Kematian itu sesungguhnya misteri
bagi manusia. Tidak ada seorang pun yang mampu memastikan kapan ia akan mati.
Hanya Allah SWT Yang Maha Tahu. Allah telah menetapkannya dan tercatat di Lauhul
Mahfuz, jauh sebelum manusia diciptakan.
Allah
berfirman yang artinya;
“Tiap-tiap
umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
(QS. Al A’raf: 34)
Setiap
mendengar kabar tentang kematian, ayat ini terbayang-bayang di ingatan saya.
Kali ini, saya benar-benar ingin menuliskannya.
Kabar duka itu
Jum’at
selepas magrib, kepala saya sakit. Namun, saya ingat kalau malam itu adalah
jadwal pengganti liqo’ anak-anak saya (Mira dan Khalid) yang biasanya rutin di
Senin malam. Sambil menunggu Pak Ustad datang, saya merebahkan badan di kamar.
Begitu azan, saya pun sholat Isya. Sakit di kepala belum hilang sempurna.
Tepat
jam delapan, Pak Ustad datang bersama istrinya. Selama liqo’ berlangsung, saya
dan istri Pak Ustad ngobrol di teras lantai atas. Sesekali saya melirik hape.
“Innalillahi wainnailaihi raji’uun,” spontan saya berucap saat itu.
WA dari Mbak Sari (pemilik sekolah Al Falah) |
Saya masih bingung membaca berita
duka dari pemilik sekolah Al Falah Bantar Gebang yang saat ini masih berada di
Paris. Ada keraguan membaca berita itu. Mengapa harus Mbak Sari yang kirim whatsapp ke saya? Mengapa bukan Pak
Khoeruddin, kepala sekolah Al Falah? Bukankah paginya saya masih ngobrol dengan
kepala sekolah saat mengajar ekskul di sekolah itu? Setelah membiarkan isi WA
itu beberapa saat, barulah saya menjawab.
Ternyata benar, bahwa salah satu
dari siswa di sekolah Al Falah - tempat saya biasa mengajar kelas menulis -
telah berpulang. Kematiannya sangat tragis. Wahyudin menghembuskan napas
seketika itu saat tubuh mungilnya dilindas truk sampah. Entah bagaimana rasanya
perasaan saya membaca ulang berita itu. Pak Khoeruddin tidak sempat mengabari saya
karena beliau sibuk mengurusi jenazah Wahyudin.
Berita berpulangnya Udin mengundang simpati teman-teman
Malam
itu, informasi tentang meninggalnya Wahyudin saya posting di wall facebook. Tidak ada niatan apa-apa.
Saya hanya ingin berbagi tentang sebuah kematian. Takdir dan batas usia
sesungguhnya hanya milik dan rahasia Allah. Hanya itu pesan tersirat yang ingin
saya sampaikan. Namun, qadarullah …
status saya mendapat respon dan simpati yang tak putus-putus dari teman-teman.
Alhamdulillah,
doa dan dukungan semangat untuk almarhum Udin dan keluarga pun mengurai di
kolom komentar. Bahkan beberapa teman turut memberikan bantuan (sumbangan uang)
untuk keluarga almarhum. Ya Allah, saya sangat bersyukur dan berterima kasih
(mewakili keluarga almarhum) atas respon yang tulus dari teman-teman saya.
Kemiskinan yang membuncahkan rasa empati
Saya tidak begitu mengenal Udin (begitu
nama panggilan bocah 11 tahun itu), tapi ia pernah duduk menyimak bersama
murid-murid lainnya saat ada acara yang digelar di aula terbuka PKBM AL Falah.
Udin yang tertinggal dalam kemampuan membaca hingga ia harus mengulang di kelas
4, hanya bocah malang yang hidup dari hasil memulung orangtuanya.
Meskipun saya tahu kalau jenazah
Udin sudah dikebumikan jam empat pagi, saya tetap bergegas untuk melayat
keesokan harinya. Saya ingin memberikan semangat kepada kedua orangtua
almarhum. Apalagi saat itu, saya juga harus menyampaikan amanah dari
teman-teman yang ikut memberikan sumbangan dana.
Gubuk almarhum Udin |
Begitu tiba di sekolah, saya
dianjurkan untuk dibonceng oleh Bu Airina (salah satu guru Al Falah).
Berangkatlah kami dengan sepeda motor ditemani guru lainnya. Rumah keluarga
almarhum Udin dekat sekali dengan gunungan sampah. Di sanalah lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang sesungguhnya. Bisa dibayangkan, aroma yang harus
dihirup penduduk di sana. Mereka tidak punya pilihan dan harus mengakrabi aroma
tak sedap itu.
Orangtua angkat almarhum Udin |
Kami pun sampai. Hati saya serasa
diremas melihat kondisi tempat tinggal warga di sana. Jauh sekali dari kategori
layak. Rumah-rumah yang berdempetan, didirikan dari sisa-sisa triplek dan
kayu-kayu bekas, beratap seng ala kadarnya. Sangat memilukan. Di salah satu
gubuk itulah (sebutan ini sepertinya lebih pas menurut saya), keluarga Udin
tinggal selama belasan tahun. Miris hati ini.
“Kami bukan orangtua kandungnya”
Setelah
bertemu dengan keluarga almarhum, akhirnya saya sibuk sendiri mengolah hati. Semua
rasa sedih dan tak tega, berbaur berdesakan memancing air mata. Sekuat tenaga
saya bertahan agar tidak menangis. Tapi sia-sia. Kisah yang disampaikan Bapak
si Udin akhirnya menjebolkan pertahan saya. Tidak bisa hanya sekadar menelan
ludah. Nasib almarhum Udin membuat saya menangis. Bukan menyalahkan takdir
Allah, tapi pilu saya menyimak kekuatannya bertahan tanpa mengeluh untuk tetap
hidup.
Saya baru tahu kalau ternyata
kedua orangtua yang duduk bersama kami itu bukanlah Ayah dan Ibu kandung Udin.
Sejak usia 1,5 tahun, Bapak dan Ibu si Udin sudah berpisah. Bapaknya pergi
entah ke mana dan tidak pernah menjenguk Udin semasa hidupnya. Sementara ibu
kandungnya juga meninggalkan Udin tanpa pamit pada abang dan kakak ipar yang
sejak itu menjadi orangtua Udin. Hingga saat meninggal, ibu kandung Udin pun
tidak datang melihat anaknya. Sementara Bapak kandungnya datang saat Udin telah
menjadi mayat.
Saat saya datang lagi, mereka sudah lebih iklhas (Ibu Udin di kanan saya) |
Bapak
dan Emak angkat Udin itulah yang merawat dan membesarkannya. Mereka sangat
menyayangi Udin seperti anak kandung sendiri. Udin menjadi anak laki-laki
satu-satunya yang mereka punya. Sementara lima anak mereka semuanya perempuan. Anak
tertua sudah berumah tangga. Yang kedua menjadi guru TK honorer. Sementara, Udin
dan tiga adiknya masih butuh biaya. Hidup serba kekurangan dengan enam anak
yang harus dihidupi membuat Udin ikut membantu mencari uang. Tidak jauh-jauh
dari profesi pemulung.
Sore itu, Udin begitu semangat
ingin mengambil upahan seperti hari-hari sebelumnya. Ia membantu menarik terpal
yang biasa digunakan untuk menutup tumpukan sampah di truk sampah. Tapi, naas …
Udin terjatuh ke aspal. Belum sempat bangkit, truk sampah lebih dulu
melindasnya. Innalillahi wainnailaihi raji’uun. Siapa yang mampu untuk sekadar
menelan ludah menyimak kisah pilu Udin itu? Mata saya sempurna basah.
Pelajaran yang bisa saya ambil
Merangkum
semua kisah Wahyudin dan keluarga, membuat hati saya ingin menuliskan ini
sebagai catatan. Pertama, kematian adalah mutlak rahasia Allah, maka teruslah
mempersiapkan diri untuk menghadap dan mempertanggungjawabkan segala yang telah
diperbuat kelak.
Kedua, hidup tidaklah semata-mata
mengejar dan mengumpulkan harta untuk kesenangan dunia dan kepentingan diri
semata. Sebab, masih banyak di sekitar kita yang membutuhkan uluran tangan dan
bantuan. Di sekitar rumah keluarga Udin saja, masih ada puluhan keluarga yang
hidup dari hasil memulung dengan kondisi tempat tinggal yang sangat tidak
layak. Ini membuat saya sadar bahwa Allah telah mengingatkan dengan cara-Nya.
Ketiga, melihat secara langsung
dan mendengar kisah kehidupan seperti keluarga Udin, membuat hati ini seolah
ditegur oleh Pemiliknya. Seolah Dia ingin mengingatkan bahwa hidup itu harus
seimbang, tidak lupa diri, tidak berbangga-bangga dan pongah pada harta yang
dimiliki, tidak memandang hina pada ketiadaan orang lain, dan selalu bersyukur
atas semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.
Semoga Udin sudah tenang di surga-Nya.
Keluarga yang ditinggalkan pun telah kembali melanjutkan kehidupannya. Dan …
saya bersyukur karena Allah SWT tak henti-hentinya mengingatkan diri ini.
Semoga dengan cara-Nya, Allah terus menjaga hati ini untuk selalu istiqomah
dalam tawadhu’. Aamiin Ya Rabb. [Wylvera W.]
Jadi belajar (lagi) dari kisah Udin ini, serta diingatkan pada kematian yang pasti mendatangi kita. Hanya saja entah kapan waktunya. Terima kasih, sudah menuliskannya, Mbak.
BalasHapusSama-sama, Mas Koko.
HapusBtw, kenapa aku selalu sulit BW ke blog Mas Koko ya?
kita sering lupa... kematian itu dekat..
BalasHapusBetul, Mbak
HapusSedih baca ceritanya saat mba Wiek sharing di FB. Dan kini malah makin sedih bacanya, moga almarhum khusnul khotimah.
BalasHapusAamiin ....
HapusUdin, inshaallah surga dekat denganmu ya Nak..
BalasHapusMakasih sharingnya mbak, mengingatkan saya juga tentang kematian dan kehidupan ini..
Sama-sama, Mbak
HapusHuhuhu sedih, terbayang saat ke rumahnya dan mendengar cerita udin tenggorokan pasti rasanya tercekat ya mbak. Makasih atas pengingatnya mbak.
BalasHapusIya, bolak-balik aku menelan ludah menahan agar gak ikut terisak. Iya, kita saling mengingatkan, Khalida
HapusSubhanallah...
BalasHapushttp://carainternet.com
Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian.
BalasHapusBetul
HapusTurut berduka, semoga ditempatkan bersama para sholihin adeknya :)
BalasHapusAamiin ....
Hapus