Ibuku
sudah berjam-jam duduk di sudut ruang keluarga. Kursi goyang yang diduduki Ibu sesekali mengeluarkan
derit. Lampu meja di sebelah kursi goyang itu tidak mampu
menerangi seisi ruangan. Wajah Ibu hampir tidak terlihat olehku. Hanya tarikan
napasnya yang berat berulang-ulang terdengar.
”Aku
hidupkan lampunya ya, Bu,” ujarku sedikit mengejutkannya.
”Jangan,
biarkan remang-remang saja,” balas
Ibu sambil membetulkan posisi
duduknya.
”Hampir
empat jam Ibu duduk di situ. Ini
sudah larut malam. Aku khawatir
Ibu jatuh sakit,” kataku lagi
mencoba mengingatkan Ibu.
”Sakit?
Aaah ... untuk umur setua ini, sakit bukan ancaman buat Ibu. Ada
yang lebih mengkhawatirkan daripada kecemasan jatuh sakit.
”Ada apa
sebenarnya, Bu?”
”Sudahlah,
pergi tidur sana. Sebentar lagi Ibu juga akan tidur.”
Aku terdiam dan
kembali duduk di sofa. Aku mencoba
mengingat-ingat sikap Ibu yang agak aneh
beberapa hari ini. Ibu seperti menyimpan beban pikiran yang sangat berat.
Helaan napas yang berulang-ulang membuatku sulit membiarkannya duduk sendirian,
menghabiskan malam. Aku memilih
menunggu Ibu masuk ke kamar.
Akhir-akhir ini, aku jadi
sering mencuri-curi pandang ke arah Ibu. Wanita kesayanganku ini memang mulai terlihat tua. Rambutnya hampir semua memutih. Kerut-kerut di wajahnya semakin melengkapi.
Ibuku sudah lama menjanda.
Ayahku meninggal sepuluh tahun yang lalu. Saat itu
usia Ibu masih 45 tahun. Ibu dan almarhum Ayah sama-sama berprofesi sebagai guru. Kata Ibu, Ayahku adalah kekasih pertama yang dicintai dan menikahinya.
Ibu tidak pernah jatuh cinta sebelumnya.
Sejak Ayahku
meninggal, Ibu terlihat sangat kehilangan. Mungkin rasa rindu itu yang membuat Ibu lebih cepat
menua. Ketahanan fisik
Ibu kian menurun. Namun, aku
tidak pernah mendengar Ibu mengeluh. Semangat yang besar membuat Ibuku selalu
terlihat tegar. Perannya sebagai
single parent, tidak pernah terkesan
membebani.
Waktu itu, aku dan
kakakku pernah membujuk Ibu
untuk menikah lagi.
”Kalau Ibu merasa
kesepian, kami rela Ibu mencari pendamping lagi,” ujar Kak
Tia mengajukan saran saat itu.
”Ibu
masih cantik. Aku dengar, Pak Hadi juga masih menduda kan, Bu?” tambahku pula.
Ibu mengangkat
wajahnya. Sorot matanya
berubah tajam menatap kami bergantian. Aku menunduk, tidak berani membalas
tatapan Ibu.
”Tidak!
Ibu sudah tua. Tahun depan sudah 50.
Tak usah memikirkan ide seperti itu. Ibu tak perlu
laki-laki sebagai pendamping
lagi!” suara Ibu terdengar
meninggi.
Aku dan Kak Tia
sontak terdiam. Sejak itu, kami tidak pernah lagi berani menanyakan hal yang sama
kepada Ibu. Sampai Kak Tia memutuskan menikah, lalu pindah dan punya rumah
sendiri, Ibuku tetap menjanda. Akulah yang masih setia menemani Ibu di rumah
kami ini.
Lamunanku terhenti.
Ibu bangkit dari kursi goyang yang terbuat dari kayu jati
itu. Tanpa melirikku, Ibu melangkah menuju ke kamar. Kubiarkan Ibu menutup pintu
kamarnya. Beberapa saat aku
menunggu, memastikan kalau Ibu tidak keluar lagi. Setelah itu, aku pun beranjak
menuju kamarku.
“Mudah-mudahan Ibu bisa terlelap memanfaatkan waktu yang
tersisa,” harapku sebelum
ikut merebahkan diri.
*
Di mataku, Ibu adalah wanita yang tangguh. Sejak dulu, Ibu
selalu siap memberikan jiwa dan pikirannya jika kami membutuhkannya. Kami juga
selalu menjadikan sosok Ibu sebagai contoh teladan. Bahkan aku
sering mengatakan kalau Ibuku seperti
Ibu Kartini. Aku hapal sekali
kalau Ibuku juga mengagumi pahlawan emansipasi perempuan itu.
Jangan hanya terampil memakai atribut
Kartini, seperti kebaya dan sanggulnya saja. Cobalah memaknai lebih dalam lagi
tentang segala macam yang pernah dikenakan Kartini.
Semangat perjuangannya lebih dari sakadar kebaya dan sanggul.
Kata-kata itu
selalu diucapkan Ibu jika kami ikut merayakan hari Kartini di sekolah waktu
itu.
Sejak kami kecil,
Ibu selalu meninggalkan kami untuk memenuhi kewajibannya mengajar. Namun di mataku, Ibu
bukanlah wanita karir yang tidak peduli dengan keluarga. Walaupun sibuk dengan kegiatan
mengajar di sekolah, Ibu selalu menitipkan hati dan perasaannya di rumah.
Ibuku
tidak pernah lalai menanyakan tugas-tugas sekolah kami.
Ibu juga selalu mendiskusikan semua perkembangan kami dengan Ayah. Aku paham,
kalau semua yang dilakukan Ibu semata-mata hanya untuk
keberhasilan kedua anaknya.
Ibuku juga aktif
di beberapa organisasi. Ibu
selalu memberikan pencerahan kepada orang-orang yang dekat dengannya, terutama
kaum perempuan. Aku ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika Ibu pernah diundang
dalam peringatan hari Kartini di kelurahan. Ibu didaulat untuk memberikan
ceramah di acara itu. Ibu menutup
orasinya dengan kata-kata yang menggetarkan hatiku.
“Wanita tidak
boleh lemah dan bodoh. Kartini saja
yang hidup di zaman susah, masih bisa
membuka cakrawala. Mengapa kita yang hidup di era yang sudah sedemikian maju
tidak ingin merubah apa-apa? Ibu-ibu jangan minder kalau tidak bisa sekolah
tinggi. Tanpa melakukan apa-apa, gelar sarjana tak ada artinya. Tak ada kata terlambat, lakukan dari hal-hal
yang kecil. Mulailah dari dalam rumah, keluarga, dan anak-anak
kita!”
Aku yang ikut mendampingi Ibu waktu itu, turut merasa kagum dan terharu di riuhnya tepuk tangan hadirin. Ibu tidak
hanya pandai menulis dan berpidato. Ibu terampil mewujudkan dan merealisasikan semua
yang dikatakannya dalam kehidupan kami.
Ibuku pernah bercita-cita
ingin menjadi dokter. Namun, setamat dari Sekolah Menengah Pertama, Ibu melupakan
cita-citanya. Ibuku memilih
menjadi seorang guru. Sampai saat ini, aku belum sempat menanyakan alasan Ibu
mengubah cita-citanya itu.
Sekarang, akulah
yang meneruskan cita-cita masa kecil Ibu. Aku sudah menjadi dokter
umum. Ibu meginginkanku untuk
melanjutkan mengambil spesialis bedah syaraf. Awalnya aku menolak, karena aku
tahu biaya untuk itu tidak sedikit. Ibu terus-menerus membujukku. Kakakku juga
meyakinkanku dan berjanji untuk ikut membantu biaya kuliah. Aku pun menyerah.
Tidak lama lagi, gelar spesialis akan segera tersemat
di namaku. Semua berkat Ibu. Tidak pernah habis waktu bagiku untuk mengagumi Ibu.
Kemampuan Ibu dalam merangkai kata-kata yang sarat dengan makna, menjadi bagian
kekagumanku. Kalimat-kalimat penyemangat itu masih tersimpan rapi dalam buku catatannya. Buku itu sengaja diletakkan
Ibu di meja kerjanya. Ibu tidak pernah keberatan kalau sesekali aku membaca
tulisannya.
Buku catatan itu
diberi judul sampul ”Catatan Kecil
Seorang Guru” oleh Ibuku. Aku sangat menyukai salah satu tulisannya.
”Seorang
perempuan harus mampu menghadapi setiap tantangan hidup. Perempuan harus
kuat, cerdas dalam berpikir agar tidak gampang dibodohi. Tapi semua ini tetap harus
disandarkan kepada kekuatan Yang Maha Tinggi yaitu kekuatan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Seimbangkan hati dan
pikiran dengan nilai-nilai
spiritual agar tak mudah digoyah oleh pemikiran yang salah dan menjerumuskan.”
Ah, Ibu ....
*
Hari ini hari Minggu. Aku sedang menunggu Ibu. Banyak hal
yang ingin kubicarakan dengannya. Namun, Ibu sudah pergi sejak jam sepuluh pagi
tadi. Katanya ada rapat mendadak
di sekolah. Aku diminta menjaga
rumah sampai Ibu kembali. Aku harus sabar menunggu.
Pandanganku
bolak-balik tertuju pada cuaca di luar rumah. Langit di atas sana mulai gelap. Aku khawatir akan turun hujan. Kupilih duduk
di kursi goyang yang biasa digunakan Ibu. Tirai jendela sengaja kubuka lebar-lebar.
Lamunanku kembali
bergulir.
Suatu hari, Ibu
pernah bertanya tentang pacarku. Aku jelaskan kepada
Ibu, kalau kuliahku di fakultas
kedokteran saja sudah sangat
menguras pikiran.
”Nanti
setelah aku meraih cita-cita itu, aku akan bawa kepada Ibu laki-laki yang akan
menjadi pendampingku,” jawabku waktu itu.
Tiba-tiba, suara petir yang
menjilat permukaan jalan beraspal di depan rumahku begitu megejutkan. Sesaat setelah itu, hujan deras pun tercurah dari langit. Ibuku belum juga pulang.
Aku masih tidak
ingin beranjak dari sisi jendela. Perhatian kualihkan sejenak pada kalender
yang tergantung di tembok dekat tempatku duduk. Pantas saja Ibu pulangnya lama.
Ternyata besok tanggal 21 April. Ibu dan teman-teman gurunya pasti sedang sibuk
merencanakan sesuatu untuk
memperingati Hari Kartini.
Sambil menunggu,
kualihkan ingatan pada deretan kenangan tentang Ibu. Masih ada goresan tangan Ibu yang membuatku kagum.
”Kalau ingin meneruskan perjuangan
Ibu Kartini, bukan dengan hanya mengelu-elukan emansipasi perempuan. Banyak
kaum perempuan saat ini yang berdiri sejajar dengan kaum pria, tapi tak sedikit juga
yang lupa akan kodratnya. Pangkat atau jabatan jadi tidak berarti, jika hanya akan mengorbankan keluarga, terutama suami dan anak-anak kita.
Yang diinginkan Ibu Kartini terhadap kaum perempuan adalah kecerdasan lahir dan batin. Kecerdasan yang bisa menyelaraskan
antara karir dan rumah tangga, tanpa meninggalkan hakikat sebagai perempuan
yang sadar akan kodratnya.”
Kriiing
...! Kriiing ...!
Dering telepon
sontak mengejutkanku. Terburu-buru aku bangkit dari kursi goyang milik Ibu.
Entah apa yang membuatku gugup mengangkat gagang telepon.
”Halo, ini Dek Ning,
ya?” suara di seberang sana
begitu tergesa-gesa.
”Ya,
benar,” jawabku mulai cemas.
”Saya
Hadi. Ibumu tadi pingsan, Dek. Langsung kita bawa ke rumah sakit terdekat.”
Jantungku seakan
berhenti. Kututup telepon dan segera mengabari Kak Tia. Aku bergegas mengeluarkan sepeda motor. Tak peduli hujan, kutembus jalanan yang basah menuju
rumah sakit.
Jalan menuju rumah
sakit tidak terlalu padat. Dalam dua puluh menit, aku sudah
sampai. Kuparkirkan kenderaan.
Kegugupan mengganggu gerakku. Aku berlari seperti orang kebingungan, mencari informasi ruangan tempat Ibuku dirawat.
Ibu ada di ruang Intensive Coronary Care Unit. Sudah ada Kak
Tia dan suaminya di depan pintu
ruangan itu. Aku tidak
bisa menahan perasaan khawatir yang sejak tadi sudah sempurna menguasai hatiku.
Kupeluk Kak Tia erat-erat. Kami sama-sama merasakan ketegangan.
Sebagai dokter, aku
ingin sekali membantu menyembuhkan ibuku. Aku tidak ingin sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi
padanya.
”Keluarga Ibu Kartini?”
”Ya!”
kami serentak menjawab.
”Silahkan
masuk, dokter ada di dalam.”
Tanganku gemetar
menarik handle pintu ruang ICCU itu. Segala kemungkinan berjejal di kepalaku. Aku tidak
ingin kehilangan Kartiniku. Aku masih sangat membutuhkan Ibu.
Tapi ....
”Ibuuu
...!” jeritku dan akhirnya gelap.
*
Hari ini
adalah hari pemakaman ibuku. Langit kembali mendung seperti kemarin. Aku masih mengingat cerita Pak Hadi saat aku tersadar di
depan ruang jenazah. Ibuku
terjatuh ketika menaiki anak tangga di sekolah. Ibu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter sudah berusaha. Namun ibuku tidak pernah bangun kembali. Tuhan lebih
menyayanginya.
Lamunan ibuku
beberapa hari kemarin, bagaikan pertanda. Inilah jawabannya. Bahkan ibuku
sendiri tidak sempat berbagi tentang lamunan itu padaku. Semua
keresahan yang ia rasakan,
dibawa hingga menjelang akhir
hayatnya. Tinggal fatwa-fatwa Ibu yang akan selalu mengendap dan
menjadi tuntunan bagiku.
“Selamat ulang
tahun, Bu. Semoga Tuhan
menempatkan Ibu di tempat yang paling indah di sana.
Ibulah Kartini yang sesungguhnya bagiku.” [Wylvera W.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar