanding para wanita di Singapura dan Malaysia. Apa yang
menyebabkannya? “Ini semua tidak lepas dari peran Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Kuncinya, perempuan-perempuan Indonesia harus berani menghadapi
tantangan, persaingan, dan rasa takut. Rasa takut mampu menguras kemampuan
hingga 50%, dan sebaliknya jika mampu menaklukkan rasa takut maka kemampuan
akan meningkat hingga 150%,” pungkasnya.
Sesi
Berbagi sebagai Pelengkap Diskusi
Di sesi akhir sebelum mengakhiri
materinya, Martha menampilkan dua karakter manusia dalam menghadapi persoalan
hidup di layar infokus. Di sana tertera dua bait kata-kata yang menggambarkan
dua tipe karakter manusia. Pertama, menggambarkan tipe karakter gampang
menyerah dan pasrah. Kedua, menggambarkan tipe karakter yang kuat, tahan
terpaan badai kehidupan, dan optimis.
Ketika Martha menawarkan kesempatan untuk
berbagi, saya memberanikan diri tampil. Di kesempatan itulah untuk pertama kali
saya berbagi cerita tentang kilas balik kisah hidup saya serta proses
pembentukan kepercayaan diri hingga bisa sampai seperti sekarang ini. Semoga
pengalaman yang telah saya bagi mampu memberi inspirasi bagi semua peserta
diksusi di ruangan itu.
Kesimpulan
Dari dua bagian catatan yang telah
saya bagi, intinya adalah mari bersama-sama kita raih kondisi dimana kaum
perempuan Indonesia selalu tanggap terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi. Melalui
kesadaran (awareness), pembelajaran (learning), penerapan dalam kehidupan
pribadi dan masyarakat (implementation),
serta mampu mensosialisasikannya (sosialization),
kaum perempuan mampu berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi
Indonesia. Tidak hanya itu, kaum perempuan (para Ibu), mampu menciptakan
generasi muda yang andal, kreatif, dan berprestasi. [Wylvera W.]
Ahh seru ya acaranya.
BalasHapusSayang aku gak bs ikut :(
Iya, banyak masukan baru yang didapat, Mak. :)
Hapus