Penampakan artikel saya di koran Tempo (dokpri) |
Saya
tidak pernah membayangkan kalau suatu hari tulisan saya bisa dimuat di koran
Tempo. Semua berawal dari pesan di inbox
facebook beberapa waktu lalu. Pesan itu disampaikan oleh Mbak Elin Driana,
istri dari Bapak Putut Widjanarko (Produser Mizan Production). Isinya meminta
saya menggantikannya mengisi di Rubrik Ramadan koran Tempo. Menurut beliau,
sayalah yang lebih pas untuk menulis di kolom tersebut. Tentu saja, tawaran ini
saya sambut baik.
Pesan dari Mbak Elin (dokpri) |
Akhirnya,
selang beberapa hari, saya pun dihubungi Mbak Rachma dari Tempo via hape.
Setelah berkenalan, inti pesannya sama. Beliau meminta saya mengisi Kolom
Ramadan sesuai dengan pengalaman saya. Namun, beliau tidak menjamin sepenuhnya
kalau artikel yang saya buat nanti akan lolos dan dimuat. Menulis untuk koran
Tempo adalah pengalaman pertama buat saya. Saya harus berusaha membuatnya
sebaik mungkin. Masalah nanti bisa dimuat atau tidak, saya serahkan pada
redaktur koran tersebut.
Alhamdulillah, ternyata artikel saya diterima dengan baik. Inilah hasilnya ....
Penjara, Penyesalan, dan Harapan
Dulu,
ketika masih anak-anak, kata penjara adalah momok yang sangat menakutkan buat
saya. Saya menganggap tempat itu adalah “sarang” bagi orang-orang yang telah
melakukan kejahatan besar tak terampuni. Menyeramkan!
Setelah 35 tahun, ketakutan itu seolah menguap. Semua
bermula dari kedatangan saya di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Keterlibatan
saya di sana berawal dari sebuah obrolan ringan dengan seorang teman. Beliau
bercerita tentang kegiatan yang dilakukan oleh sebuah komunitas bernama “Gerakan
Peduli Remaja” di lembaga pemasyarakatan itu. Saya pun dikenalkan kepada Suci
Susanti yang menjadi ketua komunitas tersebut.
Saya
yang berprofesi sebagai penulis, awalnya diajak untuk mengisi pertemuan dengan
memberikan pelatihan menulis kepada anak-anak lapas. Seiring berjalannya waktu,
tidak hanya memberi pelatihan menulis, akhirnya saya pun semakin cinta dan melebur
bersama kegiatan GPR di lapas anak itu. Tidak ada lagi rasa takut saat
berkunjung ke penjara itu. Sebaliknya, saya justru sering merasa rindu jika berlama-lama
tidak kembali.
Di
setiap kunjungan ke lapas, kami selalu bertemu dan duduk bersama di sebuah
musholla bernama Baitur Rohman. Di musholla itulah anak-anak penjara melakukan beragam
kegiatan. Mulai dari berlatih menulis cerita pendek, belajar membaca Al Qur’an,
menghafal surat-surat pendek, konseling secara personal, hingga kegiatan
pesantren kilat di bulan Ramadan.
Dari
beberapa kali perjumpaan dan berdialog dengan mereka, mampu menciptakan rasa
kedekatan di hati saya. Rasa itu kian mengusik untuk menguak sisi gelap yang
melatarbelakangi mereka melakukan kesalahan, sehingga membuatnya terjerat di
balik jeruji besi itu. Selalu ada alasan di balik semua yang telah terlanjur
mereka lakukan. Di sanalah tugas GPR meluruskannya.
Di
beberapa kali pertemuan, mata saya tak bosan-bosan menatap sekitar 200 wajah-wajah
penuh penyesalan. Mereka adalah anak-anak berusia rata-rata di bawah 18 tahun.
Hukum telah menjerat mereka atas beragam kasus. Di antaranya; pembunuhan,
perbuatan asusila, narkoba, dan pencurian. Kebanyakan dari mereka berasal dari
keluarga yang tidak mampu secara ekonomi.
Di
saat berdialog, saya kerap menatap mata mereka. Seperti tidak ada tanda-tanda
atau bekas kejahatan yang tergambar di sana. Alih-alih tegar, mata saya
seringkali nyaris berkaca-kaca.
“Ibu
saya tukang cuci. Saya anak nomor 3 dari 7 bersaudara. Cari makan susah, Bunda.
Keras!” begitu keluhan salah satu mereka yang pernah saya dengar.
“Saya
cuma curi besi. Dijual bisa buat makan,” imbuh yang lainnya memberi alasan atas
kesalahan yang telah dilakukannya.
“Pusing,
stres, Bunda. Kalau makai stresnya hilang,” ujar salah satu yang terlibat kasus
narkoba.
Ini
kenyataan. Anak-anak itu terjebak pada kejahatan yang terkadang tak mereka
sadari. Mereka begitu saja melakukan kejahatan yang semestinya tak mereka
lakukan. Bisa jadi, peran dan perhatian orangtua tak pernah mereka dapatkan.
Ditambah faktor lingkungan dan pergaulan yang semakin memicu ke arah yang salah.
Kondisi inilah yang menjadi dasar bagi Gerakan Peduli Remaja untuk tetap hadir
di lapas tersebut secara berkala.
Telah
banyak cerita yang saya dengar dari mereka. Semua mengerucut pada ungkapan rasa
penyesalan. Namun, di balik rasa sesal itu sesekali muncul ungkapan
ketidakpercayaan diri yang kuat. Mereka seolah tidak siap menghadapi dunia di
luar penjara saat bebas nanti. Ada rasa takut akan kembali terlibat kasus yang
sama lalu balik ke penjara. Dilema.
Demi
menguatkan keyakinan bahwa selalu ada tempat untuk orang-orang yang bertaubat,
teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja pun selalu melakukan konseling untuk
pemulihan mental mereka. Misi inilah yang membuat kehadiran saya di lapas anak
itu akhirnya bergeser. Dari berbagi pengetahuan dasar tentang menulis cerita,
akhirnya saya terlibat untuk memberikan motivasi juga bersama teman-teman GPR.
Di
setiap Ramadan (sejak 2012), teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja berusaha
menggelar kegiatan pesantren kilat untuk anak-anak lapas. Tidak terkecuali pada
Ramadan 1436 H ini.
“Kita
ingin anak-anak lapas ini juga ikut merasakan momentum Ramadan. Lewat
ceramah-ceramah Islami, diharapkan mampu menggerus hal-hal negatif yang sudah
tertanam di diri mereka selama ini,” ujar Suci Susanti memberikan latar
belakang dari semua upaya yang dilakukan, termasuk pesantren kilat.
Semoga
momen Ramadan kali ini mampu membawa hati mereka untuk benar-benar menyadari
kesalahan dan dosa-dosanya. Bertaubat dan kembali ke jalan yang benar adalah
harapan yang selalu tersimpan di hati anak-anak lapas itu. Semoga Tuhan mendengar
dan menerima taubat mereka. [Wylvera W.]
____
Tak lupa saya ucapkan terima kasih juga kepada Mbak Suci Susanti (Ketua Gerakan Peduli Remaja). Mengenalnya membuat saya kian hari kian dekat dengan anak-anak lapas itu. []
Wuiiih, selamat mbak untuk tulisannya yang dimuat di tempo, semoga semakin rajin menulis lagi ^^
BalasHapusAlhamdulillah, iya Insya Allah akan terus menulis sampai jari-jari ini tak bisa digerakkan lagi, Mak. Halaaah .... :)
HapusKeren...tulisannya mmg inspiratif bgt mbak :)
BalasHapusAlhamdulillah, makasih ya, Mbak. :)
Hapussaya selalu salut pada komunitas2 yg peduli pada hal2 sprti ini, Selamat ya mba, tulisannya dimuat di koran Tempo :)
BalasHapusIya, makanya aku akhirnya bergabung dengan mereka, Mbak. Makasih ya sudah mampir. :)
HapusMenulis dengan efek menggerakkan hati ngga mudah ya, mba ? Saya masih harus banyak belajar untuk sampai bisa di level itu. BTW, selamat atas artikelnya yang dimuat di korang Tempo.
BalasHapusBetul, dan aku pun masih terus berproses kok, Mbak. Makasih ya sudah mampir lagi ke sini. :)
Hapuswah mantep tuh mbak
BalasHapussusah banget nembus sekelas tempo dan kompas :)
#pengen
Ayo, Mas dicoba dulu. Aku pun baru pertama ini kok. :)
HapusTulisan2 Mba Wiek emang top markotop, ga heran bisa tembus di Tempo. Selamat ya, Mba Wiek! Sukses selalu. :)
BalasHapusAiiih, tersanjung aku ini. *usap-usap pipi yang memerah*
HapusBtw, makasih ya, Mak Al. Sukses juga untukmu. ;)
Selamat ya mbak Wiwiek, memang tidak salah penawaran yang diberikan sama mbak wiwiek
BalasHapusMakasih, Lidya. Masih belajar terus ini. ^_^
Hapus