Sumber foto dari http://www.nyoozee.com dan diedit oleh Wylvera W. |
MEA tiba-tiba seperti “momok” yang
mengikuti saya sejak semalam (27 Maret 2016). Sampai pagi tadi hingga malam ini
(28 Maret 2016) pun, “momok” itu masih membayang-bayangi saya. Lho, kok bisa?
Bisa saja. Ani Berta yang bikin tiga huruf itu memaksa saya berpikir keras dan
akhirnya paham apa yang harus saya uraikan di postingan ini.
Semua
bermula dari sok nekatnya saya menerima tantangan di Fun Blogging. Tantangannya
adalah membuat satu postingan (One Day One Post) di blog pribadi selama dua minggu
berturut-turut. Lalu, MEA yang merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi
Asean menjadi tema untuk postingan perdana. Maklum saja kalau saya tiba-tiba
seperti dihadapkan pada “momok”. Selama ini saya tidak pernah ambil pusing
ketika banyak kalangan sibuk membicarakan MEA. Sebagai IDA (Ibu Dua Anak), saya
tiba-tiba harus ikut berpikir bagaimana memosisikan diri dengan segala persiapan
menghadapi MEA. Telat ya?
Dari
beberapa artikel yang saya baca, di sana dikatakan bahwa Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) merupakan proyek yang sebenarnya sudah lama disiapkan oleh seluruh
anggota ASEAN. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian
di kawasan ASEAN demi membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat.
Dengan kesepakatan ini maka terbukalah pasar bebas di seluruh kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini sudah terlihat sebelum tahun 2015 dan
semakin nyata setelah diberlakukannya MEA pada akhir tahun 2015 lalu.
Serbuan
unsur-unsur asing semakin gencar ke negeri tercinta ini. Tidak hanya di bidang ketenagakerjaan. Investasi pihak asing, barang-barang impor, dan produk jasa lainnya tak kalah
gencar menyerbu. Terimbaskah saya dengan arus itu? Mungkin selama ini untuk
saya pribadi tidak terlalu terasa imbasnya, itu pula sebabnya mengapa saya tenang-tenang
saja. Tapi apakah seperti itu juga yang
dirasakan oleh kedua anak saya? Ah, ke
mana saja saya selama ini? Sibuk menulis untuk proyek buku, posting artikel di
blog, mengajar, menjadi pendamping konseling, membuat saya terlupa bahwa dampak
MEA perlahan akan menghampiri keluarga saya.
Sebagai
generasi yang hidup di era ini, mau tidak mau, anak-anak saya pasti akan
merasakan dampak tersebut. Lalu, apa peran saya sebagai ibu mereka? Haruskah
saya diam dan membiarkan mereka sibuk berbenah dan mempersiapkan diri sendiri
menghadapi arus gelombang MEA tersebut? Tentu tidak demikian.
Sekali
lagi, tantangan dari Ani Berta untuk membuat persiapan menghadapi MEA ala saya
ini, sungguh membuat saya berpikir keras. Saya yang selama ini sudah merasa
tenang di zona aman sebagai IDA (Ibu Dua Anak), penulis buku cerita anak,
blogger wanna be, dan guru ekskul,
tiba-tiba tersentak dengan kenyataan yang disuguhkan Ani Berta tentang MEA. Persiapan
apa yang bisa saya lakukan?
1. Meningkatkan pengetahuan dan memperluas
wawasan
Sebagai
IDA (Ibu Dua Anak), saya harus terus meningkatkan pengetahuan dan wawasan lewat
bahan bacaan (cetak maupun elektronik), mengikuti perkembangan informasi serta menghadiri
seminar-seminar terkait. Dengan demikian, efeknya tidak hanya untuk saya
pribadi, tapi juga untuk memberikan penjelasan saat kedua anak saya bertanya
dan mengajak diskusi. Selain itu, manfaatnya juga akan terasa saat saya berada
di tengah orang-orang yang berpandangan luas di luar sana.
2.
Melek teknologi
Gagap
teknologi akan membuat orang selalu tertinggal zaman. Saya tidak akan pernah
mendapatkan kesempatan untuk mengerjakan proyek buku misalnya, jika saya tidak
terampil menggunakan alat komunikasi berbasis internet. Sebab hampir semua informasi dan peluang yang saya dapatkan bersumber dari sana.
3.
Kemampuan berbahasa asing
Walaupun
bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional, namun tidak berarti saya menutup
diri untuk mencoba mempelajari bahasa lainnya. Pengalaman saya dari
mengunjungi berbagai kota di luar negeri, saya melihat orang-orang Asia yang terampil
menggunakan minimal tiga bahasa. Kemampuan itu memudahkan mereka berinteraksi dan
memahami satu sama lain tentang banyak hal. Semoga masih ada kesempatan untuk mempelajari bahasa baru.
4.
Meningkatkan kemampuan public speaking
Sebagai
penulis serta guru ekskul jurnalistik dan menulis, ditambah beberapa aktivitas
terkait dengan orang banyak, kemampuan public
speaking menjadi modal buat saya. Dunia kerja yang saya geluti tidak bisa
lepas dari keterampilan tersebut. Keterampilan berbicara ini juga tentunya
berperan besar pada pola pengasuhan terhadap anak-anak saya di rumah.
5.
Open minded
Open minded
(pikiran yang terbuka) akan sangat membantu saya ketika berada di lingkungan
baru. Selama ini, sikap open minded
tanpa saya sadari telah banyak membantu saya dalam dunia kerja. Namun, ke
depannya mungkin harus lebih ditingkatkan lagi agar tidak mudah galau oleh efek
samping dari pengaruh MEA.
6.
Networking
Di
dunia blogger, kata networking (membuat sekelompok kenalan dan rekan melalui komunikasi untuk
saling menguntungkan) sudah tidak asing lagi. Jika tak pandai membangun
jejaring sosial, jangan berharap karir sebagai blogger akan berjaya. Mimpi
untuk bisa memasuki “pasar” tidak mungkin akan terwujud tanpa networking yang baik. Jujur saja, saya
masih jauh tertinggal untuk yang satu ini. Harus diperbaharui lagi.
7.
Lebih mencintai produk dalam negeri
Di
era MEA, tentu kita akan dihadapkan pada bebasnya produk-produk luar negeri yang
merambah ke negeri tercinta ini. Untuk itu, diperlukan rasa kecintaan
lebih besar pada produk dalam negeri. Dengan sikap ini, kita bisa bergandengan
tangan untuk memperkenalkan produk hasil bumi sendiri agar lebih eksis di mata bangsa dan
negara lain.
8.
Rendah hati bukan rendah diri
Sesekali
saya sering berdiskusi tentang anak Indonesia yang menjadi lulusan luar negeri
dengan anak-anak saya. Mengapa kebanyakan dari mereka lebih percaya diri
dibanding teman-temannya yang lulusan dalam negeri? Ini tidak lain dipicu oleh
sikap rendah diri. Padahal tidak seperti itu seharusnya. Bagaimana kita bisa “bersaing”
dengan bangsa-bangsa lain, jika kita tidak memiliki rasa percaya diri ketika
berhadapan dengan para alumni luar negeri? Rendah hati wajib, rendah diri
pantang hukumnya.
Sederhananya,
itulah beberapa hal yang mau tidak mau harus saya benahi demi menghadapai imbas
dari MEA. Intinya, berusaha meningkatkan kualitas diri. Semoga MEA tidak lagi
menjadi “momok” bagi saya, sehingga saya bisa lebih survive menjalani peran sebagai IDA. Terima kasih, Ani Berta. [Wylvera
W.]
Ini mah sesuai tema banget Kakak. Hahaha MEA dan IDA akur deh :))
BalasHapusTips nya aku bookmark ah :D
Wah, makasih, Ani. *senyum-senyum* iya ... iya, silakan dibookmark. ;)
HapusAduh, kaget juga lihat MEA disandingkan dengan IDA. Kalau gitu saya harus ganti judul MEA dan ATA alias Ayah Tiga Anak, dan kalau dibawakan ke dunia maya, maka judulnya berubah lagi MEA dan ABA alias Ayah Banyak Anak.... Hehehe
BalasHapusHahaha ... biar gak terlalu serius, Ayah. Kan temanya aja sudah bikin degdegan, jadi sengaja cari judul nyabtai. :)
HapusSetuju banget nih Mba Wid, IRT jg harus paham dengan MEA, agar lebih paham anak2 dan suami nya 😊😊.
BalasHapusNah, iya karena semua bermula dari rumah ya, Des. :)
HapusAku juga IDA. Tapi ga kenal sama MEA. Untung mampir ke sini. :D
BalasHapusHahaha ... toss!
HapusKalau saya ASA (Ayah Satu Anak)... Kirain IDA setipe dengan MEA ^_^
BalasHapusHihihi ... gotcha!
HapusBerarti saya IDA juga hihihi
BalasHapusIya, kita kembaran ya. Wkwkwkwk
HapusSaya cuma sering dengar aja MEA mak, syukur mampir ksini. Jadi agak2 kebuka lah pikirannya. Thanks infonya mak :D
BalasHapus