Saya saat kelas lima SD |
Dari kemarin saya menimbang-nimbang
untuk memilih postingan keempat untuk One
Day One Post ini. Sebenarnya tidak perlu bingung, sebab terlalu banyak
kenangan masa kecil yang bisa diulas menjadi cerita. Namun, yang ini justru
membuat saya sedikit ragu. Nah, lho?! Ada apa sih?
Masa kecil saya sebenarnya standar
saja. Terlahir dari pasangan yang membawa dua suku berbeda (Minang dan
Mandailing). Humm … lalu, apa hubungannya dengan judul di atas? Siapa itu Mbah
Jumino? Sabaaar … belum sampai pada sosok itu ceritanya. Biar panjang, beri
saya kesempatan untuk membuka kisah tentang masa kecil saya dari arah lain dulu
ya. *disembur air kumur-kumur … iiih, jijaaai * Baiklah … baiklah, fokuuus.
Here
we go ….
Saya lahir dan dibesarkan di kota
Medan. Kota yang kaya akan kelezatan kulinernya. Enggak percaya? Tanyakan saja
kepada mereka yang sudah pernah ke Medan.
Saya
juga punya satu adik laki-laki. Kami hanya dua bersaudara. Terkadang akur,
selebihnya berantam juga. Maklumlah, persaingan menarik perhatian orangtua itu
terkadang dorongannya lebih kuat dibanding hubungan sedarah. Hahaha … kidding!
Kami
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak terlalu pakem pada aturan dan
kedisplinan akan hal-hal tertentu. Seperti makan harus selalu duduk semeja
makan di setiap jam makan (pagi, siang, dan malam), gosok gigi sebelum tidur di
malam hari (hihi, jangan ditiru ya), harus selalu tepat waktu saat bangun pagi
dan tidur di malam hari, dan beragam aturan lainnya. Tidak … tidak seperti itu.
Mama dan Papa tidak melakukannya. Walaupun demikian, Mama saya selalu saklek
untuk mengingatkan sholat, mengaji, membaca bismillah setiap memulai sesuatu, dan
mengucapkan salam setiap keluar dan masuk rumah. Sederhana sekali ‘kan?
Tadinya saya ingin bercerita tentang
saya dan teman-teman masa kecil saya. Tapi, terlalu banyak yang harus saya
ceritakan. Kasihan kalau ada yang tidak ikut ditampilkan di blog saya ini.
Kalau mereka nanti tiba-tiba nemu blog ini, saya khawatir mereka bakal protes.
Saya tidak siap untuk itu. *lebaaay ….*
Ada
Mbah Jumino di Balik Jendela Kamar
Rumah kami dulu
tidak seluas dan semegah rumah-rumah orang kaya pada umumnya. Tidak berpagar
keliling, hanya di bagian depan rumah saja yang diberi pembatas dengan pintu
pagar sederhana bercat putih metalik (keren kan, warna pagarnya pakai cat
metalik … hahaha). Kamarnya ada tiga. Kamar saya, Mama – Papa, dan adik saya.
Semua jendela kamar mengadap ke satu arah. Saya lupa itu arahnya ke mana ya?
Selatan, Timur, atau Barat. Ah, sudahlah, yang penting hadapnya ke sebelah kiri
saya kalau saya berdiri menghadap depan rumah.
Biarpun kamar saya tidak megah,
malah sangat sederhana, tapi saya tidak suka kalau isinya berantakan. Itulah
yang membuat saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kala itu.
Kalau kamar saya belum rapi, rasanya saya tidak akan nyaman meninggalkannya. Saya
tidak akan bisa betah bermain bersama teman-teman saya di luar rumah kalau
kamar saya spreinya belum dirapikan. Rajin ya saya? Iya, begitulah … makanya
jodohnya gampang. *hahaha … siap disihir jadi upik abu*
Kembali ke jendela kamar. Di sanalah
saya menyimpan kenangan tentangnya hingga hari ini. Bisa jadi hanya segelintir
dari keluarga saya yang tinggalnya berdekatan dengan rumah kami, bisa mengingat
sosok wanita itu.
Namanya,
Mbah Jumino. Saya mengenalnya ketika usianya sudah renta. Fisiknya pun tidak
normal. Punggungnya melengkung dimakan usia - atau memang sudah seperti itu
sejak lahir - membuat Mbah Jumino selalu berjalan dengan posisi tubuh
melengkung. Bongkoklah, supaya lebih mudah menerjemahkannya.
Entah jam berapa Mbah Jumino memulai
hari-harinya di bawah pohon kelapa yang berjajar di sebelah rumah saya. Jarak
pohon-pohon kelapa itu sekitar lima belas meter dari tembok rumah kami. Sepagi
apa pun saya membuka jendela (kecuali saat hujan), Mbah Jumino sudah duduk di
sana sambil menyerut daun pelepah kelapa untuk dijadikan sapu lidi. Sayangnya,
saya tidak punya bukti foto sebagai dokumentasi tentang sosoknya. Coba saat itu
saya sudah jadi blogger, momen itu pasti tidak akan saya abaikan begitu saja
tanpa foto-foto wefie yang santek dengannya. *kualat gak ya ngomong
begini….*
Walaupun tidak ada foto tentang
sosok Mbah Jumino, saya berusaha mengisahkannya dengan baik karena saya masih
mengingatnya dengan jelas. Kalau hari mulai terang saat saya membuka jendela,
Mbak Jumino pasti membagi senyumnya untuk saya. Awalnya saya ragu-ragu membalas
senyum tuanya itu. Keberadaannya di sana saja sering meninggalkan tanda tanya
besar di kepala saya. Seiring berjalannya waktu, cara kami bersua menjadi
kebiasaan. Saya pun tidak ragu lagi membalas senyumnya.
Tak
kenal maka bingung
Suatu hari, saya begitu penasaran
ingin sekali menghampirinya. Duduk berdua di atas tikar persegi empat mungil yang
mulai usang mengikuti usia Mbah Jumino. Saya nekat melompati jendela kamar dan
menginjak lahan kosong penuh tanaman liar dan beberapa pohon pisang di samping
rumah saya. Sementara posisi pohon-pohon kelapa ada di bagian bedeng besar dan keras
antara lahan itu, sehingga saat saya membuka jendela kamar, sosok Mbah Jumino
bisa langsung terlihat.
“Sudah jadi lidi ya, Mbah?” begitu
saya memulai obrolan yang kembali dibalas dengan senyuman oleh Mbak Jumino.
Mbah Jumino menepuk-nepukkan telapak
tangannya di atas tikar tanpa bicara. Saya pikir itu adalah isyarat agar saya
duduk. Saya pun duduk di depannya sambil ikut-ikutan memilih pelepah kelapa
yang akan diserutnya. Logika anak-anak saya waktu itu sibuk bertanya. Fisik
Mbah Jumino yang seperti itu rasanya tidak mungkin mengambil pelepah-pelepah
kelapa sendirian. Saya pun menanyakannya.
“Cucu lanangku,” jawabnya singkat
dengan suara serak parau hampir tidak terdengar.
Saya baru ingat kalau cucu yang
disebut si Mbah adalah Bang Jumino. Dari nama itulah orang-orang memanggilnya
Mbah Jumino yang artinya Nenek si Jumino. Herannya, saya malah tidak pernah
melihat Bang Jumino di sana membantu Mbahnya menurunkan batang-batang pelepah
kelapa itu. Aaah, tidak pentinglah itu untuk diingat-ingat.
Setelah itu, beberapa kali saya
kembali melompati jendela kamar dan menemani Mbah Jumino. Saya jadi tertarik
membantunya menyerut daun-daun kelapa dari batang halusnya. Mbah Jumino
keliatannya senang saya bantu. Kebersamaan kami lebih banyak dihabiskan dengan
saling diam. Sesekali saya bertanya, Mbah Jumino hanya menanggapinya dengan
anggukan dan gelengan kepala.
“Mbah umurnya berapa?”
Itulah pertanyaan yang membuat Mbah
Jumino tiba-tiba ingin berbicara banyak tapi kembali terhenti dan dilanjutkan
dengan gelengan kepala. Hanya kalimat dalam bahasa Jawa yang waktu itu
samasekali tidak saya mengerti artinya. Sejak itu, saya semakin terbiasa dengan
sambutan Mbah Jumino ketika saya membuka jendela kamar.
Sapu
lidi dari Mbah Jumino
Hampir seminggu saya menghabiskan
liburan sekolah di rumah Nenek. Karena hari Senin waktunya untuk kembali ke
sekolah, maka hari Minggu saya kembali ke rumah. Saya sempat terlupa dengan
sosok Mbah Jumino. Senin paginya, ketika saya selesai berdandan dan segera
berangkat ke sekolah, saya buru-buru mematikan lampu kamar dan membuka jendela.
Mata saya langsung mengarah ke tempat Mbah Jumino biasa berkerja. Tak ada dia
di sana.
Karena penasaran, akhirnya saya
tanya ke Mama. Ternyata sudah beberapa hari Mbah Jumino sakit. Namun sebelum
sakit, dia menitipkan sapu lidi ke Mama saya. Sejujurnya, saya ingin sekali
mampir ke rumah Bang Jumino, cucu si Mbah. Namun, saya pasti akan terlambat
masuk sekolah. Saya niatkan sepulang sekolah akan singgah di rumahnya yang
tidak jauh dari rumah saya.
Begitulah, selama di kelas otak saya
tiba-tiba tidak bisa konsentrasi. Rasanya mau cepat-cepat pulang dan melihat
Mbah Jumino. Ketika lonceng sekolah berbunyi, saya seperti ingin terbang saja
dari kelas. Saya buru-buru meninggalkan sekolah. Entah mengapa rasanya saya
ingin sekali melihat wajah Mbah Jumino waktu itu. Walaupun saya tidak mengerti
bahasa Jawa yang sesekali dia ucapkan saat kami berdua di bawah pohon kelapa,
tapi saya merasa dia suka sama saya.
Saya terus melangkah cepat sambil
menyusuri jalanan kampung yang biasa saya lewati sepulang dari sekolah. Tidak
berapa jauh dari rumah Mbah Jumino yang letaknya sedikit masuk ke dalam dari
jalan besar, kaki saya seolah dipaksa berlari. Ramainya orang berlalu-lalang
persis di depan rumah Mbah Jumino membuat nyali saya ciut.
Jangan-jangan
….
Dugaan saya benar. Mbah Jumino baru
saja meninggal. Saya tidak sempat melihatnya untuk yang terakhir kali. Hanya
sapu lidi yang dititipkannya ke Mama menjadi salam perpisahan di antara kami
waktu itu. Setelah itu, tak ada Mbah Jumino lagi yang tersenyum memandang saya
ketika saya membuka jendela kamar. Semoga Mbah Jumino mendapat tempat yang
indah di sisi Allah sampai hari ini dan nanti. Aamiin.
Uniknya,
kenangan ini bisa tersimpan rapi hingga hari ini. Kalaupun ada yang tahu, hanya
Mama yang pernah saya ceritakan. Mungkin karena sosok Mbah Jumino tidak begitu familiar di kampung saya, jadi saya pun
merasa tak perlu menceritakannya ke siapa-siapa waktu itu.
“Maafkan
saya ya, Mbah. Kenangan bersama Mbah yang tidak pernah menjadi topik
pembicaraan hangat di masa anak-anak saya, kini menjadi postingan di blog saya.”
[Wylvera
W.]
Note: Postingan hari keempat untuk One Day One Post Fun Blogging
Wah, Mbah Jumino yang meninggalkan kesan begitu mendalam. Semoga Mbah Jumino mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya
BalasHapusAamiin ....
HapusMakasih ya, Keisya. :)
Mbah Kimono memberi kenangan yang ga mungkin bisa di lupakan ya mba.
BalasHapusIya, Mbak. Tapi namanya bukan Kimono, Mbah Jumino, Mbak. :)
BalasHapusmbah jumino baik... makanya tak terhapus dari kesan yang dirasa mba wiwik.. semoga mbah jumino mendapat tempat terbaik disisinya...aamiin
BalasHapusAamiin Allahuma Aamiin....
HapusMakasih ya, Mbak
Mbah Jumino berkesan bgt ya mbak.
BalasHapusIya, Mbak padahal tidak yang terlalu istimewa
HapusSemoga Mbah Jumino sudah masuk surga ya mbak :)
BalasHapusAamiin Ya Allah. Makasih, Mel
Hapus