Para
ulama Islam sepakat untuk menetapkan bahwa birrul
walidain (berbuat baik kepada orangtua) hukumnya adalah wajib, kecuali
terhadap perkara yang haram. Bahkan kewajiban ini menduduki posisi kedua
setelah beribadah dan taat kepada Allah Swt. Ketetapan itu didasarkan pada
beberapa firman Allah Swt. dalam Al Qur’an berikut ini;
وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ
بِهِۦ شَيۡـًٔ۬اۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun juga dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua
Ibu Bapak”. (QS. An Nisa’ ayat 36).
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ
بِوَٲلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُ ۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ۬ وَفِصَـٰلُهُ ۥ فِى
عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡڪُرۡ لِى وَلِوَٲلِدَيۡكَ إِلَىَّ ٱلۡمَصِيرُ
“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaf ayat 15)
Berangkat
dari “Birrul Walidain” ini, kami dari Gerakan Peduli Remaja (GPR) ingin sekali
mengajak anak-anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang bisa
memahami dan mengamalkannya. Inilah tema yang kami bawa sebagai pengisi
kunjungan rutin ke sana di hari Selasa, 3 November 2015 kemarin.
Memanfaatkan Waktu Sejam
Kami
berangkat sekitar jam delapan lewat beberapa menit dari Pondok Kelapa. Hari itu
agak berbeda dari Selasa lainnya. Suci (Ketua GPR) tidak bisa hadir ke LPKA
karena harus memenuhi jadwal lain. Maka yang bertugas menjadi pembimbing di
LPKA adalah saya, Lisya, Ningsih, Ratna, Sarah, dan Kiky.
Perjalanan
menuju LPKA hari itu bertambah ramai dengan ikut sertanya Mira Sahid (Founder
Komunitas Emak Blogger/KEB). Beliau ingin sekali melihat kondisi anak-anak
binaan di lapas Tangerang itu. Jadilah beliau meluangkan waktunya untuk
bergabung bersama kami.
Singkat
cerita, setelah menembus kemacetan tol, kami pun tiba di LPKA kurang dari jam
sebelas. Setelah mengisi buku tamu, seperti biasa kami langsung menuju masjid
lapas. Ternyata anak-anak sedang mengikuti lomba Muharram-an. Kami diminta menunggu
sekitar 10 menit untuk memulai sesi bimbingan.
Saya membuka pertemuan sambil menunggu anak-anak lainnya kumpul |
Tepat
jam sebelas, anak-anak pun kembali berkumpul di masjid. Waktu kami tak sampai sejam untuk menemani anak-anak itu. Sangat mepet ke waktu Zuhur. Demi memanfaatkan waktu
yang sangat pendek itu, saya langsung membuka pertemuan. Karena tidak melihat
kehadiran Bunda Suci (begitu mereka biasanya memanggil Ketua GPR), tentu saja
pertanyaan pertama yang mereka lontarkan adalah, “Bunda Suci, mana Bunda?” Saya
tersenyum mendengar pertanyaan yang menyiratkan rasa kerinduan itu. Saya
langsung menyampaikan salam dari Suci dan mengatakan alasan penting yang membuat
beliau tidak bisa bertemu anak-anak LPKA.
Mata
saya berbinar melihat anak-anak yang hadir di masjid. Lumayan ramai.
Wajah-wajah mereka terlihat begitu antusias untuk mendapatkan ilmu. Langsung
saja kami membagi mereka ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama dibimbing
oleh Ratna. Kelompok kedua didampingi oleh Ningsih. Kelompok ketiga oleh Lisya
dan saya. Lalu kelompok empat, dipandu oleh Kiki yang belakangan nyusul hadir
ke LPKA. Ada Bu Nela juga yang hadir untuk kedua kalinya ke LPKA. Beliau ikut
mendampingi Kiki menyampaikan bagian dari materi tentang birrul walidain.
Birrul Walidain
Tema
yang akan kami sampaikan hari itu seragam, yaitu tentang makna dan amalan birrul walidain (berbuat baik kepada
orangtua). Tausiah pun dimulai. Masing-masing kami membahas tentang kewajiban
berbuat baik kepada orangtua. Di kelompok anak-anak yang kami dampingi, Lisya
mengawali dengan memberikan penjelasan tentang apa itu birrul walidain. Lisya juga menjelaskan tentang kebaikan-kebaikan
apa yang wajib dipersembahkan oleh anak kepada kedua orangtua mereka. Yang
paling utama adalah mendoakan mereka. Kemudian menghormati dan menyayangi
orangtua tanpa kecuali.
Lisya mengawali penjelasan tentang amalan birrul walidain |
Saat
Lisya memberi penjelasan, saya tak bisa lepas memerhatikan ekspresi dan sorot
mata anak-anak binaan itu. Tentu tidak semua dari mereka khusyuk menyimak.
Namun, beberapa dari mereka saya lihat tekun mendengarkan. Luar biasa! Kajian
tentang keutamaan berbuat baik kepada kedua orangtua ini ternyata mampu
menyentuh kepekaan mereka.
Anak-anak menyimak tausiah dari Ratna |
Mereka
yang hidup dalam keterbatasan perhatian dan kasih sayang orangtua, tentu saja
rindu akan bahasan seputar materi ini. Ketika saya memberikan contoh, salah
satu dari mereka berkomentar, “Bagaimana kalau orangtuanya sudah tidak ada,
Bunda?” “Bagaimana caranya berbuat baik? Bapak Ibu saya sudah meninggal.”
Mendengar
komentar dan pertanyaan itu, saya hening sejenak. Bukan tak paham ingin
menjawab apa, tapi tercekat dengan pengakuan yang polos dari anak itu. Wajahnya
seolah takut kalau kesempatan mendapatkan pengampunan dari Allah Swt. tak ada
lagi, karena orangtuanya sudah tak ada. Dia seolah merasa tak ada lagi
kesempatan untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.
Akhirnya saya
menjawab. “Tetaplah mendoakan mereka. Walaupun mereka sudah tidak ada.
Mendoakan kebaikan untuk mereka kan juga bentuk dari kasih sayangmu kepada
orangtua. Allah pasti mendengarnya kalau kamu tulus dan ikhlas,” ujar saya
sambil tetap menatap mata anak itu.
“Saya
nggak pernah dekat sama orangtua saya, Bunda. Mereka nggak ada waktu,” sambung
yang lainnya. Lagi-lagi kerongkongan saya nyaris tercekat.
“Kamu
berapa orang bersaudara?” tanya saya tidak langsung merespon komentarnya yang
sarat dengan kekecewaan itu.
“Lima,
Bunda,” jawabnya datar.
“Baik.
Kamu dan empat saudaramu yang lainnya butuh biaya nggak?” tanya saya lagi. Dia
mengangguk tapi masih bingung.
“Lalu,
pernahkah kamu memikirkan bagaimana orangtuamu berjuang untuk menghidupi kalian
berlima?” lanjut saya.
Kepala anak
itu pelan-pelan mengangguk. Saya yakin dia mulai paham maksud pertanyaan yang
saya ajukan kepadanya. Anak itu sudah lama menjadi binaan di LPKA. Saya juga
mengenalnya bukan sebagai anak yang lambat. Dia salah satu anak yang ikut di
lomba baca Al Qur’an. Saya sempat melihatnya tadi mengantri di kelompok anak
yang mengikuti lomba.
“Mereka butuh
waktu untuk bisa mencari nafkah demi menghidupi kamu dan saudaramu yang
lainnya. Jadi, kalau mereka tak punya waktu untuk setiap saat mendampingi dan
menjagamu, jangan menyalahkan mereka. Justru kamu bantu mendoakan mereka supaya
tetap sehat dan bisa mencari rezeki yang halal buat kalian,” kata saya sangat
hati-hati.
Kelompok anak yang dibimbing Ningsih |
Diam-diam
saya sedikit merasa khawatir dia akan menolak jawaban saya. Karena bisa saja,
dia merasa bahwa bukan saya yang menjalani kepahitan hidup yang dia dan
keluarganya jalani selama ini. Namun, dengan tetap memohon petunjuk dari Allah,
saya tetap menaruh harapan bahwa anak ini mengerti dengan apa yang saya
sampaikan.
Penjelasan
tentang makna dan kewajiban birrul walidain di siang itu menjadi topik yang
sangat mengena dengan anak-anak LPKA. Lisya dan saya saling melengkapi isi
tausiah. Jauh di lubuk hati saya, tentunya saya tetap optimis menyelipkan
harapan agar anak-anak itu paham serta berusaha untuk mengamalkannya. Meskipun
kehidupan yang telah mereka jalani sangatlah getir dan menyulitkan, namun
berbuat baik dan berbakti kepada orangtua harus menjadi hal utama yang mereka
yakini.
“Jika selama
ini kalian tidak sengaja menyalahkan orangtua kalian atas apa yang kalian alami
saat ini, cepat-cepatlah beristighfar dan mohon ampunan Allah. Mohon ampun juga
kepada orangtua kalian. Seburuk apa pun orangtua kita, kita tetap wajib
menghormati dan mendoakan kebaikan untuk mereka,” ujar saya panjang lebar
berusaha memilih kata-kata yang pas dan berharap mereka pahami.
Kelompok anak yang bersama Kiky dan Bu Nela |
Begitulah,
kami sekuat hati dan kemampuan memberikan gambaran kepada anak-anak LPKA
tentang kewajiban berbuat baik dan menyayangi kedua orangtua. Meskipun kami
tahu, bahwa mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang justru terabaikan dari
perhatian orangtuanya. Semua itu terjadi karena faktor kemiskinan dan tuntutan
untuk tetap bisa mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan paling mendasar. Bisa
makan saja sudah syukur.
Dengan segala
tantangan dakwah di sana, kami (GPR) tidak putus asa untuk selalu memberi
keyakinan kepada anak-anak itu, bahwa bagaimana pun cara orangtua mereka
memperlakukannya, mereka tetaplah seorang anak. Dan, seorang anak tetap wajib
menghormati, berbuat baik serta mendoakan kedua orangtua yang baik-baik.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ
إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ
ٱلۡڪِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ۬ وَلَا
تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً۬ ڪَرِيمً۬ا
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat
baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.” (QS. Al Isra’ayat 23). [Wylvera W.]
Inspiratif banget. Jadi terharu & tertegun membaca ini. Nasib mereka mungkin harus begitu, udah ada takdirnya. Tapi saya yakin hidayah akan datang pada mereka jika bimbingan akhlak untuk mereka terus menerus ditempa. Semoga Allah selalu memberikan perlindungan dan cahaya hati untuk anak-anak itu.
BalasHapusAamiin, iya Mbak. Semoga Allah memberikan hidayah itu. Makasih ya, Mbak.
HapusWiek, tulisannya bagus banget. Boleh bunda share?
BalasHapusMakasih, Bunda. Silakan kalau Bunda Yati mau nge-share.
HapusItu mukanya kok pada di sensor ya mbak? Hehehehhe... :)
BalasHapusIya, supaya anak-anak itu nyaman. Ada UU nya juga kan. :)
Hapusmengajak untuk berbuat baik ke orang tua sama saja mengajak ke surga dan ridho Allah : )
BalasHapustulisanya bagus , terimakasih
BalasHapus