Beginilah kondisi lingkungan yang tak jauh dari sekolah Al Falah |
Tidak ada manusia yang ingin dilahirkan menjadi miskin.
Sejatinya, semua pasti menginginkan kehidupan yang cukup dan layak. Namun, kita
tidak bisa menghindar dari ketentuan yang sudah digariskan Allah. Setiap
manusia memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan anak-anak yang
senantiasa saya temui di PKBM Al Falah Bantar Gebang.
Hampir semua murid-murid di Al Falah itu lahir dan tumbuh
di lingkungan yang mungkin bagi kita sangat tidak nyaman. Mereka hidup dari
hasil memulung sampah yang menjadi mata pencaharian orangtuanya. Bahkan mereka
pun ikut membantu orangtuanya mencari nafkah dari sampah-sampah itu.
Memilih untuk bersekolah
Awalnya sekolah adalah bentuk pengekangan bagi mereka. Lewat
sebuah proses yang cukup panjang, akhirnya mereka menyadari bahwa sekolah
adalah kebutuhan dasar selain memulung. Dari kesadaran itulah mereka
memilih untuk menggali dan menimba ilmu di sekolah PKBM Al Falah Bantar Gebang.
Dulu sekolah itu masih seperti ini (foto: Al Falah) |
Sekolah itu dirintis dan dibangun di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah Bantar Gebang hingga menjadi seperti sekarang ini. Aroma busuk yang dibawa angin
sepoi-sepoi selalu menjadi warna dari sekolah itu. Di sanalah mereka berkumpul,
belajar, bereksperimen, menggali potensi kreatif, berkarya, serta menimba ilmu
agama sebagai kompas hidup mereka menuju jannah-Nya.
Berkat perjuangan keras pendirinya akhirnya berproses seperti ini (foto: Al Falah) |
Al Falah saat ini, namun aroma sampah tetap jadi sahabat mereka (dokpri) |
Saya hanya bagian terkecil dari sekolah itu. Atau bahkan
bukan siapa-siapa. Keterlibatan saya di sana pun tidak bermula dari saat
sekolah itu masih berdinding tepas dan sisa-sisa tripleks bekas. Saya datang
dan mengenal sekolah itu setelah menjadi bangunan yang permanen seperti
sekarang ini. Namun, sekecil apa pun yang bisa saya lakukan untuk sebagian
kecil murid di sana, saya berharap Allah meridhoinya.
Kelas Ektrakurikuler Menulis yang Sederhana
Sejak pertama kali
mengenal pendiri PKBM Al Falah Bantar Gebang, pikiran saya langsung tertuju
pada dua kata, yaitu “Kelas Menulis”. Alhamdulillah, ternyata Allah terus
meluaskan jalan menuju kedua kata itu. Hingga saat ini, saya merasa telah resmi
menjadi guru pembimbing kelas menulis di sana. Bahkan saya nekat mengukuhkan
sendiri bahwa kehadiran saya di setiap hari Jum’at di sana adalah untuk mengisi
“Kelas Ekstrakurikuler Menulis”.
Suasana di kelas Ekskul Menulis (dokpri) |
Tidak mudah menjalani dan
mewujudkan obsesi saya ini. Saya sadar sekali itu. Keterbatasan murid-murid
yang saya bimbing tentu menjadi tantangan. Mereka memulai masa pendidikannya
dengan proses panjang dan tidak seperti murid-murid di sekolah reguler lainnya.
Untuk bisa membaca dan menulis dengan lancar pun mereka butuh proses serta perjuangan yang panjang dan lumayan berat. Tiba-tiba saya hadir menyuguhkan hal
baru kepada mereka. Kagok, bingung, bengong, susah nyambung, dan ekspresi lainnya
yang masih terlihat di sikap mereka, sangat saya rasakan.
Lihatlah betapa antusiasnya mereka walau hanya menulis di buku tulis (dokpri) |
Saya belum menyerah, dan
semoga tidak mudah kalah pada kondisi itu. Tekat saya yang ingin membuat mereka
bisa menulis cerita pendek masih menggebu-gebu hingga hari ini. Insya Allah,
keyakinan saya bahwa mereka bisa mengikuti proses yang saya suguhkan menjadi
modal kuat. Semoga semesta juga mengaminkannya.
“Bagaimana progressnya, Bu?”
Pertanyaan dari Kepala
Sekolah kemarin mengejutkan saya. Walaupun sebenarnya saya tahu bahwa pertanyaan
itu suatu hari akan diajukan. Kalau anak-anak di sekolah berkecukupan mungkin
akan berhasil membuat 1 cerita pendek dalam 4 kali pertemuan. Murid-murid
ekskul menulis bimbingan saya baru mampu membuat cerita satu halaman dengan
alur yang belum bisa disebut bagus. Namun, dari judul dan ide yang belum mampu
terurai dengan baik itu, saya berani menyimpulkan bahwa mereka mulai memahami
materi yang saya sampaikan.
Menulis dari apa yang pernah dirasakan
Saya sudah memberikan
materi dasar tentang menulis di empat kali pertemuan kelas ekskul menulis itu.
Setiap hari, saya selalu mencoba mengaplikasikannya dalam bentuk praktik. Mulai
dari memilih ide dan meminta mereka menguraikannya secara singkat dalam satu
paragraf, memilih dan mencoba menentukan karakter tokoh dari beberapa gambar
yang saya sajikan, serta membuat cerita singkat tentang tokoh, karakter yang
sudah mereka pilih dan tentukan. Walau belum menjadi cerita utuh, semua berjalan dengan baik. Hanya satu dua
orang yang masih bingung dan belum menyelesaikan tugasnya dengan tuntas.
Untung ada tempat buat duduk ya ^_^ (dokpri) |
Di pertemuan ke-4, Jum’at
(5 Februari 2016) kemarin, saya mencoba mengajak mereka keluar kelas. Saya
memilih sebuah tempat yang bisa membuat mereka lebih mudah menemukan ide untuk
dituangkan dalam ceritanya kelak. Menulis dari apa yang pernah dirasakan dan
dialami tentu akan lebih memudahkan. Itulah ide awal saya mengajak mereka
melakukan pengamatan di sekitar lokasi pembuangan sampah.
Memilih posisi masing-masing |
Sambil memandang lalu menuliskannya |
Tidak sepenuhnya niat saya klop dengan keinginan mereka.
Salah satu dari mereka justru terlihat kesulitan. Sikapnya gelisah. Kalau
teman-temannya sibuk dan semangat mencatat semua yang mereka lihat dan rasakan
di sekitar tempat kami berkumpul, murid saya yang satu itu justru membiarkan halaman
buku tugasnya kosong.
“Kamu kenapa? Kok belum
menulis?” tanya saya pura-pura tidak peka pada sikapnya.
“Saya bingung mau nulis
apaan, Bu,” jawabnya pelan sekali.
“Sini, dekat sama Ibu.
Biar Ibu bantu menunjukkan objek mana saja yang bisa kamu tuliskan di situ,”
bujuk saya mendekatinya.
“Saya sudah sering liat
tempat ini, kan saya tinggal di sini,” balasnya lagi masih bertahan tidak mau
menulis hasil pengamatannya.
“Justru itu, seharusnya
kamu semakin mudah dong menuliskannya. Kok malah bingung?” bujuk saya lagi
mulai berusaha keras menahan haru.
“Bingung aja. Males aja
nulisnya. Kan udah tau,” jawabnya semakin membuat saya tertantang.
Apa ya yang mereka lihat di bawah sana? |
Akhirnya saya duduk di
dekatnya. Saya menunjuk gunungan sampah yang saat itu sedang dikeruk oleh
sebuah mesin besar. Saya pancing dia dengan komentar, “Sampai menggunung
begitu ya sampahnya. Ibu kok pengin ya naik ke gunung sampah itu.”
“Jangan, Bu! Bahaya itu.
Bisa tenggelam Ibu di situ. Ibu ada-ada aja. Seram saya,” selanya tiba-tiba.
“Naaah, itu dia. Sekarang
Ibu tanya deh. Apa yang bisa kamu tulis dari obrolan kita barusan?” tanya saya
kembali memancingnya.
“Oooh, iya ... iya ...
oke, Bu. Saya ngerti. Yaudah, tungguin ya, Bu. Waktunya masih lama, ‘kan?”
balasnya tiba-tiba semangat.
Saya tersenyum. Apa sih
yang membuatnya tiba-tiba bilang ngerti? Silakan pembaca yang menyimpulkannya
ya. *maaf, gak ada hadiahnya sih buat yang bisa menjawab:p*
Senang melihat mereka semangat |
Begitulah, saya bersyukur
karena sejauh ini, dari hari ke hari mereka masih menunjukkan semangatnya. Dan,
saya masih butuh waktu lebih lama agar mereka bisa menghasilkan satu cerita
pendek yang enak dibaca dan layak dibukukan. Saya juga yakin kalau murid-murid
ekskul menulis di Al Falah butuh praktik yang lebih beragam lagi. Semua itu
bertujuan untuk membantu kreativitas dan imajinasi mereka. Semoga saya dan
mereka selalu klik di pertemuan-pertemuan berikutnya. Aamiin. [Wylvera W.]
Senang bisa berkunjung di blog mba wylvera.. banyak sekali hal yang bisa diambil untuk dijadikan pembelajaran, terlebih dengan gaya tulisan yang enak untuk dibaca.. sukses terus ya..
BalasHapusWah, makasih ya. Senang juga sudah dikunjungi ini. :)
HapusSalut buat anak anak, semoga kedepan semakin lebih baik, dan semoga masyarakat sadar akan dampak negatif masalah sampah.
BalasHapusTerma kasih. :)
HapusSemoga adik-adik di sana selalu semangat ya. Mbak Wiek juga sehat dan semangat menemani mereka. Kebayang saat sekolah mencium bau sampah. Tapi salut sama pendiri dan anak-anaknya ;)
BalasHapusAamiin, makasih ya, Mbak. :)
Hapus