Saya dan teman sekelas (jangan ditebak saya yang mana, pokoke ada di situ:p) |
Mading atau Majalah Dinding adalah
media komunikasi yang paling sederhana. Disebut sebagai majalah, karena prinsip
paling dasar dari majalah ada di tampilan kontennya yang berisi tulisan dan
gambar. Kalau di sekolah, namanya majalah dinding sekolah. Fungsinya bisa
sebagai penyalur kreativitas siswa/siswi
di lingkungan sekolah tersebut. Bisa
berupa puisi, cerpen, pantun, atau karya tulis lainnya. Selain itu majalah
dinding sekolah juga bisa dipakai untuk pengumuman penting lainnya yang terkait
dengan siswa di sekolah itu.
Masalahnya, saya mau cerita apa ya
tentang mading sekolah? Saya tidak menyimpan banyak cerita tentang mading ini.
Yang saya ingat, sebagai pengurus OSIS, saya juga bertanggung jawab pada
keberadaan mading sekolah kami. Membuat jadwal tayang secara berkala setiap
minggunya. Memilih tulisan dan informasi yang masuk untuk ditampilkan.
Keberadaan
mading sekolah waktu itu belum terlalu populer. Yang dipajang pun lebih pada
karya-karya tulis siswa-siswi di sekolah kami. Saya yang sejak dulu memang
senang menulis, tentu saja ikut memanfaatkan mading sekolah kami sebagai media
“pamer” karya. *hahaha … sejak dulu memang sudah narsis ya saya*
Selain
cerita mini, saya juga pernah menampilkan puisi karya saya di mading sekolah. Namun,
tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya ada satu cerita rahasia sebenarnya dari
puisi yang pernah saya pajang di mading sekolah kami. *hahaha, akhirnya nemu
juga yang mau diceritakan*
Humm
… terusin enggak ya … terusin enggak ya?
Baiklah
… tapi jangan bilang siapa-siapa ya. *ngikik cantik*
Masa
SMA di zaman itu, saya pun tidak luput dari urusan suka-sukaan, tebar pesona,
atau cari-cari perhatian. Tidak mungkin juga menunjukkan semua perasaan itu
pada orang yang dituju. Saya ‘kan orangnya gengsian banget. Uhuk! Padahal orang itu sudah menyatakan
rasa sukanya lebih dulu dan kami sudah menjadi teman dekat. Aaah … saya
terlibat hal-hal begiini juga ternyata waktu itu. *jangan ditiru ya, dulu saya
‘kan masih lugu-lugu centil*
Kembali
ke puisi tadi.
Bagaimana
cara membalas ungkapan suka itu supaya tidak terkesan murahan? Pasang akal dong.
Mading
sekolah pun jadi media terselubung. Saya pajanglah sebuah puisi yang sudah saya
siapkan dengan tulisan tangan sehari sebelumnya. Ada teman yang sempat memuji puisi
karya saya. Dia pikir itu hanya kata-kata puitis yang sengaja saya rangkai
sedemikian rupa tanpa maksud. Sementara, teman-teman lainnya mungkin tidak
menangkap maksud dari puisi itu. Ada yang berkomentar, “Romantis kali puisinya,
Wiek!”
Waktu
itu saya pikir semuanya aman-aman saja. Saya tidak akan malu memajang puisi
beraorama “modus” itu. Bayangkan saja, kalau sampai orang yang saya maksud
membaca yang tersirat dalam puisi itu, betapa malunya saya.
Seminggu
pun berlalu. Jatah pemajangan karya di mading sekolah harus diganti. Termasuk
puisi saya. Lega rasanya karena puisi saya yang terlanjur dipajang tidak sampai
membuat saya malu hati. Saya pun kembali sibuk menata ulang isi mading yang
baru bersama teman-teman pengurus.
Saat
ingin balik ke kelas, saya didekati oleh kakak kelas. Kakak kelas yang
mendekati saya itu adalah orang yang sekaligus menjadi teman dekat yang saya
maksud. Ia senyum-senyum ke saya, sambil memberikan kertas yang dilipat kecil.
Ia tidak bicara apa-apa, hanya memberikan kertas itu lalu berjalan ke kelasnya.
Meninggalkan saya yang degdegan plus.
Saya
tidak langsung ke kelas gara-gara kertas berlipat itu. Rasa penasaran lebih
dominan di kepala saya. Buru-buru saya ke kamar mandi dan membuka lipatan
kertas yang sejak tadi saya remas di genggaman.
Taraaa
…! Coba tebak apa tulisan di kertas itu? *kasih tau enggak yaaa…?*
Tidak
perlulah saya beritahu apa yang dituliskan kakak kelas saya itu. Kesimpulan
jangka panjangnya, sekarang dia sudah menjadi suami saya. *hahaha, jangan
menyesal membaca postingan ini ya* See you in the next story ^_^ [Wylvera
W.]
Note:
Postingan ke-10 One Day One Post Challenge Fun Blogging
Maaf, tidak ada bukti foto untuk mading sekolahnya. ;)
Maaf, tidak ada bukti foto untuk mading sekolahnya. ;)
foto 90 ke bawah, ya bu. mading dari dulu sampai sekarang tempat anak-anak sma berkreasi. jadi kangen masa nulis-nulis puisi untuk nembak cewek.
BalasHapusIya, sudah tuir saya ya?
Hapushahaha, walau tuir , tapi masih semangat muda ibu :)
Hapuswaw...kode-kode cinta di mading sekolah berhasil ya mbak sampai jadi suami. hihi..
BalasHapusHahaha ... iya ini. :)
HapusHih..ternyata suami mb Wiek itu kakak kelas ya?
BalasHapusBetul banget, Mbak. ;)
Hapuswah baru tahu saya ternyata...heheh
BalasHapusTernyata apa, Mbak? *pura-pura lugu*
Hapuskode-kodenya sangat jitu, sehingga sekarang bisa jadi suami. semoga menjadi keluarga SAMAWA. ammiiinnn
BalasHapus